David Kamaluddin El Barito, S.I.P. Mahasiswa Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Lentera24.com - Demokrasi tidak...
Lentera24.com - Demokrasi tidak hanya diukur dari seberapa sering rakyat memilih, tetapi juga dari seberapa kuat kekuasaan itu diawasi. Dalam sistem yang ideal, kekuasaan tidak berdiri sendiri; ia harus dikawal, ditantang, dan dipertanyakan. Itulah mengapa keberadaan oposisi dalam sistem demokrasi bukanlah gangguan—melainkan fondasi penting bagi lahirnya pemerintahan yang bertanggung jawab. Sebagaimana diungkap Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1748), kekuasaan hanya bisa dikendalikan oleh kekuasaan lain. Di sinilah konsep checks and balances menemukan tempatnya, terlebih dalam desain tata kelola pemerintahan daerah yang rawan kooptasi dan dominasi sepihak.
Salah satu bentuk konkret dari mekanisme pengawasan ini adalah desain kelembagaan yang bercorak oposisi dengan diferensiasi formasi koalisi politik antara eksekutif dan legislatif. Ketika kepala daerah berasal dari partai atau koalisi tertentu, sementara mayoritas DPRD didominasi oleh partai-partai lain yang berseberangan, maka hadirlah oposisi institusional yang secara alami menantang keputusan-keputusan eksekutif. Ini bukan semata-mata soal politik, tapi soal membangun sistem yang tak memberi ruang mutlak pada siapa pun.
Fenomena ini tampak nyata dalam kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta (2017–2022). Anies, yang diusung oleh Partai Gerindra dan PKS, harus memimpin tanpa dukungan mayoritas di DPRD pasca Pemilu Legislatif 2019. PDIP sebagai partai terbesar, bersama PSI dan beberapa fraksi lainnya, menempatkan diri sebagai oposisi terhadap banyak kebijakan Anies. Di sinilah awal dinamika dimulai: pertarungan politik yang tak jarang panas, namun membawa sisi positif—munculnya tekanan publik, kewajiban menjelaskan kebijakan, serta keterbukaan informasi, terutama dalam kaitannya dengan anggaran.
Kritik paling keras diarahkan pada penyelenggaraan Formula E. Program ini yang semula dirancang sebagai citra baru Jakarta dalam dunia otomotif berkelanjutan, justru menuai badai kontroversial. Fraksi PDIP dan PSI menggugat proyek ini sejak awal: dari pembiayaan yang dinilai terlalu besar hingga dugaan kurangnya transparansi dalam perjanjian kerja sama (CNN Indonesia, 2022). DPRD kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus), memanggil pejabat, membuka kontrak, dan memaksa pemerintah provinsi menjelaskan setiap detailnya di hadapan publik (Kompas.com, 2022). Di titik inilah oposisi menunjukkan peran sejatinya: menahan laju kebijakan agar tidak melampaui batas akal sehat dan kepatutan publik.
Ketegangan serupa juga terjadi dalam kasus sistem e-budgeting. Ketika Anies memodifikasi sistem warisan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang sebelumnya dikenal transparan dan terbuka. Oposisi di DPRD menduga adanya upaya mengaburkan proses penganggaran. Desakan agar sistem dikembalikan ke format awal akhirnya membuat sebagian data dibuka kembali (Tirto.id, 2019). Di sinilah tampak jelas: ketika eksekutif dan legislatif tidak berjalan seiring, publik justru mendapat keuntungan berupa keterbukaan dan akuntabilitas.
Namun, Jakarta bukan satu-satunya panggung dari desain oposisi yang bekerja efektif. Kota Bandung pun punya kisah serupa. Ketika Ridwan Kamil menjabat sebagai Wali Kota Bandung (2013–2018), ia maju sebagai calon independen yang tidak memiliki koalisi politik formal di DPRD. Kondisi ini menempatkannya dalam posisi yang unik: pemimpin dengan legitimasi rakyat, namun tanpa amunisi kuat di legislatif.
Ketika Ridwan Kamil meluncurkan proyek-proyek inovatif seperti Bandung Smart City, penataan taman kota, dan pengembangan transportasi publik, beberapa fraksi di DPRD—termasuk yang berasal dari partai besar seperti Golkar dan PDIP—melontarkan kritik keras. Mereka menilai prioritas pemerintah kota lebih bersifat simbolik ketimbang menyentuh kebutuhan dasar warga. Walau sempat terjadi tarik-menarik, proses penganggaran dan pelaksanaan kebijakan tetap berjalan setelah melalui perdebatan terbuka yang panjang. Tekanan dari legislatif membuat Ridwan Kamil lebih cermat dalam menyusun program, mengintensifkan komunikasi publik, serta memperkuat laporan kinerja pemerintah kota secara daring (Tempo.co, 2015).
