Ditulis Oleh: Ardi Sutriawan, Ghatri Alhana Yazari Wahyu dan Muhammad Aditya Naldo Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning. Lent...
Ditulis Oleh: Ardi Sutriawan, Ghatri Alhana Yazari Wahyu dan Muhammad Aditya Naldo Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning.
Lentera24.com - Pada 2 Januari 2026, Indonesia akan menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang menggantikan KUHP milik pemerintahan Belanda yang telah berusia lebih dari seratus tahun. Dibalik narasi modernisasi dan dekolonisasi hukum ini, tersembunyi isu penting yang tidak mendapat perhatian publik: penurunan status tindak pidana korupsi dari *extraordinary crime* menjadi tindak pidana biasa.
Korupsi: Dari "Luar Biasa" ke" Biasa Saja"
KUHP Baru mencabut lima pasal utama dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13. Kelima pasal ini kini dimasukkan ke dalam Pasal 603–606 KUHP Baru sebagai bagian dari Bab XXXV tentang Tindak Pidana Khusus. Perubahan ini bukan hanya bersifat teknis. Dengan memasukkan korupsi ke dalam KUHP, status korupsi sebagai kejahatan luar biasa (*extraordinary crime*) secara otomatis hilang. Korupsi kini diposisikan setara dengan pencurian biasa atau penggelapan—langkah mundur yang mengkhawatirkan di negara yang masih menghadapi darurat korupsi.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, dalam forum konsinyering Badan Pembinaan Hukum Nasional menegaskan bahwa perubahan ini menyebabkan hilangnya kekhususan kewenangan antara aparat penegak hukum—Polri, Kejaksaan, dan KPK. Salah satu dampaknya adalah KPK tidak lagi berwenang melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan, kewenangan yang sebelumnya menjadi alat utama dalam mengungkap jaringan korupsi yang rumit.
Penurunan Hukuman: Hadiah untuk Koruptor?
Tidak hanya statusnya yang terdegradasi, KUHP Baru juga menurunkan ancaman hukuman minimum dalam beberapa jenis korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat empat catatan kritis mengenai substansi pasal korupsi dalam KUHP Baru, salah satunya adalah penurunan hukuman minimum dalam sejumlah pasal.
Meski ada beberapa pasal yang meningkatkan hukuman minimum, seperti Pasal 604 yang merupakan turunan dari Pasal 3 UU Tipikor, dari 1 tahun menjadi 2 tahun, peningkatan tersebut tidak sebanding dengan subjek yang diatur, yakni pejabat publik atau penyelenggara negara.
Yang lebih mengkhawatirkan, berdasarkan catatan Tren Vonis ICW sepanjang 2021, dari 1.282 perkara korupsi rata-rata hukuman penjaranya hanya 3 tahun 5 bulan. Dengan sistem hukuman minimum yang lebih rendah dalam KUHP Baru, angka ini berpotensi semakin menurun. Saat masyarakat menuntut efek jera yang maksimal terhadap koruptor, KUHP Baru justru membuka celah bagi hukuman yang lebih ringan.
Pemerintah baru-baru ini juga mengusulkan penghapusan pidana minimum khusus dalam UU di luar KUHP, dengan pengecualian hanya untuk tindak pidana HAM berat, terorisme, pencucian uang, dan korupsi. Namun pengecualian ini terasa ironis ketika status korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah dihapus dalam KUHP Baru itu sendiri.
Kerugian Negara:Hambatan Baru dalam Penyidikan
Penjelasan Pasal 603 KUHP yang baru menyatakan bahwa yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara" adalah berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga audit keuangan negara. Definisi ini menyiratkan bahwa pihak yang berwenang dalam hal ini hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Aturan ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa penegak hukum tidak hanya boleh bekerja sama dengan BPK dalam menghitung kerugian negara, tetapi juga boleh bekerja sama dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan dari lembaga negara tersebut.
Hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK sering kali memakan waktu yang lama, sehingga menghambat proses menetap kanter sangka oleh penegak hukum. Dengan membatasi kewenangan atas perhitungan kerugian negara hanya pada BPK, KUHP yang baru justru menambah hambatan prosedural yang akan memperlambat proses penyidikan kasus korupsi.
