Kilat membuat kamar Triyan benderang sekejap, namun kejap berikutnya kembali gulita. Triyan terlonjak dari tidur. Mimpi-mimpinya seketika me...
Kilat membuat kamar Triyan benderang sekejap, namun kejap berikutnya kembali gulita. Triyan terlonjak dari tidur. Mimpi-mimpinya seketika menguap karena deru angin yang menampar-nampar daun jendela. Petir menggelegar, bersahut-sahutan. Beberapa masa setelah terduduk, dia baru sadar. Hujan sedang riuh mengguyur malam.
Triyan termangu tiga detik. Hujan.Hujan kembali bersenandung malam ini. Di detik keempat, Triyan beringsut cepat ke sudut ranjang. Kerudung disambar dari atas meja, lalu dipakai dengan mengikatkan kedua ujungnya di belakang leher. Baju lusuh yang membalut tubuh kurus keringnya diremas kuat-kuat. Triyan menggigil. Bukan, bukan karena dingin uap yang diembuskan hujan ke segala penjuru ruangan. Di kampung, gadis berusia duapuluh tahun itu sudah biasa diterpa angin yang dinginnya, hingga mencucuk tulang. Bukan pula karena petir yang menggelegar seperti gada raksasa yang bolak-balik dihantam ke angkasa. Semasa kecil, Triyanlah yang selalu menenangkan adik-adiknya supaya berhenti menangis saat gelegar petir seolah tak habis.
Triyan menggigil karena senandung hujan. Baginya, senandung hujan sama dengan senandung kematian.
Tok! Tok! Tok!
Tuhan, akhirnya pintu itu diketuk! Tidak Tidaaakkk! Triyan ingin menjerit sekuat tenaga, bukan cuma lenguh berkejaran di udara. Triyan semakin beringsut ke sudut ranjang, berharap tubuhnya hilang ditelan tembok, tak bersisa. Sungguh, ia tak mau lagi bertemu si Tua Bangka! Ketakutan menyekap hingga ke setiap sel-sel darah yang membayang di bawah permukaan kulitnya.
"Ho ho ho?Gadis Nakal?masih saja tidak mau membuka pintu ho ho ho?" Tawa yang sangat Triyan hapal. Tawa Pak Darso, si Tua Bangka itu, membuat Triyan lemas sekujur raga.
"Tak apa?aku punya kuncinya?ho ho ho?"
Handel pintu bergerak-gerak. Deritnya ibarat gema, bertalu-talu memekakkan gendang telinga Triyan. Pak Darso muncul, bercelana pendek dan telanjang dada. Tubuh Pak Darso yang besar dan hitam mengingatkan Triyan akan sosok Genderuwo yang selalu diceritakan Mbah Juri, tetangganya di kampung, semasa dia masih kecil. Mbah Juri memang sangat memercayai hal-hal berbau mistis. Triyan kecil selalu ternganga setiap Mbah Juri bercerita tentang riwayat Genderuwo atau makhluk gaib lainnya. Konon katanya, Genderuwo gemar berlaku cabul kepada kaum perempuan. Daerah yang lembap, gelap dan sepi, merupakan tempat mereka bernaung. Mungkinkah Pak Darso jelmaan Genderuwo? Lembap, gelap dan sepi identik dengan perkawinan antara hujan dan malam. Oh, pikiran Triyan mulai ngawur.
Pak Darso semakin dekat. Aroma kretek, tajam menyengat. Aroma ketakutan Triyan kian berkarat.
"Ho ho ho? semakin kau takut, semakin gairahku naik ho ho ho? Gadis Nakal?"
"Aaaa?aaa?aaa?"
Pak Darso mencekal kasar tangan Triyan. Sekali renggut, kerudung dan pakaian Triyan terlepas, terempas berserakan di lantai.
"Aaaa?.aaa?aaa?!"
"Apa? Apa? Kau mau ngomong apa, Gadis Nakal? Hohoho?" Bukannya jatuh iba, Pak Darso malah mendorong pundak Triyan kuat-kuat ke kasur. "Kau mau bicara apa? Tak ada seorang pun yang bakal tahu semua ini! Berkat dirimu, rahasia kita dijamin aman!"
Pak Darso semakin bringas menerkam Triyan. Triyan tersengal, berusaha meronta, tapi tenaganya menghambur sia-sia. Lelaki itu terlalu kuat. Ditindihnya tubuh gadis yang lebih pantas jadi anaknya itu rapat-rapat. Tak peduli mata Triyan meraung pedih. Susah payah Triyan berteriak,,. namun lagi-lagi suaranya terkurung sempurna di kerongkongan. Mestinya dari awal Triyan tahu, berteriak adalah percuma, sebab tak seorang mampu mendengarnya malam ini, bahkan nanti. Hujan bersenandung pilu, melenakan seluruh penghuni semesta.
