Tiara Hezrine Masytah Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta Lentera24.com - Pend...
Lentera24.com - Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam bidang pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.Karena penekanan Pendidikan Agama Islam bukan hanya pada internalisasi nilai-nilai teori saja tetapi mencangkup tatanan aplikatif yang lebih berpengaruh terhadap interaksi sosial. Individu yang berkecimpung didalam Pendidikan Agama Islam pun tidak kalah penting perannya dalam mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, (Candra, 2018).
Dengan makin kuatnya posisi Pendidikan Agama Islam di dalam sistem pendidikan Indonesia setelah mengalami masa pergulatan yang sangat panjang, tentunya secara ideal telah menunjukkan hasil yang signifikan dan tujuan pendidikan agama Islam telah tercapai yaitu pendidikan jasmani, pendidikan akal dan pendidikan akhlak. Namun di dalam kenyataan di lapangan, banyak sekali problematika yang muncul sehingga berakibat tidak maksimalnya pendidikan Agama Islam (sinaga, 2017) Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menemukan solusi yang tepat guna memperbaiki sistem pendidikan agama Islam di Indonesia. Salah satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan adalah pemikiran Ikhwan As-Shaffa, sekelompok cendekiawan Muslim yang memberikan kontribusi penting dalam bidang pendidikan, filsafat, dan etika. Pemikiran Ikhwan As-Shaffa tentang pendidikan agama dapat dijadikan dasar dalam merumuskan solusi atas masalah pendidikan agama Islam di Indonesia.
Problematika Pendidikan Agama Islam
A. Kurangnya kualitas pengajaran pendidik
Guru merupakan seorang pengajar yang menyampaikan ilmu kepada peserta didiknya. Peran seorang guru sangatlah penting dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Namun, nyatanya masih banyak guru yang memandang pekerjaannya suatu hal yang mudah dan hanya sekedar melakukan pekerjaannya untuk mendapat penghasilan. Menurut Herlambang, saat ini terbangun paradigma keliru tentang pemahaman profesi guru yang meliputi: (1) Mencetak manusia yang siap untuk kerja; (2) Memandang bahwa mendidik merupakan pekerjaan mudah dan dapat dilakukan oleh siapapun; dan (3) Memiliki tujuan utama yaitu untuk mendapat penghasilan. (Herlambang, 2018) Selain itu, pada beberapa kasus pendidikan di Indonesia penempatan guru tidak sesuai dengan bidang atau keahliannya. Hal ini dapat menyebabkan guru tidak bisa optimal dalam mengajar (Kurniawati, 2022) Para pakar pendidikan di Indonesia juga menilai bahwa salah satu penyebab utama kurang berhasilnya sistem pendidikan adalah rendahnya kualitas para pendidik. Padahal, kualitas pendidik yang baik merupakan syarat penting bagi keberhasilan pendidikan. Selain itu pendidik masih kaku dalam mengajar.
B. Kurangnya Integrasi ilmu Agama dan ilmu umum
Dalam sistem pendidikan Indonesia, terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini menciptakan kesenjangan antara keduanya, sehingga siswa mempelajari keduanya secara terpisah tanpa melihat keterkaitannya. Padahal, integrasi kedua ilmu ini dapat memberikan pemahaman yang lebih holistik kepada siswa. (Rizki & Wati, 2025)
Solusi Pendidikan Agama Islam menurut Ikhwan As- Shaffa
A. Meningkatkan Kualitas Pendidik
Sejalan dengan pandangan Ikhwan al-Shafa, pendidik dalam perspektif Islam merupakan individu yang memegang tanggung jawab besar terhadap proses perkembangan peserta didik. Tanggung jawab ini mencakup upaya sistematis dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, serta mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik. Potensi tersebut meliputi aspek afektif (perasaan), kognitif (pemikiran), dan psikomotorik (tindakan), yang semuanya harus dikembangkan secara holistik dan seimbang. (Izzati, 2016).
Pendidik memiliki peran strategis dalam memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh. Tugas ini tidak hanya terbatas pada penyampaian materi ajar, tetapi juga mencakup penerapan metodologi pembelajaran yang relevan terhadap kebutuhan individu peserta didik. Dalam menjalankan peran tersebut, seorang pendidik idealnya memiliki kompetensi intelektual yang tinggi, disertai dengan integritas moral, empati, serta kedewasaan emosional dan spiritual. Karakter pendidik yang efektif ditandai oleh ketulusan, kejernihan berpikir, komitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, serta keterbukaan terhadap perbedaan pandangan. Fanatisme, arogansi intelektual, dan sikap otoriter dalam proses belajar-mengajar justru menjadi penghambat dalam menciptakan suasana pembelajaran yang konstruktif. Oleh sebab itu, pendidik perlu menunjukkan kesabaran dan kepekaan khusus, terutama dalam membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan memahami materi. Yang terpenting, pendidik memiliki tanggung jawab untuk menggali dan mengembangkan potensi laten yang ada dalam diri setiap peserta didik. Potensi tersebut sering kali tidak tampak di permukaan dan hanya dapat dimunculkan melalui pendekatan yang humanis, reflektif, dan kontekstual. (Pepilina.,dkk, 2022).