Polemik Kewenangan: Jaksa vs KPK
Isu lain yang muncul adalah polemik dalam Draft KUHAP yang baru yang menyebutkan bahwa penyidik terdiri dari: penyidik Polri, PPNS, serta penyidik tertentu. Dalam penjelasan pasal, penyidik tertentu ini merujuk pada penyidik KPK, penyidik TNI AL untuk kasus perikanan, kelautan, dan pelayaran di zona ekonomi eksklusif, serta jaksa hanya untuk tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Penyusunan ini menimbulkan kontroversi karena terkesan membatasi kewenangan penyidikan Kejaksaan khususnya dalam perkara korupsi, padahal, berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Jaksa memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Kehadiran pembatasan ini dikhawatirkan akan melemahkan peran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Namun, perlu diingat bahwa isu ini bukan tentang penghapusan peran jaksa dalam menangani kasus korupsi melainkan soal ambiguitas dan potensi pembatasan kewenangan dalam KUHAP yang baru Jaksa tetap memiliki kewenangan menindak kasus korupsi namun adanya kejelasan dan penguatan kewenangan tersebut dalam KUHAP baru merupakan hal yang sangat penting dan harus terus diperjuangkan.
Indonesia Masih dalam Darurat Korupsi
Transparency International dalam laporan terbaru menempatkan Indonesia pada skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 34 dari 100, menempati peringkat 115 dari 180 negara yang paling korup di dunia. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah sampai tingkat paling bawah—dari dana desa yang dikorupsi bukan hanya dilakukan oleh Lurah, tetapi juga Kepala Dusun bahkan RT.
Di tengah kondisi darurat korupsi ini, langkah pemerintah dan DPR yang memasukkan delik korupsi kedalam KUHP justru mengindikasikan penurunan tingkat. keseriusan negara dalam memerangi korupsi. Ini sama seperti menyangkal arah kebijakan negara selama ini dalam upaya pemberantasan korupsi yang telah ada sejak era reformasi.
Ironi di Balik Modernisasi Hukum
Modernisasi hukum pidana seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat, bukan melemahkan, instrumen pemberantasan korupsi. KUHP Baru memang menawarkan pendekatan pemidanaan yang berbeda—lebih menekankan keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif sebagai sanksi alternatif. Namun pendekatan ini tidak tepat diterapkan untuk kejahatan korupsi yang dampaknya sangat merugikan negara dan masyarakat luas.
Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya 310 dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Kondisi ini menunjukkan bahwa korupsi masih menggunakan modus operandi yang kompleks dan berkembang. Oleh karena itu, ketentuan yang mengatur juga seharusnya bersifat kontemporer, dinamis, dan dapat menyesuaikan perkembangan kejahatan tersebut di masyarakat.
Selain itu, Indonesia sebagai negara peserta Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) masih belum mengkriminalisasi sejumlah delik rekomendasi dalam konvensi tersebut seperti
*trading in influence* (memperdagangkan pengaruh). Alih-alih mengadopsi delik-delik baru yang lebih progresif, KUHP Baru justru melemahkan instrumen pemberantasan korupsi yang telah ada.
Kesimpulan: Perlukah Kita Khawatir?
Jawabannya: ya, sangat perlu.
KUHP Baru bukan sekadar modernisasi hukum—ia membawa implikasi serius terhadap masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Degradasi status korupsi dari *extraordinary crime* ke tindak pidana biasa, penurunan hukuman minimum, penambahan hambatan prosedural dalam penyidikan, danambiguitas kewenangan aparat penegak hukum adalah paket lengkap yang justru menguntungkan koruptor.
Jika kita masih serius ingin memberantas korupsi, maka delik korupsi seharusnya tetap diatur dalam undang-undang khusus yang bersifat *lex specialis*, bukan diintegrasikan ke dalam KUHP. Jangan sampai langkah progresif mengganti KUHP kolonial justru ditunggangi oleh kepentingan politik untuk “mengendalikan” lembaga antikorupsi.
Pertanyaannya bukan lagi “apakah kita harus khawatir?” melainkan “apa yang akan kita lakukan?” Menjelang implementasi KUHP Baru pada Januari 2026, evaluasi menyeluruh dan revisi terhadap pasal-pasal korupsi menjadi keniscayaan. Jika tidak, kita akan menyaksikan bagaimana modernisasi hukum yang diagung-agungkan justru menjadi kemunduran besar dalam pemberantasan korupsi.(*)
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi manapun.*
