HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Putusan Hukum Di Indonesia

Siti Zahra Suryandari Mahasiswi Semester 1 Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Masyarakat Indonesia memikirkan tentang beberapa...

Siti Zahra Suryandari Mahasiswi Semester 1 Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com - Masyarakat Indonesia memikirkan tentang beberapa ketidakadilan dalam sebuah putusan hukum yang ada di Indonesia, banyak hasil akhir dari kasus-kasus yang terdengar janggal dan tidak masuk akal yang ada di Indonesia. Terkadang ada kasus yang di mana seharusnya pelaku di jatuhi hukuman penjara seumur hidup, namun ternyata ia melakukan sebuah cara yang bisa disebut dengan upaya Hukum Banding yang di mana akhirnya entah ia akan mendapatkan sebuah keringanan hukuman atau bahkan ia akan dibebaskan begitu saja dari hukuman dan inilah yang kadang tidak masuk akal ketika bagaimana mereka melakukan kejahatan sedangkan hukuman akhir yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan kejahatan yang mereka lakukan kepada orang lain. 


Menurut saya, seperti halnya keputusan seperti itu tidaklah memuaskan karena tidak adil saja rasanya seorang pelaku diberikan hukuman yang ringan padahal korban bisa saja entah meninggal atau bahkan memiliki trauma yang berat untuk jangka waktu yang lama dan bisa saja seumur hidupnya, bahkan ada hal yang lebih lucu dari itu, ada kasus yang di mana seorang pelaku sampai pada hari ini pun tidak tertangkap, yang artinya bahwa kasus tersebut tidak menemui titik akhir sebuah kasus, bukankah sangat menyedihkan sebuah hukum di Indonesia.


Ada beberapa kasus kejahatan di Indonesia yang berakhir dengan ketidakpuasan terhadap putusan hasil akhirnya, seperti yang kita tau ada Kasus Munir yang terjadi pada tanggal 07 September 2004, persidangan kasus ini bersifat tertutup dan Majelis Hakim tidak melakukan pemeriksaan secara terbuka seperti yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2011 dan bahkan sampai sekarang kita pun tidak tau siapakah dalang dibalik semua kejadian yang terjadi pada kasus ini. Ada pula Kasus Marsinah yang akan kita jabarkan sebagai contoh mengenai putusan akhir kasus yang sangat tidak memuaskan.


Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Sementara itu, ayah Marsinah bernama Astin dan ibunya adalah Sumini. Keluarga mereka tinggal di desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah akhirnya memilih merantau ke Surabaya pada tahun 1989 dan menumpang hidup di rumah kakaknya yang sudah berkeluarga. Marsinah sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya pindah ke Sidoarjo dan bekerja di PT CPS tahun 1990. Pada 3 Mei 1993, sebanyak 150 buruh dari total 200 buruh yang bekerja di pabrik arloji itu melakukan aksi mogok kerja. 


Aksi mogok kerja digelar selama dua hari, dan akhirnya pada 4 Mei 1993, dilakukan perundingan antara perwakilan buruh PT. CPS dengan pihak perusahaan PT. CPS lalu berhasil menyepakati 11 poin persetujuan. Rekan kerja Marsinah tersebut dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri di markas Kodim. Kemudian, Marsinah mendatangi markas Kodim untuk menolak tindakan semena-mena itu dan berniat mengadukan tindakan Kodim kepada Pengadilan. Lalu, Marsinah malah menghilang begitu saja pada saat dalam perjalanan pulang dan Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa lagi di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jegong, Nganjuk, Jawa Timur dalam keadaan yang mengenaskan tergeletak sekujur tubuh penuh luka dan berlumuran darah di sekujur tubuhnya. 