Tok! Tok! Tok!
Tuhan, akhirnya pintu itu diketuk! Tidak Tidaaakkk! Triyan ingin menjerit sekuat tenaga, bukan cuma lenguh berkejaran di udara. Triyan semakin beringsut ke sudut ranjang, berharap tubuhnya hilang ditelan tembok, tak bersisa. Sungguh, ia tak mau lagi bertemu si Tua Bangka! Ketakutan menyekap hingga ke setiap sel-sel darah yang membayang di bawah permukaan kulitnya.
"Ho ho ho?Gadis Nakal?masih saja tidak mau membuka pintu ho ho ho?" Tawa yang sangat Triyan hapal. Tawa Pak Darso, si Tua Bangka itu, membuat Triyan lemas sekujur raga.
"Tak apa?aku punya kuncinya?ho ho ho?"
Handel pintu bergerak-gerak. Deritnya ibarat gema, bertalu-talu memekakkan gendang telinga Triyan. Pak Darso muncul, bercelana pendek dan telanjang dada. Tubuh Pak Darso yang besar dan hitam mengingatkan Triyan akan sosok Genderuwo yang selalu diceritakan Mbah Juri, tetangganya di kampung, semasa dia masih kecil. Mbah Juri memang sangat memercayai hal-hal berbau mistis. Triyan kecil selalu ternganga setiap Mbah Juri bercerita tentang riwayat Genderuwo atau makhluk gaib lainnya. Konon katanya, Genderuwo gemar berlaku cabul kepada kaum perempuan. Daerah yang lembap, gelap dan sepi, merupakan tempat mereka bernaung. Mungkinkah Pak Darso jelmaan Genderuwo? Lembap, gelap dan sepi identik dengan perkawinan antara hujan dan malam. Oh, pikiran Triyan mulai ngawur.
Pak Darso semakin dekat. Aroma kretek, tajam menyengat. Aroma ketakutan Triyan kian berkarat.
"Ho ho ho? semakin kau takut, semakin gairahku naik ho ho ho? Gadis Nakal?"
"Aaaa?aaa?aaa?"
Pak Darso mencekal kasar tangan Triyan. Sekali renggut, kerudung dan pakaian Triyan terlepas, terempas berserakan di lantai.
"Aaaa?.aaa?aaa?!"
"Apa? Apa? Kau mau ngomong apa, Gadis Nakal? Hohoho?" Bukannya jatuh iba, Pak Darso malah mendorong pundak Triyan kuat-kuat ke kasur. "Kau mau bicara apa? Tak ada seorang pun yang bakal tahu semua ini! Berkat dirimu, rahasia kita dijamin aman!"
Pak Darso semakin bringas menerkam Triyan. Triyan tersengal, berusaha meronta, tapi tenaganya menghambur sia-sia. Lelaki itu terlalu kuat. Ditindihnya tubuh gadis yang lebih pantas jadi anaknya itu rapat-rapat. Tak peduli mata Triyan meraung pedih. Susah payah Triyan berteriak,,. namun lagi-lagi suaranya terkurung sempurna di kerongkongan. Mestinya dari awal Triyan tahu, berteriak adalah percuma, sebab tak seorang mampu mendengarnya malam ini, bahkan nanti. Hujan bersenandung pilu, melenakan seluruh penghuni semesta.
Bersebab itulah si Tua Bangka gembira. Dia bebas menggerayangi Triyan tanpa kuatir istrinya, Bu Dinda, akan terjaga. Kebalikan dengan Triyan. Manakala hujan bertandang, bahaya mengintai pasti, membuat hari-harinya berkandang jeruji api. Air mata menganak sungai mengingat Emak dan adik-adiknya di kampung, yang sepenuhnya menjadikan dia sandaran keluarga.
Sebenarnya, tanpa senandung hujan, Pak Darso tetap bisa leluasa melampiaskan nafsu bejatnya. Dia tak perlu mengkhawatirkan Triyan. Entah kenapa, kondisi psikisnya merasa "aman" bila dia melakukannya bersamaan dengan riuhnya suara hujan.
