Ilustrasi suara-tamiang.com | Direktur LSM Transparansi Aceh, Kamal Ruzamal, meminta Pemerintah meninjau ulang rencana pembangunan term...
![]() |
Ilustrasi |
suara-tamiang.com | Direktur
LSM Transparansi Aceh, Kamal Ruzamal, meminta Pemerintah meninjau ulang rencana
pembangunan terminal mobil barang (mobar) di Desa Buket Rata, Kecamatan
Kejuruan Muda, Aceh Tamiang.
Menurut LSM tersebut, di samping lokasinya yang tidak strategis dan sempit (11 rante), harga lahan tersebut juga dinilai kemahalan. “Tidak strategis karena jauh dari kota. Hal ini akan membebani biaya angkut dan bongkar muat. Harga barang jadi mahal,” kata Kamal.
Dengan total luas lahan 11 rante, ia juga menduga bahwa 20 atau 30 tahun ke depan, lahan itu akan menjadi sempit dan tidak mampu menampung truk yang masuk. Akibatnya, Pemkab harus bolak-balik melakukan pembelian lahan untuk menambah luas terminal.
Harga beli tanah itu juga ia nilai kemahalan, yaitu Rp 1,8 miliar untuk 11 rante, yang berarti satu rantenya sekitar Rp 164 juta. “Sementara di sekitar lahan perkebunan milik PT Mapoliraya atau PT Desa Jaya, harga jual lahannya sekitar Rp 60 juta/rante. Jadi lahan tersebut tidak memenuhi syarat kecuali ada kepentingan terhadap pembelian tanah,” pungkas Kamal.
Dugaan kepentingan itu makin kuat sebab menurut dia, berdasarkan Perpres No 71 Tahun 2012, harus ada desain bangunan dahulu baru kemudian dicarikan lahan. Sedangkan yang terjadi adalah pembelian lahan dahulu baru kemudian desain bangunan.
Pihaknya mengusulkan, agar terminal penumpang di Kota Kuala Simpang dekat Satlantas Polres Aceh Tamiang dijadikan terminal bongkar muat. Selain jaraknya dekat dengan pedagang, juga mengurangi ongkos angkut barang dari terminal ke toko. | Sumber : Serambinews
Menurut LSM tersebut, di samping lokasinya yang tidak strategis dan sempit (11 rante), harga lahan tersebut juga dinilai kemahalan. “Tidak strategis karena jauh dari kota. Hal ini akan membebani biaya angkut dan bongkar muat. Harga barang jadi mahal,” kata Kamal.
Dengan total luas lahan 11 rante, ia juga menduga bahwa 20 atau 30 tahun ke depan, lahan itu akan menjadi sempit dan tidak mampu menampung truk yang masuk. Akibatnya, Pemkab harus bolak-balik melakukan pembelian lahan untuk menambah luas terminal.
Harga beli tanah itu juga ia nilai kemahalan, yaitu Rp 1,8 miliar untuk 11 rante, yang berarti satu rantenya sekitar Rp 164 juta. “Sementara di sekitar lahan perkebunan milik PT Mapoliraya atau PT Desa Jaya, harga jual lahannya sekitar Rp 60 juta/rante. Jadi lahan tersebut tidak memenuhi syarat kecuali ada kepentingan terhadap pembelian tanah,” pungkas Kamal.
Dugaan kepentingan itu makin kuat sebab menurut dia, berdasarkan Perpres No 71 Tahun 2012, harus ada desain bangunan dahulu baru kemudian dicarikan lahan. Sedangkan yang terjadi adalah pembelian lahan dahulu baru kemudian desain bangunan.
Pihaknya mengusulkan, agar terminal penumpang di Kota Kuala Simpang dekat Satlantas Polres Aceh Tamiang dijadikan terminal bongkar muat. Selain jaraknya dekat dengan pedagang, juga mengurangi ongkos angkut barang dari terminal ke toko. | Sumber : Serambinews