Czultan Brian Mahasiswa Semester : V Fakultas : Hukum Universitas : Bangka Belitung Lentera24.com - Dari sosialisasi saya di Kelurahan Jeli...
Lentera24.com - Dari sosialisasi saya di Kelurahan Jelitik, dua masalah pokok muncul jelas: pertama, proses pengurusan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) terasa sangat rumit bagi masyarakat, dan kedua, setelah IPR terbit beberapa lahan tidak lagi mengandung timah sehingga izin tidak berujung pada manfaat ekonomi nyata bagi pemegangnya. Kedua persoalan ini bukan sekadar masalah administratif melainkan mengandung implikasi hukum, sosial, dan ekonomi yang serius bagi warga lokal.
Secara hukum, IPR hanya bisa diterbitkan untuk area yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan memenuhi persyaratan teknis yang diatur oleh peraturan menteri dan keputusan teknis Kementerian ESDM. Ketentuan pelaksana IPR, termasuk kewajiban verifikasi lokasi dan koordinat, diatur dalam pedoman teknis Kementerian ESDM (mis. Kepmen ESDM No. 174/2024 tentang NSPK IPR). Prosedur ini menuntut peta lokasi, koordinat, dan persyaratan administratif lainnya yang seringkali sulit dipenuhi komunitas lokal tanpa dukungan teknis dan biaya.
Di Bangka, problemnya bertambah karena tidak semua kabupaten memiliki WPR, sehingga Pemda tidak bisa mengeluarkan IPR untuk wilayah yang tidak termasuk WPR sebuah fakta yang pernah dilaporkan sehingga menimbulkan dilema bagi penambang rakyat yang “aktif” di lapangan tetapi secara administratif belum punya payung legal. Kondisi ini menjelaskan mengapa di lapangan ditemukan aktivitas tambang tanpa izin sementara pengurusan IPR resmi terhambat.
Masalah kedua wilayah berizin ternyata “kosong timah” dapat dijelaskan dari beberapa sisi.
Pertama, ketidakpastian cadangan di skala lokal: persebaran bijih timah tidak homogen; penentuan WPR tanpa survei geologi yang memadai berisiko memetakan lokasi yang ternyata tidak ekonomis.
Kedua, ekstraksi ilegal sebelumnya oleh operasi skala kecil bisa menyebabkan area terdegradasi sebelum IPR dikeluarkan sehingga sisa timah menipis.
Ketiga, perubahan kebijakan dan penegakan (termasuk tindakan keras terhadap tambang ilegal) memengaruhi produksi dan ketersediaan material, sebagaimana terlihat dari fluktuasi produksi dan upaya pemerintah menertibkan tambang ilegal demi menstabilkan pasar.
Data ekonomi juga membantu memetakan konteks:
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap menjadi pusat kegiatan timah nasional ekspor timah tercatat dalam statistik provinsi tetapi volume dan nilai mengalami fluktuasi karena faktor pasar dan regulasi. Pemerintah daerah sendiri sudah meminta percepatan persetujuan IPR untuk blok-blok WPR yang ditetapkan, sebagai upaya mengembalikan legalitas aktivitas penambangan rakyat sekaligus menekan over-reliance pada operasi ilegal.
Dari perspektif kebijakan dan hukum, ada beberapa rekomendasi praktis yang layak didorong segera:
Permudah proses administratif IPR untuk masyarakat kecil. BPN/ESDM dan Pemda perlu menyediakan “one-stop assistance” (bantuan teknis lapangan, penyusunan peta koordinat, dan bantuan biaya verifikasi) agar masyarakat tidak terhalang oleh beban teknis/birokrasi.
Perkuat survei geologi pra-penetapan WPR. Menetapkan WPR harus didahului survei sumber daya sederhana yang meminimalkan risiko mengukuhkan area “kosong” sebagai WPR. Ini menghindarkan warga menghabiskan biaya untuk izin yang tidak memberikan manfaat.
Program rehabilitasi dan pemulihan lahan setelah aktivitas ilegal. Bagi lahan yang sudah dieksploitasi, ada perlu skema rehabilitasi dan/atau pengecekan ulang sebelum IPR dikeluarkan kembali.
Skema jaminan sosial/alternatif ekonomi sementara. Jika IPR sudah diterbitkan namun cadangan minim, perlu ada program alternatif (pelatihan, bantuan modal mikro) agar izin bukan sekadar kertas tanpa manfaat ekonomi.
Transparansi dan partisipasi masyarakat. Semua langkah penetapan WPR dan penerbitan IPR harus melibatkan masyarakat desa sehingga klaim, batas, dan hak historis dapat diakomodir.
Kesimpulannya: IPR seharusnya menjadi instrumen inklusif untuk mengamankan hak dan pendapatan penambang rakyat. Namun saat ini prosedur yang rumit dan ketidaktepatan pemetaan sumber daya membuat IPR berisiko menjadi “ijin mati” memiliki legalitas administratif tetapi tanpa nilai ekonomi nyata. Perbaikan regulasi dan implementasi berbasis data, teknis, dan partisipasi rakyat mutlak diperlukan agar IPR dapat memberi manfaat yang sesungguhnya bagi masyarakat Bangka, bukan hanya sekadar status legal di atas kertas.(*)