Menurut pandangan Ikhwan as-Shafa, fungsi mendidik tidak sekadar aktivitas pengajaran, melainkan merupakan peran yang setara dengan tanggung jawab orang tua kedua. Dalam perspektif ini, orang tua biologis berperan sebagai pembentuk fisik dan aspek jasmaniah anak, sedangkan pendidik mengambil peran penting dalam membentuk karakter, pola pikir, dan dimensi spiritual peserta didik. Dengan demikian, pendidikan dipahami sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya, yang mencakup dimensi rohani dan moral, bukan hanya aspek intelektual. Pendidik bertugas menanamkan nilai, mengarahkan akal, serta menumbuhkan kesadaran diri peserta didik terhadap tujuan hidup yang lebih tinggi. Pandangan ini menegaskan bahwa peran pendidik sangat esensial dalam proses internalisasi nilai-nilai kemanusiaan dan transendental. Oleh karena itu, menjadi pendidik bukan hanya profesi, tetapi juga misi kemanusiaan yang menuntut keikhlasan, kedalaman spiritual, dan komitmen terhadap transformasi moral peserta didik. (Karim, 2020).
B. Integrasi Antara Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Ikhwan As-Shafa’ memiliki pandangan yang seimbang dalam pendidikan. Mereka tidak hanya menekankan pada ilmu-ilmu alam (kauniyah) seperti ilmu jiwa dan fisika, tetapi juga pada ilmu-ilmu agama (tanziliyah) seperti tafsir dan syariat. Keduanya dianggap sama penting karena sama-sama berasal dari Allah SWT. (Pepilina., dkk, 2022) Perbedaannya terletak pada fungsi: ilmu kauniyah sebagai sarana hidup (wasilah al-hayah), sedangkan ilmu tanziliyah sebagai panduan hidup (manhaj al-hayah). Dalam kurikulum pendidikan, mereka menggabungkan berbagai disiplin ilmu seperti logika, filsafat, ilmu jiwa, kitab samawi, kenabian, syariat, hingga ilmu pasti. Meski ilmu agama menjadi fokus utama, Ikhwan As-Shafa’ menyadari pentingnya ilmu aqliyah (rasional), terutama ilmu alam dan filsafat. Mereka mengelompokkan ilmu aqliyah menjadi tiga: matematika, fisika, dan metafisika. Semua ilmu ini dipandang penting untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ikhwan As-Shafa’ tidak membedakan secara kaku antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya saling melengkapi demi membentuk manusia yang utuh, bahagia di dunia dan akhirat. (Karim, 2020) Pandangan ini sejalan dengan prinsip dasar dalam Islam bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian dari agama, dan agama itu sendiri hanya dapat dijalankan secara benar bila dipahami dan dibekali dengan ilmu. Oleh karena itu, baik ilmu yang tergolong fardu ‘ayn (wajib individu) seperti ilmu agama, maupun fardu kifayah (wajib kolektif) seperti ilmu sains dan teknologi, keduanya perlu dipelajari secara sungguh-sungguh. Seperti yang dijelaskan oleh Daud, ilmu-ilmu agama perlu dikuasai secara mendalam karena memberikan pemahaman tentang ayat-ayat Allah yang diwahyukan, sementara ilmu-ilmu alam dan sejarah memberikan pemahaman tentang ayat-ayat Allah yang diciptakan di alam semesta. (Lathifah, 2022).(*)
Daftar Pustaka
Candra, B. Y. (2018). Problematika Pendidikan Agama Islam. ISTIGHNA: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 1(1), 134-153.
Herlambang, Y. T. (2018). Pedagogik: Telaah Kritis Ilmu Pendidikan Dalam
Multiperspektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Izzati, H. (2016). Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa. Jurnal Al-Mutaaliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 1(1), 99-110
Karim, A. R. (2020). Pemikiran Pendidikan Menurut Ikhwan As-Shafa'. Jurnal At-Tarbiyyah: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 6(2), 122-132
Kurniawati, F. N. A. (2022). Meninjau permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di indonesia dan solusi. Academy of Education Journal, 13(1), 1-13.
Lathifah, I. (2022). Hubungan Ilmu Agama dan Ilmu Umum dalam Bidang Pendidikan. Book Chapter of Proceedings Journey-Liaison Academia and Society, 1(1), 650-662.
Pepilina, D., Surya, L., Januarius, T. J., & Sutisna, U. (2022). ANALISIS PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA. Jurnal Ilmu Tarbiyah, 1(1), 11-22.
Rizki, A. A., & Wati, S. (2025). Integrasi Ilmu Pengetahuan Umum dan Agama dalam Pendidikan Islam Modern: Tantangan dan Peluang. Jurnal Budi Pekerti Agama Islam, 3(1), 254-259.
Sinaga, S. (2017). Problematika pendidikan agama islam di sekolah dan solusinya. WARAQAT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2(1), 14-14.