Dalam dua kasus ini—Jakarta dan Bandung—memperlihatkan bahwa desain kelembagaan dengan komposisi afiliasi kepartaian yang berbeda mampu menggerakkan pengawasan secara organik, baik disadari secara langsung maupun tidak. Dinamika ini mencerminkan apa yang disebut sebagai constructive opposition, yaitu pertentangan yang mendorong peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan. Ketika DPRD meminta kejelasan anggaran dan evaluasi program, mereka tidak hanya menjalankan fungsi kontrol, tetapi juga menjadi kanal aspirasi masyarakat. Sebaliknya, ketika kepala daerah merespons kritik dengan data dan transparansi, terjadi proses deliberatif yang memperkuat kualitas pemerintahan daerah. Berbeda dengan destructive opposition yang menekankan pada pertentangan politis tanpa alasan substansial. Oposisi ini tetap berada dalam koridor konstitusional, dengan mekanisme formal seperti pansus, interpelasi, hingga pembahasan anggaran secara terbuka dalam prosesnya. Friksi seperti ini adalah bentuk interaksi sehat dalam demokrasi yang menolak kekuasaan absolut dan mendorong kepala daerah untuk selalu bersikap akuntabel.
Sebagaimana teori delegation and accountability oleh Strom (2000), di mana akuntabilitas hanya terwujud ketika lembaga legislatif memiliki kekuatan, kepentingan politik, dan kapasitas yang baik untuk mengawasi eksekutif. Ketika eksekutif terlalu kuat dan legislatif pasif atau kooptatif, risiko korupsi dan penyimpangan meningkat tajam. Sebaliknya, ketika legislatif bersikap terlalu konfrontatif dan tidak berbasis argumen yang konstruktif, maka pemerintahan mengalami keterhambatan dalam menjalankan program-programnya. Oleh karena itu, penting untuk merancang relasi kuasa antara eksekutif-legislatif yang menciptakan equilibrium kekuasaan yang sehat—di mana legislatif cukup independen dan kritis dalam mengawasi, namun tetap rasional dan terbuka terhadap dialog demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel.
Namun, terdapat pertanyaan fundamental yang muncul: apakah kondisi ini terjadi secara alami, atau dapat dirancang secara prosedural? Jawabannya terletak pada sistem pemilu. Salah satu cara dalam memperbesar peluang terjadinya diferensiasi formasi kepartaian antara lembaga eksekutif dan legislatif adalah melalui sistem pemilihan dengan tempo yang terpisah, di mana pelaksanaan Pilkada dilaksanakan di suatu waktu, dan pemilihan legislatif dilaksanakan di waktu yang lain, sehingga pemetaan komposisi kursi politik dapat direkayasa dengan kalkulasi dan pertimbangan yang proporsional. Selain itu, dibentuknya sistem kepartaian yang bercorak dwi-partai, memungkinkan terjadinya keseimbangan dan kontrol masif dalam pemerintahan. Pemilu memberikan ruang kompetisi proporsional di antara kedua partai melalui pembagian jatah kekuasaan yang berbeda di setiap lembaga. Contoh, di antara dua partai (atau koalisi partai), partai A memenangkan kursi Pilkada, maka secara otomatis partai A tereliminasi keikutsertaannya dalam Pemilu Legislatif, yang hanya diperuntukkan bagi partai B. Dalam pemilu yang terpisah, Partai B (dan koalisinya) kemudian menjalankan pemilihan untuk memilih kandidatnya dalam menduduki kursi legislatif. Singkatnya, pemilu legislatif hanya diikuti oleh partai B (atau koalisinya) yang berada di luar koalisi partai A. Adanya pembagian formasi tersebut memungkinkan lahirnya dua kekuatan politik yang saling mengontrol, yakni koalisi Partai A di ranah eksekutif dan koalisi Partai B di ranah legislatif.
Meskipun demikian, penulis menyadari adanya keterbatasan dalam tulisan ini, sehingga diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut dalam melihat bagaimana aspek positif dan negatif yang ditimbulkan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai demokrasi yang dihadirkan – bagaimana regulasinya; aspek teknis turunannya; maupun peluang munculnya anomali dalam bentuk lain (seperti negosiasi ataupun tawar menawar informal yang akan terjadi di balik layar oleh elite politik meskipun prosedur tersebut telah dijalankan).
Sebagai disclaimer, artikel ini ditujukan sebagai bahan refleksi, sekaligus memberikan pandangan berbeda yang dapat membuka ruang diskusi, maupun rekomendasi dan solusi dalam menentukan arah pemilu di Indonesia: apakah akan terus mengadopsi pemilu gaya lama, atau perlu mentransformasikannya ke dalam bentuk baru?(*).