Berdasarkan hasil autopsi, diketahui bahwa Marsinah telah meninggal dunia satu hari sebelum jenazahnya ditemukan. Adapun penyebab kematian Marsinah adalah penganiayaan berat. Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm di dalam tubuh Marsinah, luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan sampai ke dalam rongga perut. Tulang kemaluan bagian kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanannya patah, tulang usus kanan tengah patah terpisah, dan tulang selangkang kanan patah seluruhnya. 


Menurut saya, kasus ini merupakan kasus Hak Asasi Manusia yang berat karena terdapat pada Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 Tentang Unsur Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang di dalamnya terdapat tindak kejahatan seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, dan juga mengandung unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kemudian, dasar hukum yang juga dilanggar dalam kasus ini adalah Pancasila sila ke-2 yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, yang di mana pada kasus ini tidak adanya tindakan yang menggambarkan sila ke-2 tersebut karena telah terjadinya tindak pemusnahan bagi seorang masyarakat Indonesia yang di mana korban merupakan pejuang aktivis buruh yang seharusnya diperlakukan dengan adil bukan malah diperlakukan seperti halnya yang terjadi pada kasus ini.


Orang-orang yang ditangkap tersebut diketahui ada delapan orang petinggi PT. CPS yang ditangkap secara diam-diam dan tanpa adanya prosedur resmi. Salah satu orang yang ditangkap adalah Kepala Personalia PT. CPS. Selain itu, pemilik PT. CPS, Yudi Susanto juga ikut turut ditangkap dan diinterogasi. mereka juga menerima siksaan yang berat, baik secara fisik ataupun mental, serta diminta mengakui bahwa telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah. Pemilik PT. CPS, Yudi Susanto kemudian dijatuhi vonis 17 tahun penjara. Sementara itu, beberapa staff PT. CPS dijatuhi hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara. Akan tetapi, Yudi Susanto kala itu kukuh menyatakan bahwa ia tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah dan dirinya hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Yudi Susanto kemudian naik banding ke Pengadilan Tinggi dan dinyatakan bebas dari hukuman. Para staff PT. CPS yang dijatuhi hukuman juga naik banding hingga mereka dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu saja mengundang kontroversi dan ketidakpuasan dari masyarakat. Para aktivis terus menyuarakan tuntutan agar kasus pembunuhan Marsinah diselidiki secara terang-terangan dan juga kecurigaan terhadap keterlibatan para aparat militer diungkap.


Kalau boleh dipikir lagi bukankah hal tersebut tidak adil dalam sebuah putusan hukum, yang di mana bahkan korban sudah tak bernyawa lagi sedangkan pelaku dibiarkan begitu saja hanya karena ia bisa naik banding seenaknya tanpa memikirkan keluarga korban ataupun orang-orang terdekat korban. Setelah kejadian tersebut pelaku masih bisa hidup dengan wajar dengan senang-senang sedangkan apakah kalian bisa melihat bagaimana dampak dari kasus ini terhadap orang-orang disekitar korban. Mereka merindukan korban, mereka sedih, mereka pun bingung dengan seenaknya putusan tersebut diputuskan dan dengan mudahnya pelaku mendapatkan keringanan pada kasus tersebut padahal mereka telah melakukan hal yang sangat keji dan kotor dan tentu saja melanggar Hak Asasi Manusia. Sudah seharusnya kita sebagai makhluk sosial, harus memperjuangkan Hak Asasi Manusia diri kita sendiri dan tentu saja kita juga harus menjaga Hak Asasi Manusia orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan juga sudah sepatutnya kita saling membantu apabila ada orang lain yang Hak Asasi Manusia nya dilanggar. Sudah sepatutnya juga kita menegakkan kebenaran mengenai kasus Hak Asasi Manusia Marsinah ini karena masih ada kejanggalan-kejanggalan yang masih harus diungkapkan secara terang-terangan ke khalayak umum di masyarakat agar semua orang tau bahwa hukum di Indonesia masih memiliki kekurangan bagaimana seharusnya memperlakukan rakyatnya sendiri dengan adil. ***