Foto: SYAWALUDDIN | STC SYAWALUDDIN | STC Karang Baru | Pembukaan lahan yang dikonversikan—dirubah fungsi—menjadi perkebunan kelapa...
Foto: SYAWALUDDIN | STC |
Karang Baru | Pembukaan lahan yang dikonversikan—dirubah fungsi—menjadi perkebunan
kelapa sawit semakin meluas, diwilayah Aceh Tamiang. Dari 21.150 hektar di tiga kecamatan—
Manyak Payed, Seruway dan Bandar Khalifah—terparah di desa Lubuk Damar.
Stc melansir; Hingga kini belum ada tindak lanjut dan penyelesaian dari pemerintah. Meski
Dirjen kehutanan, Bapedal Aceh, BPDAS Aceh, Dishutbun Provinsi dan Aceh Tamiang sudah turun meninjau beberapa waktu lalu.
Kini lahan gambut menjadi incaran konversi, di desa Bandar Khalifah; setelah Lubuk Damar di porak-porandakan. Sedikitnya 66 hektar sudah mulai digarap oleh kelompok tani Seulanga Indah dengan membuat bedeng-bedeng—bendungan—setinggi 1.2 meter, agar air sungai tidak masuk saat pasang tiba.
Data hasil assessment—pengumpulan data lapangan—Lembaga Advokasi Hutan Lestari
(LembAHtari), dua hari lalu lahan gambut seluas 66 hektar yang digarap kelompok tani Seulanga Indah, terindikasi ikut dibiayai Kecik Atlas, pemilik bekho yang sedang menggarap lahan tersebut.
“Pak ini murni punya masyarakat, tidak dibiyai dari manapun.” Kata Idris, ketua kelompok Tani Seulanga Indah. Lebih jauh dijelaskan; masing-masing anggota mengeluarkan biaya sebesar Rp3 juta rupiah untuk biaya pengerjaan Landclearing—pembersihan—lahan itu.
Namun, beberapa warga yang berseberangan; Muhammad Affan (45) mengatakan, kalau lahan yang sedang di Landclearing tersebut sebagian dibiayai oleh Kecik Atlas, cakupan pembukaan lahan gambut yang sedang dikerjakan itu bukan 66 hektar, tetapi 225 hektar.
“Yang baru dikerjakan benar 66 hektar, tetapi mereka akan membuka lahan gambut tersebut hingga 225 hektar, dibelakang mereka Kecik Atlas, Bekho yang mereka gunakan saja milik Kecik Atlas, jadi sangat logis dan beralasan kan?...” tegas Muhammad.
Direktur Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) Sayed Zainal MSH; menyayangkan tindakan yang menjual dan mengatasnamakan masyarakat sekitar untuk menguasai lahan Gambut seluas 225 hektar dalam bentuk konversi ke Perkebunan Kelapa Sawit.
“Kalau ini terus terjadi, untuk apa di buat Garis Sepadan Pantai (GSP), notabenenya mereka
sudah menggarap diluar prosedur yang ditentukan, kita sudah lihat, kalau lahan yang digarap
masuk kedalam kawasan hutan dan GSP.” Tegas Sayed. (***)