Indah Yuliasari Putri Semester 3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negri Siber Syekh Nurjati Cirebon Lentera24 com Bela...
Lentera24 com Belakangan ini, politik semakin ramai menjadi perbincangan di media sosial. Dari TikTok, Instagram, hingga X (Twitter), berbagai konten politik berseliweran setiap hari: potongan video debat calon pemimpin, meme sindiran, hingga pamflet digital yang disebarkan dengan cepat. Anak muda terlihat semakin aktif ikut bersuara. Ada yang memang ingin memahami isu politik secara mendalam, namun tak sedikit pula yang sekadar ikut-ikutan agar terlihat peduli atau tidak dianggap ketinggalan tren. Fenomena inilah yang sering disebut sebagai FOMO politik atau rasa takut tertinggal dari arus pembicaraan politik, meskipun belum tentu memahami substansi yang dibicarakan.
Fenomena ini tampak dengan jelas pada pelaksanaan Pemilu 2024 yang lalu. Media sosial saat itu dipenuhi berbagai unggahan politik, namun banyak di antaranya yang ternyata menyesatkan. Salah satu contohnya adalah beredarnya video Presiden Joko Widodo yang tampak berbicara dalam bahasa Mandarin dengan fasih. Video ini sempat viral dan memancing berbagai komentar negatif. Setelah ditelusuri oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ditemukan bahwa video tersebut merupakan hasil editan berbasis kecerdasan buatan (AI) yang sengaja dimanipulasi untuk menimbulkan persepsi tertentu. Menurut laporan DetikNews, video tersebut berasal dari unggahan lama kanal YouTube The U.S.-Indonesia Society (USINDO) tahun 2015, yang kemudian diubah dengan teknologi deepfake sehingga tampak meyakinkan seolah-olah Presiden berbicara Mandarin. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, bahkan mengingatkan bahwa saat ini hoaks politik sudah memasuki tahap yang lebih berbahaya, karena teknologi AI dapat digunakan untuk memalsukan wajah dan suara tokoh publik dengan tingkat kemiripan yang sangat tinggi.
Kasus tersebut menjadi contoh nyata bagaimana politik digital di era sekarang tidak lagi sekadar tentang opini dan debat, tetapi juga tentang bagaimana kebenaran bisa dimanipulasi dengan sangat mudah. Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat, terutama generasi muda, kerap menjadi sasaran empuk bagi disinformasi semacam ini. Banyak yang membagikan konten tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu, bahkan kadang ikut menambah narasi yang memperkeruh suasana. Inilah dampak ketika politik dijadikan tren, tetapi kesadaran untuk memahami isu tidak ikut berkembang.
Padahal, politik tidak semestinya dipandang sebagai ajang untuk saling menjatuhkan atau sekadar bahan hiburan di dunia maya. Politik adalah bagian dari kehidupan yang sangat nyata menentukan arah kebijakan negara, memengaruhi harga sembako, pendidikan, lapangan kerja, dan masa depan masyarakat secara keseluruhan. Politik bukan hanya tentang siapa yang paling viral atau paling sering muncul di media, tetapi tentang bagaimana kebijakan dan keputusan politik berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Karena itu, penting bagi generasi muda untuk benar-benar melek politik, bukan hanya ikut tren yang sedang ramai.
Melek politik berarti memahami bahwa setiap informasi yang beredar harus disikapi dengan kritis dan hati-hati. Sebelum membagikan sesuatu, penting untuk memeriksa sumbernya, mencari konteksnya, dan memastikan kebenarannya. Melek politik juga berarti mampu menilai suatu isu secara rasional tanpa mudah terprovokasi oleh narasi yang bersifat emosional. Sikap kritis ini menjadi dasar agar politik tidak hanya menjadi arena debat tanpa arah, tetapi menjadi ruang pembelajaran dan partisipasi yang sehat.
Untungnya, di tengah fenomena “ikut-ikutan politik” yang marak di media sosial, mulai muncul juga gerakan positif dari kalangan muda. Komunitas seperti Bijak Memilih, Cek Fakta Kompas, dan Think Policy hadir untuk mengedukasi masyarakat agar lebih cerdas dalam menyikapi isu politik. Mereka berupaya menanamkan nilai-nilai literasi politik dan mendorong masyarakat untuk terbiasa memeriksa kebenaran sebelum percaya. Langkah seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan generasi yang tidak hanya aktif berbicara soal politik, tetapi juga benar-benar memahami dan peduli terhadap isinya.
Namun, tanggung jawab membangun kesadaran politik tidak bisa diletakkan di pundak individu saja. Dunia pendidikan perlu lebih berperan dalam menanamkan nilai berpikir kritis dan pemahaman tentang politik sejak dini. Media massa juga harus berkomitmen menjaga integritas pemberitaan agar tidak terjebak dalam sensasionalisme. Sementara pemerintah harus menciptakan ekosistem informasi yang transparan dan aman, serta menindak tegas penyebaran hoaks, terutama yang berbasis teknologi AI seperti kasus deepfake yang baru-baru ini muncul.
Sudah saatnya generasi muda berhenti menjadikan politik sekadar tontonan di layar ponsel. Politik seharusnya menjadi wadah untuk memahami realitas sosial, memperjuangkan kebenaran, dan menciptakan perubahan yang lebih baik. Ketika kesadaran mulai tumbuh, politik tidak lagi berhenti di dunia maya, tetapi hidup dalam tindakan, sikap, dan langkah nyata menuju masa depan bangsa yang lebih bijak dan beradab.-


