HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

RKUHP Disahkan: Langkah Dekolonisasi Hukum atau Ancaman Baru bagi Kebebasan Sipil?

Oleh Laila Fitri Isnaeny Tanggal Lahir : Tangerang, 20 November 2004 No.Hp : 081318165796, Alamat : Perum Mustika Tigaraksa Blok C15 No.49...

Oleh Laila Fitri Isnaeny Tanggal Lahir : Tangerang, 20 November 2004 No.Hp : 081318165796, Alamat : Perum Mustika Tigaraksa Blok C15 No.49 RT06 RW08 Kabupaten Tangerang, Banten.Profesi : Banker Analys di PT. BANK CENTRAL ASIA

Lentera24.com - Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada awal Desember lalu menjadi tonggak penting dalam perjalanan hukum pidana Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak era kolonial, Indonesia tidak lagi sepenuhnya bergantung pada KUHP warisan Belanda. Negara kini memiliki kitab hukum pidana yang disusun sendiri berdasarkan kondisi sosial, politik, dan nilai budaya bangsa. Namun, di balik capaian tersebut, pengesahan RKUHP juga memunculkan perdebatan yang cukup tajam di ruang publik. Sebagian pihak menyambutnya sebagai bentuk dekolonisasi hukum, sementara yang lain justru melihatnya sebagai potensi ancaman bagi kebebasan sipil.

Dari sisi akademik, pemerintah menilai RKUHP sebagai upaya menyesuaikan hukum pidana dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Sejumlah ketentuan baru diperkenalkan dengan alasan memperkuat nilai moral, menjaga ketertiban umum, serta menyesuaikan hukum dengan karakter sosial masyarakat. Pengaturan tentang kesusilaan dan penghinaan terhadap lembaga negara, misalnya, dipandang sebagai refleksi nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat. Dalam kerangka ini, RKUHP dianggap tidak lagi berakar pada logika hukum kolonial, melainkan pada norma yang berkembang di Indonesia saat ini.

Secara historis, cita-cita untuk memiliki KUHP nasional sebenarnya telah muncul sejak masa awal kemerdekaan. Penggantian hukum pidana kolonial dengan hukum nasional dipahami sebagai bagian dari proses panjang dekolonisasi di bidang hukum. Oleh karena itu, pengesahan RKUHP sering dipandang sebagai keberhasilan negara melepaskan diri dari warisan sistem hukum penjajah dan membangun fondasi hukum yang lebih mandiri serta kontekstual dengan realitas Indonesia.

Namun, di sisi lain, kritik dari kelompok masyarakat sipil tidak bisa diabaikan. Sejumlah pasal dalam RKUHP dinilai berpotensi mengekang kebebasan berpendapat. Ketentuan mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, misalnya, dikhawatirkan dapat digunakan untuk membatasi kritik warga terhadap kebijakan publik. Selain itu, aturan tentang kesusilaan dan kehidupan personal, termasuk soal kohabitasi, dipandang terlalu jauh mencampuri ranah privat dan berisiko menimbulkan kriminalisasi terhadap warga.

Proses pengesahan RKUHP pun turut menuai sorotan. Beberapa kalangan menilai pembahasan dan pengesahan undang-undang ini berlangsung terlalu cepat dan belum sepenuhnya membuka ruang partisipasi masyarakat secara luas. Meski pemerintah menyatakan telah melakukan sosialisasi dan menerima masukan dari berbagai pihak, sebagian publik merasa bahwa mekanisme dialog yang tersedia belum cukup transparan dan inklusif. Hal ini menimbulkan kesan bahwa keputusan besar ini lebih banyak diambil di tingkat elite daripada melalui pembahasan publik yang mendalam.

Para ahli hukum pidana juga mengingatkan bahwa banyak pasal dalam RKUHP membutuhkan aturan pelaksana yang jelas agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Tanpa pedoman teknis yang tegas, penerapan di lapangan sangat bergantung pada subjektivitas aparat penegak hukum. Ketentuan tentang penghinaan, penyebaran informasi, maupun perbuatan yang dianggap mengganggu ketertiban umum berpotensi diterapkan secara tidak seragam jika tidak disertai batasan yang jelas.

Dengan demikian, perdebatan seputar RKUHP tidak hanya berkutat pada persoalan isi pasal, tetapi juga pada bagaimana undang-undang ini akan dijalankan. Jika implementasinya dilakukan secara adil, transparan, dan menghormati hak asasi manusia, RKUHP dapat menjadi landasan penting bagi pembaruan hukum pidana nasional. Namun, tanpa pengawasan yang kuat, kekhawatiran masyarakat mengenai pembatasan kebebasan sipil bisa menjadi kenyataan.

Pada akhirnya, persoalan utama bukan semata-mata apakah RKUHP merupakan simbol dekolonisasi hukum atau ancaman baru bagi demokrasi. Yang jauh lebih menentukan adalah komitmen negara dalam menegakkan hukum secara adil dan melindungi hak-hak warga negara. RKUHP kini telah sah sebagai undang-undang. Tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana ia diterapkan agar keseimbangan antara ketertiban sosial dan kebebasan sipil tetap terjaga.(*)