Sejak Bu Dinda sakit-sakitan tiga bulan yang lalu, Pak Darso berubah laksana orang gila. Entah ke mana harus disalurkannya nafsu yang sewaktu-waktu ingin lepas kekang. Bagian bawah perutnya menghentak-hentak setiap Triyan lewat di depan mata. Meski Triyan mengenakan kerudung dan berbusana tertutup, Pak Darso lihai merangkai imajinasi. Khayalan lekuk tubuh Triyan berkelindan liar, tak alpa menghiasi bunga tidurnya setiap malam.
Malang Triyan. Kini air tak henti melimbur di mata kuyunya. Pak Darso tertawa mengejek, memakai celana tergesa, lalu meninggalkan Triyan seperti sampah. Sudah tiga kali dia berbuat durjana kepada gadis yang telah mengabdi menjadi pekerja rumah tangga di rumahnya selama dua tahun. Entah kapan ini berakhir. Triyan tak berani berharap.
Malam beranjak tua, namun Triyan masih betah bergeming, meringkuk di sudut ranjang. Dari jendela dia menatap nanar kepergian hujan. Titik-titik air menyisakan ingatan pejal tentang episode mahkota yang terkoyak.
Sebenarnya, tanpa senandung hujan, Pak Darso tetap bisa leluasa melampiaskan nafsu bejatnya. Dia tak perlu mengkhawatirkan Triyan. Entah kenapa, kondisi psikisnya merasa "aman" bila dia melakukannya bersamaan dengan riuhnya suara hujan.
Sejak Bu Dinda sakit-sakitan tiga bulan yang lalu, Pak Darso berubah laksana orang gila. Entah ke mana harus disalurkannya nafsu yang sewaktu-waktu ingin lepas kekang. Bagian bawah perutnya menghentak-hentak setiap Triyan lewat di depan mata. Meski Triyan mengenakan kerudung dan berbusana tertutup, Pak Darso lihai merangkai imajinasi. Khayalan lekuk tubuh Triyan berkelindan liar, tak alpa menghiasi bunga tidurnya setiap malam.
Malang Triyan. Kini air tak henti melimbur di mata kuyunya. Pak Darso tertawa mengejek, memakai celana tergesa, lalu meninggalkan Triyan seperti sampah. Sudah tiga kali dia berbuat durjana kepada gadis yang telah mengabdi menjadi pekerja rumah tangga di rumahnya selama dua tahun. Entah kapan ini berakhir. Triyan tak berani berharap.
Malam beranjak tua, namun Triyan masih betah bergeming, meringkuk di sudut ranjang. Dari jendela dia menatap nanar kepergian hujan. Titik-titik air menyisakan ingatan pejal tentang episode mahkota yang terkoyak.
* * *
Siapa pemuda itu? Aku seperti pernah melihatnya. Di mana?? Triyan menerka-nerka dalam hati. Lelaki berpakaian sederhana. Wajahnya teduh. Tas travel hitam disandang di pundaknya. Langkahnya panjang-panjang dan mantap.
"Dia tukang kebun kita yang baru, Yan. Namanya Adzan," sahut Bu Dinda, seakan bisa membaca tanda tanya di wajah Triyan.
"Mulai hari ini, dia bekerja merawat kolam ikan dan tanaman hias Ibu. Ibu tidak mau kamu terlalu capek."
Triyan mengangguk, tersenyum berterima kasih. Bu Dinda balas tersenyum kecil, kemudian masuk ke kamar. Setelah memastikan pintu kamar Bu Dinda benar-benar tertutup tanpa celah, Triyan kembali mencuri lihat kepada lelaki itu. Eh siapa tadi namanya? Adzan?ya, Adzan. Olala, mata mereka beradu, Adzan mengangguk santun kepadanya. Entah kenapa, wajah Triyan mendadak panas, bersemu merah seperti lobster rebus. Buru-buru dia berpaling. Hati Triyan mencatat, bola mata lelaki itu, tidak liar, tidak seperti milik Pak Darso.
* * *
Hampir sebulan Adzan bekerja di rumah ini. Lelaki yang taat beribadah dan sangat menggemari buku. Kini, taman hias milik Bu Dinda semakin indah. Tidak seperti dulu, sekarang ikan-ikan koi peliharaan Bu Dinda nampak sangat sehat. Adzan benar-benar memerhatikan volume air, sistem filtrasi dan aerasi kolam. Adzan pula yang menyarankan agar dinding, dasar dan sudut kolam dikeramik halus untuk mencegah terlukanya tubuh ikan-ikan koi. Ikan koi sangat senang menggesek-gesekkan tubuhnya ke dinding dan dasar kolam. Jadi wajar, Bu Dinda langsung menerima masukan dari Adzan.
