HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Wirausaha Milenial

Alfi Qurrotul A'yun Mahasiswa Semester 4 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Uin Sunan Kalijaga Lentera24.com - Disaat ...

Alfi Qurrotul A'yun Mahasiswa Semester 4 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Uin Sunan Kalijaga

Lentera24.com - Disaat intensitas hujan dan panas ekstrem semakin terasa. Alih-alih mencari jalan keluar atau mengubah perilaku untuk mengurangi efek pemanasan global, kita biasanya sibuk menaikkan suhu AC. Pada saat yang sama, kita mulai menyadari bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin sulit.

Jalan pintas untuk masalah ini adalah dengan memperluas peluang belanja kredit tanpa perencanaan jangka panjang. Perilaku ini seperti mengobati penyakit dalam dengan salep topikal. Itu tidak menyembuhkan, itu hanya memperburuk keadaan.

Banyak negara mulai membangun konsensus untuk mengatasi perubahan iklim dan kondisi ekonomi. Peraturan, kesepakatan, dan tujuan sudah dipersiapkan. Lalu bagaimakah peran kolektif masyarakat terutama peran pelaku bisnis? Dapatkah pengusaha membantu mendorong rekonstruksi ekonomi, sosial dan lingkungan dalam krisis ini?

Ketika dunia penuh dengan perubahan dan ketidakpastian, negara membutuhkan lebih banyak bakat wirausaha daripada sebelumnya (Horsaengchai & Mamedova, 2011). Artinya kita perlu menambah jumlah wirausahawan agar dapat berinovasi dalam situasi yang berbeda sebagai subjek perubahan (Bjerke, 2007).


Ide kewirausahaan sosial datang dari semangat kewirausahaan. Kewirausahaan sosial muncul pada pergantian milenium seiring dengan semakin mendesaknya penyelesaian berbagai krisis. Kewirausahaan sosial dapat didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang dilakukan oleh pihak swasta untuk mencapai tujuan sosial atau publik bersamaan dengan keuntungan finansial (Wolk, 2008).


Kita semakin sering menyaksikan munculnya usaha kreatif secara sporadis yang berkontribusi pada nilai sosial dan lingkungan di berbagai daerah. Usaha ini tidak hanya menjadi entitas bisnis yang komersil, tetapi juga membawa semangat perubahan. Misalnya kesadaran para pelaku UMKM terhadap lingkungan di Yogyakarta.

Beberapa kafe, toko roti dan toko kelontong telah melakukan pemilahan sampah dan mengurangi penggunaan plastik. Program peduli lingkungan juga menjadi lebih populer dan banyak diminati. Organisasi seperti Waste4Change memiliki lebih banyak pengikut.  Selain itu, banyak inisiator energi terbarukan di berbagai kompetisi universitas dan acara lainnya.

Kewirausahaan juga dapat memicu kreativitas dalam diri. Kreativitas ini akan memetakan setiap tantangan dan kesempatan bisnis sesuai perkembangan zaman. Gambaran ini direpresentasikan melalui kesuksesan start-up seperti Traveloka, Tokopedia, dan Gojek yang menjawab kebutuhan gaya hidup fleksibel masyarakat saat ini.  Selain berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan, kewirausahaan tentunya juga dapat mendorong solidaritas sosial dan ekonomi di suatu daerah. Misalnya Sukka Citta, Lawe, dan Du Anyam yang memberdayakan potensi pada sektor kerajinan dan fashion dengan nilai-nilai kebudayaan untuk mengentaskan kemiskinan. 

Selain itu terdapat aplikasi Tumbasin, yang menjawab permasalahan pasar tradisional, seperti masalah jarak dan keengganan konsumen untuk berbelanja secara konvensional karena keterbatasan waktu. Tumbasin menyediakan agen belanja, layanan ini memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa menghentikan dinamika pasar itu sendiri.

Tentunya cara dapat dilakukan untuk mengaktivasi tren kewirausahaan supaya lebih masif adalah dengan mendorong generasi milenial yang merupakan tenaga kerja produktif agar semakin terlibat di sektor ini. Terdapat 1,7 miliar milenial di seluruh dunia, dengan kata lain 25,5% dari populasi, dan dua kali lebih besar dari Generasi X (Laporan tahunan Generasi Y dan Tempat Kerja, 2010). Oleh karena itu, keberlansungan sektor kewirausahaan akan mengacu pada keputusan yang diambil generasi milenial saat ini. 

Kepedulian terhadap masalah sosial, ketekunan, dan kepribadian proaktif memegang peranan penting di kalangan milenial untuk niat berwirausaha sosial (Alberto dan Margarita, 2019). Milenial memiliki lebih dari sekadar keinginan untuk menghasilkan uang, tetapi juga sangat peduli bagaimana dia dapat memengaruhi dunia (Forbes, 2016).

Sebenarnya kaum milenial sangat antusias terhadap sektor wirausaha mandiri, namun pada akhirnya banyak dari mereka yang mengundurkan diri untuk bercita-cita menjadi seorang wirausaha. Milenial yang menginjak usia 30 tahun memiliki tingkat kewirausahaan yang lebih rendah (4%) dibandingkan Generasi X (5,4%) dan baby boomer (6,7%) (Liu et al, 2019). 

Intensi kaum milenial untuk memulai usaha telah disikapi dengan positif, namun belum bisa berubah secara optimal menjadi perilaku wirausaha. Hal ini dikarenakan generasi ini masih menghadapi berbagai kendala seperti dukungan sosial, ketersediaan modal dan pengetahuan.

Walaupun sudah semakin terlihat titik terang, proses pembelajaran pada pendidikan dasar dan tinggi masih malu-malu untuk memenuhi kebutuhan kontemporer, termasuk yang berkaitan dengan kewirausahaan. Dengan demikian, keterbatasan pengetahuan bisnis masih menjadi hambatan mengapa kewirausahaan belum dieksplorasi lebih luas oleh milenial.  Selain itu, keterbatasan modal, peluang dan dukungan sosial tentunya menjadi menjadi isu klasik di sektor wirausaha.

Milenial yang akan memulai bisnis sering kali mengalami terkanan oleh  keluarga atau kolega yang beranggapan bahwa wirausaha terlalu berisiko dan tidak stabil. Oleh karena itu sudah saatnya sistem pendidikan dan pemerintah lebih aktif mendukung dan memasarkan program-program yang ditujukan untuk pertumbuhan kewirausahaan.

Milenial perlu menyadari peran mereka sebagai sumber daya manusia dengan membekali diri untuk berkomitmen belajar bisnis. Milenial bisa mulai memahami kebutuhan masyarakat dengan mengamati dari hulu hingga hilir sebelum memulai bisnis. Agar suatu usaha nantinya dapat menguntungkan secara ekonomi, lingkungan dan sosial, diperlukan adanya pemahaman komperhensif. Terjun dalam masyarakat (hilir) berarti mengenali apa permasalahan masyarakat saat Ini. Kemudian mengidentifikasi penyebab atau pemicu masalah. Solusi yang diberikan bisa pada konteks hilir atau hulu. Sebenarnya banyak pintu investasi yang terbuka, yang tersisa hanyalah bagaimana keberanian kaum milenial untuk mengambil keputusan.

Oleh karena itu kita perlu memberikan dukungan agar para milenial semakin percaya diri dan termotivasi untuk memasuki dunia wirausaha. Selain itu kita harus memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa generasi muda bukanlah hanya generasi kelas belajar. Generasi muda adalah sumber daya manusia yang hebat, pemimpin masa depan, dan harapan bagi perkembangan ekonomi global (Ogamba, 2018). ***