Khoirunnita Dini Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Raden Mas Said Surakarta Lentera24.com - Problematika berasal dari...
Lentera24.com - Problematika berasal dari akar kata bahasa Inggris "problem" artinya, soal, masalah atau teka-teki. Juga berarti problematik, yaitu ketidaktentuan. Adapun yang dimaksud dengan problematika pendidikan adalah, persoalan-persoalan atau permasalahan- permasalahan yang di hadapi oleh dunia pendidikan, khususnya Negara Indonesia. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Sedangkan menurut Armai Arif, pendidikan adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di permukaan bumi berdasarkan al-Quran dan al- Sunnah (terciptanya insan kamil). Pendidikan adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa, dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi yaitu manusia yang berbudaya.
a. Rendahnya Kualitas Guru
Menurut Kusnandar¹ realitas menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih rendah. Data Balitbang Depdiknas (1999) menunjukkan dari peserta tes guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah. Dari 6.164 calon guru Biologi rata-rata skornya hanya 44,96; dari 396 calon guru Kimia ketika dites Kimia rata-rata skornya hanya 43,55; dari 7.558 calon guru Bahasa Inggris ketika dites Bahasa Inggris rata-rata skornya hanya 37,57; dari 7.863 calon guru Matematika ketika dites Matematika rata-rata skornya hanya 27,67 dan dari 1.164 calon guru Fisika ketika dites Fisika rata-rata skornya hanya 27,35.
Data Balitbang Depdiknas (2001) menunjukkan bahwa guru SD (negeri dan swasta) yang dinilai layak mengajar hanya 38% dari 1.141.168 guru se- Indonesia. Begitu juga untuk jenjang menengah, jumlah guru yang dinilai layak mengajar dibawah 70 %." Sedangkan B. Uno 12 menguraikan bahwa guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan. Di samping khusus diangkat untuk mengajar dan mendidik, guru dibebani tugas sebagai pelaku pembaruan. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan mengajar menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal, kondisi guru-guru yang ada sekarang cenderung masih memprihatinkan.
Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru dalam mentransformasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai tujuh (artinya cukup menguasai materi bidang studinya) relatif sedikit (38,96%) dibandingkan dengan mereka yang mendapat nilai kurang dari enam.
b. Rendahnya Profesionalisme dan Kompetensi Guru
Sebagaimana menurut B. Uno, mengatakan sejak pelita II, peran pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan pendidikan, yang mana guru diposisikan sebagai alat politik kekuasaan untuk melanggengkan rezim orde baru melalui kekuatan partai. Sisi yang terabaikan dengan peran guru yang seperti itu adalah persoalan profesionalisme. Belum lagi pengelolaan semua kebijakan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Penyusunan rancangan pembelajaran tidak dilakukan melalui analisis karakteristik siswa dan potensi siswa melanggengkan rezim orde baru melalui kekuatan partai.
Sisi yang terabaikan dengan peran guru yang seperti itu adalah persoalan profesionalisme. Belum lagi pengelolaan semua kebijakan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Penyusunan rancangan pembelajaran tidak dilakukan melalui analisis karakteristik siswa dan potensi siswa yang dapat dikembangkan siswa. Akibatnya, hasil pendidikan hanya mampu melahirkan SDM yang hanya mampu menghadapi persamaan, sementara perbedaan berfikir dianggap sebagai kelompok yang kontroversi dalam kebijakan, yang pada akhirnya hasil dari pendidikan hanya memperbanyak barisan pengangguran karena "domain" yang digarap dalam pendidikan tidak sesuai dengan potensi siswa dan SDA yang akan mereka kelola setelah selesai dari lembaga pendidikan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, under qualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar- benar kualitatif.
Dan juga masih banyak guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Solusi Problematika Pendidikan Islam Di Era Global
Dari pemetaan problematika pendidikan Islam di atas, penulis mencoba berikhtiar untuk memahami dan memberikan solusi alternatif, meliputi sebagai berikut:
1. Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai. Ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu, itulah sebabnya diperlukan adanya pencerahan dan mengupayakan integralisasi keilmuan.
2. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
3. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini karena otoritasnya dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggungjawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (âyât kawniyyah)52 dengan petunjuk wahyu Allah SWT. Perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (âyât kawniyyah) maupun penelitian terhadap ayat qawliyyah atau naqliyyah (al-Quran dan al-Sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang Islam. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Buchori. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia (Yogyakarka: Tiara Wacana 1994), 46-47.
Mudyahardjo dalam Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran (Bandung: CV. Alfabeta, 2006), 3.
Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 16.
Syafrudin Nurdin, Guru Profesional dan Impelementasi Kurikulum (Jakarta: Ciputat Pers, t.th), 38.
Kusnandar, Profesi Keguruan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 41.
Kompas, 25 Januari 2004. 12
Uno, Profesi Kependidikan, 135.
Muhammad In'am Esha, Institusional Transpormation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam (Malang: UIN-Malang Press), 81.
Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fadilatama, 2011), 105.
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta:Kalam Mulia, 1986), 4
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 152.