HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Hukum Perkawinan Di Indonesia Menurut Hukum Perdata

Yohana Magdalena Sipangkar Mahasiswi Semester 4 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar Siantar Le...

Yohana Magdalena Sipangkar Mahasiswi Semester 4 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar Siantar

Lentera24.com - Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi ini menegaskan bahwa perkawinan tidak hanya merupakan hubungan formal di mata hukum, tetapi juga mengandung nilai spiritual dan religius yang mendalam, karena dilandaskan pada asas keagamaan.

Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tidak ditemukan rumusan eksplisit mengenai definisi perkawinan. KUHPerdata hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai syarat sahnya perkawinan, akibat hukum dari suatu perkawinan, serta hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara suami istri secara hukum, seperti hak dan kewajiban, harta bersama.

Syarat-syarat sahnya perkawinan

Pelaksanaan perkawinan menurut KUHPerdata harus memenuhi sejumlah syarat hukum agar dianggap sah secara perdata. KUHPerdata dan lebih bersifat sipil 

Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai, tanpa adanya paksaan kedua pihak (pasal 28 KUHPerdata)

Memenuhi Batas Usia Minimum, Seorang laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, dan seorang perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperbolehkan mengadakan perkawinan (Pasal 29 KUHPerdata).

Jika calon mempelai belum berusia 21 tahun, maka perlu izin dari orang tua atau wali.(pasal 35 KUHPerdata)

Berlaku Asas Monogami Seseorang tidak boleh terikat lebih dari satu perkawinan dalam waktu bersamaan (Pasal 27 KUHPerdata).

Perkawinan Harus Dicatat secara Resmi, Perkawinan hanya sah jika dilaksanakan di hadapan pegawai catatan sipil dan dicatat secara hukum, Tanpa pencatatan, perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum perdata (pasal 83 KUHPerdata).


Asas Monogami dalam Perkawinan

Perkawinan di Indonesia didasarkan pada beberapa asas penting, salah satunya adalah asas monogami yang berlaku mutlak. Asas ini terdapat dalam Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa seorang pria hanya diperbolehkan terikat dalam satu perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu yang bersamaan, demikian pula seorang wanita hanya boleh terikat dengan satu orang pria. Ketidak - mutlakan asas monogami berarti bahwa seorang suami dapat mempunyai istri lebih dari seorang apabila dikehendaki dan sesuai dengan hukum agama si suami. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 4 Ayat 1, apabila seorang suami akan beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan.

Pelaksanaan Perkawinan

Pasal 71 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) secara khusus mengatur tentang prosedur pelaksanaan perkawinan di hadapan pegawai catatan sipil. Pasal ini merupakan bagian dari ketentuan hukum perdata yang dulu berlaku secara umum di Indonesia

Dilakukan Secara Resmi di Kantor Catatan Sipil, Perkawinan harus dilakukan di hadapan pegawai catatan sipil yang berwenang. Ini menegaskan bahwa negara, melalui pencatatan sipil, memiliki peran utama dalam mengesahkan perkawinan dari sudut pandang hukum perdata.

Harus Terbuka untuk Umum, Perkawinan tidak boleh dilakukan secara tertutup atau rahasia. Sifat keterbukaan ini bertujuan untuk mencegah perkawinan ilegal atau tidak sah secara hukum.

Kehadiran Kedua Calon Mempelai dan Saksi, Kedua calon suami istri wajib hadir secara langsung, tidak boleh diwakilkan. Selain itu, harus ada dua orang saksi yang menyaksikan prosesi tersebut, sebagai jaminan atas keabsahan proses.

Pencatatan dan Penerbitan Akta Perkawinan, Setelah upacara berlangsung, petugas akan membuat akta perkawinan, yaitu dokumen resmi sebagai bukti sahnya perkawinan di mata hukum.


Harta Benda dalam Perkawinan

Dalam konteks perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia bagi warga negara yang tunduk pada hukum perdata barat :

Harta Bersama

Secara default menurut KUHPerdata, dalam suatu perkawinan terbentuk persekutuan harta (harta bersama), kecuali jika dalam perjanjian perkawinan ditentukan lain. Semua harta yang dimiliki sebelum dan selama perkawinan menjadi milik bersama, kecuali ada perjanjian kawin yang memisahkan harta. (Pasal 119 KUHPerdata)

Perjanjian Perkawinan  

Pasangan dapat membuat perjanjian tertulis sebelum menikah untuk:

Memisahkan harta suami dan istri.

Mengatur cara pengelolaan kekayaan, pembagian utang, dll. 

Perjanjian ini harus dibuat sebelum perkawinan dan dinyatakan dalam akta notaris, serta didaftarkan ke catatan sipil.


Harta asal (pribadi)

Harta yang dibawa sebelum menikah atau yang diperoleh secara pribadi selama perkawinan (misalnya melalui hibah atau warisan yang ditujukan secara khusus kepada salah satu pihak) tetap bisa dianggap sebagai milik pribadi, kecuali:

Harta itu dicampur dengan harta bersama.

Tidak ada ketentuan atau pembuktian bahwa itu harta pribadi.


Perceraian 

Perceraian merupakan penghentian hubungan perkawinan yang terjadi karena alasan tertentu, dan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan hakim, baik atas permintaan salah satu pihak maupun kedua belah pihak. Namun, menurut Pasal 208 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perceraian yang dilakukan semata-mata atas kesepakatan antara suami dan istri tidak dibenarkan.(*)