Kejaksaan disebut sebagai lembaga negara yang paling korup berdasarkan hasil pemeriksaan anggaran negara yang dilakukan Badan Pemeriksa...
Kejaksaan disebut sebagai lembaga negara yang paling korup
berdasarkan hasil pemeriksaan anggaran negara yang dilakukan Badan
Pemeriksa Keuangan tahun 2008-2010 .
Di lembaga penegak hukum itu,
terdapat potensi kerugian negara sekitar Rp 5,43 triliun dari total
potensi kerugian negara senilai Rp 16,4 triliun di 83 kementerian atau
lembaga negara.
Hal itu dikatakan Direktur Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Maulana di Jakarta, Minggu (15/7/2012).
Maulana menjelaskan, BPK menemukan sebanyak 473 kasus penyimpangan penggunaan anggaran di Kejaksaan. Namun, sebanyak 427 kasus dengan nilai potensi kerugian negara sebesar Rp 5,4 triliun belum ditindaklanjuti Kejaksaan.
Maulana melanjutkan, Kementerian Keuangan menempati posisi kedua yang paling korup. Nilai potensi kerugian negara di kementerian itu mencapai Rp 5,35 triliun. "BPK menemukan 269 di Kementerian Keuangan," kata dia.
Di posisi ketiga, tambah Maulana, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan nilai potensi kerugian negara sekitar Rp 3,3 triliun. Terdapat 887 kasus dugaan penyimpangan keuangan negara di Kementerian itu.
Kementerian selanjutnya, berturut-turut, yakni Kementerian Kesehatan (Rp 332 ,8 miliar), Kementerian ESDM (Rp 319 ,1 miliar), Kementerian Kehutanan (Rp 163 ,5 miliar), Kementerian Sosial (Rp 157 ,8 miliar), Kementerian Agama (Rp 119 ,3 miliar), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Rp 115 ,4 miliar), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Rp 102 ,4 miliar).
"Jumlah Rp 16,4 triliun itu bisa digunakan untuk dana BOS 23 juta siswa SMP, atau dana BOS 28 juta siswa SD, atau untuk dana Jamkesmas 288 juta rakyat Indonesia," kata Maulana.
Koordinator FITRA Uchok Sky Khadafi mengatakan, beberapa kementerian atau lembaga yang masuk dalam daftar terkorup itu mendapat penilaian BPK wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam pengelolaan anggaran di tahun 2011. Contohnya, Kejaksaan dan Kementerian ESDM.
"Jadi, WTP bukan berarti tidak ada penyimpangan," kata Uchok.Hal itu dikatakan Direktur Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Maulana di Jakarta, Minggu (15/7/2012).
Maulana menjelaskan, BPK menemukan sebanyak 473 kasus penyimpangan penggunaan anggaran di Kejaksaan. Namun, sebanyak 427 kasus dengan nilai potensi kerugian negara sebesar Rp 5,4 triliun belum ditindaklanjuti Kejaksaan.
Maulana melanjutkan, Kementerian Keuangan menempati posisi kedua yang paling korup. Nilai potensi kerugian negara di kementerian itu mencapai Rp 5,35 triliun. "BPK menemukan 269 di Kementerian Keuangan," kata dia.
Di posisi ketiga, tambah Maulana, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan nilai potensi kerugian negara sekitar Rp 3,3 triliun. Terdapat 887 kasus dugaan penyimpangan keuangan negara di Kementerian itu.
Kementerian selanjutnya, berturut-turut, yakni Kementerian Kesehatan (Rp 332 ,8 miliar), Kementerian ESDM (Rp 319 ,1 miliar), Kementerian Kehutanan (Rp 163 ,5 miliar), Kementerian Sosial (Rp 157 ,8 miliar), Kementerian Agama (Rp 119 ,3 miliar), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Rp 115 ,4 miliar), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Rp 102 ,4 miliar).
"Jumlah Rp 16,4 triliun itu bisa digunakan untuk dana BOS 23 juta siswa SMP, atau dana BOS 28 juta siswa SD, atau untuk dana Jamkesmas 288 juta rakyat Indonesia," kata Maulana.
Koordinator FITRA Uchok Sky Khadafi mengatakan, beberapa kementerian atau lembaga yang masuk dalam daftar terkorup itu mendapat penilaian BPK wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam pengelolaan anggaran di tahun 2011. Contohnya, Kejaksaan dan Kementerian ESDM.
Maulana menambahkan, kebocoran keuangan negara pada tahun anggaran 2008-2010 itu memperlihatkan tidak adanya political will Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi, kata dia, hanya menjadi jargon untuk pencitraan.
Maulana menambahkan, pihaknya mendesak agar DPR menggunakan hak pengawasan anggaran eksekutif dengan benar agar kebocoran anggaran bisa diminimalkan. Selama ini, kata dia, hak pengawasan itu dijadikan barter kepada eksekutif.
"Fungsi pengawasan ditukar jadi materi atau anggaran. Akibatnya kebororan anggaran tidak bisa dihindari," pungkas dia. | Kompas.com