Malam ini, Triyan baru saja selesai menambal baju ketika tiba-tiba kilat berkelebat. Petir menyambar. Angin bertiup kencang sampai pucuk-pucuk pohon di depan kamar Triyan meliuk kesetanan. Begitu cepat, sekian detik kemudian, hujan telah rata membasahi bumi.
Pintu kamar Triyan terbuka. Pak Darso!
"Malam ini, kamu milikku!" sergah Pak Darso, mencekal bahu Triyan kuat-kuat. Triyan tercekat. Dia menjerit dan terus menjerit sekuat tenaga meski suaranya selalu hilang digulung angin. Triyan melawan Pak Darso dengan membabi buta. Tahu-tahu Triyan merasakan tangannya ditarik. Begitu erat, hingga tangannya mendenyut sakit. Tubuhnya ikut tertarik, hampir terjatuh. Triyan menengadah.
Adzan!
Tuhan, aku tak menyangka! Jangan katakan kalau laki-laki ini juga akan memperkosaku! pekik hati Triyan. Tangan kiri Triyan dicengkeram Adzan, sementara tangan kanannya melambai-lambai, memohon belas kasihan.
"Ayo! Ikut aku!" hardik Adzan. "Cepaaatt!"
Mau tak mau, Triyan menurut. Kepalanya menyerah berpikir. Mereka berdua berlari menembus malam, menerabas derasnya hujan. Triyan terus berlari mengikuti Adzan, membiarkan hujan memecut-mecut nyeri tubuhnya. Dia pasrah. Entah apa yang akan dilakukan Adzan kepadanya.
Tuhan, tolong, aku tak ingin disakiti lagi?pinta Triyan lirih.
* * *
Setahun kemudian.
"Kamu bertanya lagi kenapa aku mau menikah denganmu?" tanya Sang Suami.
Sang Istri mengangguk, kemudian menggerak-gerakkan tangan di udara, membuat Sang Suami tertawa berderai.
"Aku juga harus menjawab lagi pertanyaan itu? Pertanyaan: kenapa aku mencintaimu?"
Sang Istri mengangguk.
"Padahal kamu? maaf, bisu?? Tidak peraw?? Ah!"
Sang Istri mengangguk lagi.
"Baiklah, ini yang ke-1.705.321 kali aku menjawabnya ya," senyum Sang Suami.
"Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu. Aku selalu mengamatimu dari rumah mantan majikanku, Pak Haris, setiap kamu pergi pengajian ke Masjid Al Muhajirin di kompleks. Aku mengamatimu, sampai-sampai tanganku terluka kena gunting pemangkas rumput. Aku terpikat saat melihatmu membantu seorang nenek tua menyeberang. Aku terpesona ketika mengetahui kamu menyumbang sebagian gajimu untuk anak-anak pemulung di Desa Cipadu. Yah, masih banyak lagi. Terakhir itu, tidak pernah jadi masalah bagiku?."
Sang Istri gantian tersenyum. Dia senang meminta suaminya mengulang-ulang kalimat tadi. Membangkitkan kepercayaan dirinya yang kadang-kadang hendak lebur entah untuk keberapa kali.
"?aku mencintaimu karena kau wanita hebat, wanita tegar?"
Mata Sang Istri berembun. Mereka berpelukan. Erat sekali.
"Aku mencintaimu, Triyan, dengan "walaupun", bukan "karena". Aku harap kau mencintai aku, Adzan suamimu, dengan cara yang sama. Hingga ruh terpisah dari raga," bisik Sang Suami, lembut. Sang Istri mengangguk disela isak haru.
Ya, malam itu, Adzan menyelamatkan Triyan. Dia membawa Triyan ke rumah kontrakan kakak perempuannya. Tak sejengkal pun diperbolehkannya Triyan kembali ke rumah neraka itu. Triyan sudah cukup menderita. Tiga bulan kemudian, mereka menikah. Mereka menikah kala hujan melagukan melodi indah, sesuai permintaan Triyan. Triyan ingin menghapus kenangan buruk akan senandung hujan di malam-malam jahanam.
Hari ini, langit mendung kembali memuntahkan hujan. Sepasang sejoli itu berlari berkejaran, sambil tertawa-tawa. Triyan berputar-putar, merentangkan tangannya, menatap langit, membiarkan hujan menyapu wajahnya bersahabat. Senandung hujan menitipkan janji cinta sejati, semoga abadi hingga di pengujung usia mereka nanti.*** | Haya Aliya Zaki