HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kisah Nyata Dukuh Legetang, Desa yang lenyap Dalam Semalam

Lentera 24.com | JAWA TENGAH -- Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sa...

Lentera24.com | JAWA TENGAH -- Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. 

Foto : Ilustrasi
Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang bermaksiat, yang terkubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu. 

"Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955"

Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi kehidupan dukuh (desa) itu.

Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan sebagainya.

Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.

Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.

Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.

Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Namun tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.

Pada pagi harinya, masyarakat di sekitar Dukuh Legetang pada penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah berani keluar rumah untuk memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telingan. Mereka sangat terkejut ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari belahan puncak gunung tersebut. Duku Legetang yang awalnya merupakan terletak di sebuah lembah kini tertimbun berubah menjadi sebuah bukit, dan mengubur seluruh rumah yang ada di Dukuh Lagetang beserta warganya mati dan membuat Gegerlah kawasan Dieng.

Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengisahkan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Tiba tiba baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” 

Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.

Lenyapnya Desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.

Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh. Namun sebenarnya gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan dab memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. 

Tapi tanda-tanda itu tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat.

Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada.

Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab Allah swt yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah bagi Allah swt untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-NYa yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.

Dari 351 korban jiwa, terdapat 19 orang yang berasal dari luar Dukuh Legetang. Sementara itu, masih ada dua orang warga asli Legetang yang selamat dari bencana tersebut.

‘’Yang hidup cuma disisakan dua sama Allah, itu perempuan semua. Mungkin disisakan dua orang itu agar bisa menceritalan sejarah penyebab lenyapnya Dukuh Legetang tapi sekarang sudah meninggal".

Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah Yang Maha Kuasa? Dan apabila gunung-gunung diterbangkan,” (QS. at-Takwir: 3).

Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat saat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun, bagian tugu tersebut ditulis dengan plat logam dengan tulisan :  “TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNNA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG
SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNYA GUNUNG PENGAMUN-AMUN Pada TGL. 16/17-4-1955″. Kisah nyata ini di ceritakan Toyib (71) oleh salah satu saksi hidup. [] ROBY SINAGA (dari berbagai sumber)