Foto : Ilustrasi/politik.rmol.co suara-tamiang.com , ACEH TAMIANG -- Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Aceh meminta Gubenur Aceh berta...
![]() |
Foto : Ilustrasi/politik.rmol.co |
Sekretaris Pospera Aceh, Muhajir, Minggu (31/1) mengatakan, pihaknya menilai, vonis hakim yang menghukum rakyat karena berjuang meminta dikembalikannya lahan yang dulunya mereka garap, merupakan bentuk pembungkaman negara terhadap rakyat.
“Karena 11 warga itu bukan preman yang ingin merampas tanah negara. Mereka hanya menggelar protes untuk menuntut haknya yang dirampas oleh negara.
Namun mereka malah ditangkap aparat Polda awal 2015, dan dituduh melakukan kejahatan terhadap perusahaan perkebunan yang beroperasi di tanah mereka,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kasus ini, Pemerintah Aceh adalah pihak yang harus bertanggungjawab penuh terhadap konflik lahan di Aceh Tamiang.
Karena seandainya gubernur dan segenap jajarannya proaktif sejak awal menyelesaikan konflik antara warga dengan PT Rapala, aksi kriminalisasi tersebut tidak akan terjadi.
Warga juga sudah mengadukan kasus ini ke Pemerintah Aceh sejak akhir 2013, untuk meminta kebijaksanaan pemerintah.
Bahkan, warga pernah bertemu langsung dengan Asisten I Pemerintah Aceh, Iskandar A Gani pada Oktober 2014. Namun, kasus ini diabaikan sehingga akhirnya tidak pernah selesai.
“Pemerintah Aceh lepas tangan dan sama sekali tidak berpihak kepada rakyatnya, yang hingga kini terus dirampas haknya oleh perusahaan perkebunan,” protesnya.
Apa yang terjadi di Aceh Tamiang seharusnya membuka mata Pemerintah Aceh, bahwa ada banyak kasus perebutan lahan di seluruh Aceh.
Ada banyak tanah rakyat yang dirampas oleh perusahaan, terutama mafia perkebunan. Kondisi ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu dan masih berjalan mulus hingga sekarang. Tanpa ada kepedulian dari pemerintah daerah.
Protes serupa terus mengalir dari berbagai pihak, sejak Majelis Hakim PN Kualasimpang yang diketuai Zulfikar SH MH dan dua hakim anggota, Hasnul Tambunan SH dan M Arief Kurniawan SH, memutuskan 11 warga ini bersalah melanggar pasal 335, ayat ke 1 Juncto pasal 55 ayat 1 KUHP, tentang perbuatan tidak menyenangkan, dan pasal 107 huruf a UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
Ke-11 terdakwa ini, divonis hukuman antara 12 bulan sampai 22 bulan kurungan penjara, sesuai tingkat kesalahannya.
Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang malah menginginkan 11 terdakwa itu dipenjara selama 24 bulan. (md/serambinews)