HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Tata Kelola Bencana yang Lumpuh Menyoroti Kegagalan Eksekusi Regulasi di Lapangan

Penulis Ongku Wilyanto Tanjung (2374201055) Muhamad Bilal (2374201035) Khairunisa cahyani(2374201014) Mahasiswa Semester 5 Fakultas Ilmu Huk...


Penulis Ongku Wilyanto Tanjung (2374201055)
Muhamad Bilal (2374201035)
Khairunisa cahyani(2374201014)
Mahasiswa Semester 5
Fakultas Ilmu Hukum 
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru Riau           

Lentera24.com - Setiap kali bencana terjadi, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan yang sama, mengapa kerusakannya selalu begitu parah meski aturan sudah banyak tersedia? Indonesia sebenarnya tidak kekurangan regulasi. Kita memiliki Undang-Undang Penanggulangan Bencana, berbagai peraturan terkait tata ruang, perlindungan lingkungan, serta standar teknis untuk mitigasi. Di atas kertas, semuanya tampak cukup lengkap. Namun, masalah muncul saat aturan tersebut harus diterapkan di lapangan.

Kita memiliki undang-undang yang baik, seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang seharusnya membuat segalanya lebih terorganisir. Tapi di lapangan, pelaksanaannya sering kali mandek. Mari kita bahas ini lebih dalam, seperti obrolan santai di kafe, tapi dengan fakta yang jelas.

Tata kelola bencana merupakan aspek penting untuk menjaga keselamatan masyarakat dan mengurangi kerugian saat bencana datang. Namun, kenyataannya di lapangan, tata kelola ini sering tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Regulasi yang sudah dibuat dengan cukup rinci justru sering gagal pada tahap pelaksanaannya.

Bencana besar yang terjadi pada November ini kembali menunjukkan adanya kesenjangan besar antara regulasi dan praktik. Banyak daerah sudah ditetapkan sebagai zona berisiko tinggi, tetapi izin pembangunan tetap dikeluarkan. Jalur evakuasi sudah diwajibkan, tetapi fungsionalitasnya tidak pernah benar-benar dipastikan. Setiap tahun anggaran untuk mitigasi disiapkan, tetapi laporan realisasi sering tidak menjelaskan apakah kegiatan tersebut benar-benar memberikan dampak. Penegakan hukum juga lemah. Banyak bencana hidrometeorologi diperburuk oleh pembukaan lahan yang tidak terkendali, pelanggaran tata ruang, atau reklamasi yang mengabaikan kajian risiko. Semua itu sebenarnya sudah diatur. Namun, tanpa keberanian untuk menindak, regulasi hanya menjadi dokumen yang rapi tanpa fungsi.

Di sisi lain, ada masalah koordinasi antar lembaga. Pemerintah, lembaga bantuan, serta komunitas lokal sering memiliki peran yang tumpang tindih, atau sebaliknya, ada celah besar yang membuat tanggung jawab tidak jelas. Akibatnya, saat bencana terjadi, respons menjadi lambat dan tidak terfokus, sehingga penanganan bencana kurang efektif. Pemerintah pusat dan daerah sering tidak selaras. Ketika peringatan dini sudah diberikan, respons daerah kadang terlambat. Ketika daerah meminta bantuan, pusat kadang bergerak lambat karena prosedur administrasi yang berlapis. Di sisi lain, lembaga teknis yang seharusnya menjadi penggerak mitigasi sering terhambat oleh masalah klasik: kurang tenaga, kurang data, atau kurang dukungan politik.

Pemerintah sudah memiliki Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai koordinator utama, dengan peran dari pemerintah daerah dan masyarakat. Regulasi ini menekankan pencegahan, mitigasi, dan respons cepat. Misalnya, ada kewajiban untuk menyusun rencana kontingensi, melatih relawan, dan mengalokasikan anggaran. Kedengarannya kuat, kan? Tapi masalahnya muncul saat regulasi ini diterapkan di tingkat bawah.

Di lapangan, kegagalan sering terlihat dalam koordinasi yang buruk. Bayangkan bencana banjir di Jakarta beberapa tahun lalu. Regulasi mengharuskan pemerintah daerah bekerja sama dengan BNPB, tapi sering kali informasi tidak mengalir lancar. Aparat di tingkat kecamatan atau desa mungkin tidak mendapat pelatihan yang memadai, atau anggaran yang dialokasikan tidak cukup untuk peralatan dasar seperti pompa air atau tenda darurat. Akibatnya, respons jadi lambat, dan korban bertambah. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal komitmen. Banyak pejabat daerah lebih fokus pada proyek infrastruktur besar daripada memastikan sistem bencana siap digunakan.

Regulasi tata kelola bencana biasanya dibuat di tingkat pusat, tapi implementasinya sangat bergantung pada sumber daya manusia yang terampil dan alat yang memadai di daerah. Banyak daerah yang belum siap, baik dari segi anggaran maupun pelatihan, sehingga ketika bencana datang, mereka kesulitan melaksanakan tugas sesuai rencana. Masyarakat yang seharusnya menerima bantuan dan instruksi sering kali tidak mendapat informasi yang tepat waktu atau akurat. Hal ini membuat masyarakat sulit mengambil tindakan yang benar saat bencana, dan di sisi lain, petugas lapangan pun kesulitan beroperasi dengan optimal dalam kondisi darurat.

Kegagalan pelaksanaan regulasi ini bukan sekadar persoalan administratif. Dampaknya nyata bagi masyarakat. Ketika banjir datang, warga kehilangan rumah dan mata pencaharian. Ketika longsor terjadi, akses jalan tertutup dan bantuan terhambat. Setiap kelalaian yang terjadi di tingkat birokrasi berujung pada penderitaan manusia di lapangan.

Untuk keluar dari pola berulang ini, negara perlu mulai menempatkan mitigasi sebagai agenda politik yang serius, bukan sekadar rutinitas tahunan. Pengawasan izin harus tegas, tidak hanya formalitas. Koordinasi harus dibuat ringkas dan jelas, sehingga daerah tidak dibiarkan bergerak sendirian. Yang paling penting, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap regulasi diikuti dengan kemampuan pelaksanaan yang nyata.

Tanpa itu semua, kita hanya akan terus mengulang siklus yang sama: bencana datang, kerusakan besar terjadi, investigasi dilakukan, rekomendasi muncul, tetapi perubahan tidak bergerak. Dan masyarakatlah yang menanggung akibatnya. Untuk memperbaiki situasi ini, perlu ada perhatian serius bukan hanya pada pembuatan regulasi, tapi juga pada pelatihan, koordinasi, alokasi sumber daya, dan edukasi masyarakat. Hanya dengan demikian, tata kelola bencana yang saat ini tampak lumpuh bisa mulai berfungsi sebagaimana harapan. (*)