HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Ketika Janji Politik Lebih Sering Dijual Daripada Ditepati

Uni Pujiani Mahasiswi Semester III Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Siber...

Uni Pujiani Mahasiswi Semester III Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon Panggung Politik: Janji Yang Jadi Komoditas


Lentera24.com - Setiap kali masa pemilu tiba panggung politik di Indonesia selalu penuh warna mulai dari Spanduk, baliho, dan iklan politik menghiasi jalan-jalan, disertai dengan berbagai janji manis dari para calon pemimpin. Mereka menjanjikan perubahan besar mulai dari menurunkan harga kebutuhan pokok, memperbaiki pendidikan, membuka lapangan kerja, hingga memberantas korupsi semua itu terdengar sangat meyakinkan di telinga rakyat. Namun, ketika pemilu usai dan para calon berhasil duduk di kursi kekuasaan, tak sedikit dari janji itu yang perlahan menghilang begitu saja.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana janji politik telah berubah menjadi komoditas dalam dunia ekonomi, komoditas adalah barang yang bisa diperjualbelikan begitu juga dalam politik janji sering kali dijadikan barang dagangan untuk menarik simpati rakyat demi mendapatkan suara akibatnya, politik kehilangan makna sejatinya sebagai alat perjuangan untuk kesejahteraan masyarakat dan lebih sering tampak sebagai ajang jual beli kepentingan.

Kalau kita lihat lebih dalam, budaya janji politik seperti ini sudah terjadi dari waktu ke waktu pada saat kampanye, banyak calon pemimpin tampil di depan publik dengan kata-kata indah tapi tanpa rencana konkret, misalnya, janji “Indonesia swasembada pangan” sudah berkali-kali disuarakan oleh banyak pejabat, tetapi hingga kini impor beras, gandum, dan kedelai masih terus dilakukan begitu juga dengan janji “lapangan kerja untuk semua”, yang sering diucapkan tanpa memperhitungkan realitas lapangan dan daya serap industry akhirnya, masyarakat kembali jadi penonton yang hanya bisa berharap sementara harapan itu tak kunjung jadi kenyataan.

Menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia pada pertengahan 2025, tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden masih tinggi, yaitu 82,7 persen namun, tingkat kepercayaan terhadap partai politik jauh lebih rendah, hanya 65,6 persen yang dimana artinya, masyarakat masih menaruh harapan pada sosok pemimpin, tetapi mulai ragu terhadap partai sebagai lembaga politik. Hal ini menunjukkan bahwa banyak rakyat menilai partai hanya muncul ketika pemilu tiba menjanjikan banyak hal, tetapi menghilang setelah mendapatkan suara.

Di sisi lain survei Litbang Kompas juga mencatat bahwa sebagian besar masyarakat masih menaruh harapan besar terhadap pemerintahan baru Prabowo dan Gibran, terutama dalam hal peningkatan ekonomi dan penegakan hukum namun, masyarakat juga semakin kritis dan tidak ingin janji-janji itu hanya berhenti di masa kampanye, publik kini lebih sadar bahwa janji harus disertai dengan bukti dan hasil nyata di lapangan.

Kalau kita lihat di tingkat daerah, data dari Kementerian PANRB (Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) menunjukkan bahwa sekitar 85,5 persen kabupaten dan kota di Indonesia sudah mendapatkan predikat baik dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), Ini menandakan adanya upaya serius dari banyak daerah untuk menjadi lebih transparan dan bertanggung jawab tapi tetap saja, ada sebagian daerah yang belum maksimal dalam pelaksanaan janji pembangunan, terutama daerah dengan sumber daya terbatas atau yang baru berkembang. Di sinilah letak persoalan janji politik yang tidak diimbangi kemampuan nyata justru bisa menjadi beban moral dan sosial bagi pemimpin daerah.

Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa fenomena janji politik ini perlu dikritisi dengan cara yang lebih cerdas, kita sebagai generasi muda tidak boleh hanya menjadi penonton atau korban dari janji-janji yang tidak ditepati, justru mahasiswa punya peran penting untuk mengawal dan menagih janji politik agar benar-benar dilaksanakan. Mahasiswa juga perlu mengedukasi masyarakat sekitar agar tidak mudah terpengaruh oleh janji yang tidak realistis misalnya, ketika ada calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu yang terlalu besar tanpa rencana yang jelas, kita harus berani bertanya “Bagaimana caranya? Dari mana anggarannya? dan Siapa yang akan melaksanakannya?”

Di era digital seperti sekarang janji politik pun semakin mudah disebarkan lewat media sosial, banyak calon pemimpin yang membuat video kampanye atau unggahan yang seolah-olah menggambarkan kepedulian mereka terhadap rakyat namun di balik itu, sering kali pesan yang disampaikan lebih berfokus pada citra bukan pada Solusi maka dari itu masyarakat perlu lebih bijak memilah informasi dan tidak hanya menilai calon dari apa yang terlihat di layer, tetapi juga dari rekam jejak dan kinerjanya di masa lalu.

Menurut saya pribadi, janji politik seharusnya dianggap sebagai bentuk kontrak moral antara pemimpin dan rakyat, jika seorang pemimpin berani berjanji maka ia juga harus siap bertanggung jawab atas ucapannya, pemerintah dan partai politik perlu membuat mekanisme yang jelas untuk melaporkan pencapaian janji-janji kampanye secara berkala misalnya, melalui laporan tahunan yang bisa diakses publik sehingga masyarakat tahu sejauh mana janji itu benar-benar dijalankan.

Selain itu, media massa seperti Kuningan Mas punya peran besar dalam mengawal proses ini. Media dapat menjadi pengingat agar janji politik tidak dilupakan begitu saja, serta menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, dengan adanya peran media, publik bisa lebih mudah memantau, mengkritik, dan menilai kinerja para pemimpin secara objektif.

Akhirnya, panggung politik seharusnya bukan tempat untuk menjual janji tapi untuk menepatinya. Karena sejatinya, pemimpin yang dihormati bukan yang paling pandai berbicara melainkan yang paling berani menepati kata-katanya. Dan rakyat Indonesia, terutama generasi mudanya sudah saatnya menjadi pengingat bahwa kepercayaan tidak bisa dibeli dengan janji tapi harus dibangun dengan kerja nyata.(*)