Oleh : Aswan, SH Pada tanggal 15 Desember 2011 yang lalu Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh meluncurkan program Voter Education...
Oleh : Aswan, SH
Pada tanggal 15 Desember 2011 yang lalu Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh meluncurkan program Voter Education (Pendidikan Pemilih-red) dengan harapan agar Pemilukada Aceh berkualitas dan terpilihnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas ditingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Sangat menarik program KIP Aceh tersebut terutama bagi masyarakat di lapisan bawah sebagai konstituen, selama ini masyarakat pemilih hanya menggunakan hak konstitusinya tanpa berpikir tentang kualitas pemilukada itu. Hal ini disebabkan beberapa hal pada kelompok masyarakat.
Pertama, banyak masyarakat yang berpendidikan rendah mereka ikut saja apa kata orang. Mereka buta tentang aturan-aturan yang terkait tentang pemilukada. Kedua, ada kelompok masyarakat yang masih terpaku pada status simbol mereka ini tidak peduli tentang aturan yang mengatur. Mereka akan melakukan apa saja asalkan calon yang mereka inginkan menjadi pemimpin ke depan, misalnya mengajak teman-temannya dan mempengaruhi orang agar memilih si A karena beliau orang yang telah berjuang bukan melihat kemampuan sosok kandidat yang dia dukung.
Ketiga, ada kelompok yang mengedepankan kepentingan pribadi katakan lah kelompok masyarakat ini orientasi berpikir nya hanya untuk mendapatkan uang dari kandidat yang akan maju sebagai calon bupati dan tanpa melihat kapabilitasnya.
Keempat, kelompok masyarakat intelektual pada kelompok masyarakat intelektual akan menilai dari sudut pandang berbagai aspek artinya memilih pemimpin haruslah cermat agar pemimpin lima tahun kedepan adalah orang yang patut memimpin karena seorang yang kaya dan banyak harta belum dikatakan layak memimpin. Bukan seorang kandidat berasal dari turunan darah biru dikatakan layak menjadi seorang bupati/walikota. Kelompok masyarakat intelektual berkesimpulan akan merasa rugi selama lima tahun kedepan apabila hak suaranya diberikan kepada sosok pemimpin yang tidak layak.
Pemilukada akan berkualitas apabila mentalitas penyelenggara dan jajaran pengawasan benar benar menjalankan tugasnya sesuai azas penyelenggaraan pemilukada yaitu jujur dan adil (jurdil) disetiap tingkatannya. Sebagai juri bukanlah seorang pemain apabila tugas dan tanggungjawab ini dijalankan dengan benar maka pastilah terwujud pemilukada berkualitas sebagaimana harapan program dan benar benar dinikmati yang diinginkan.
Bersamaan tahapan pemilukada digelar dan ditengah hiruk pikuk kekisruhan pemilukada bermunculan kandidat yang mengelu-elukan diri paling pantas dan mampu memimpin masyarakat dan daerahnya. Mereka muncul secara dadakan, ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang, ada dari kalangan pegawai negeri sipil, petani dan sebagainya.
Dari sisi undang-undang setiap warga negara mempunyai hak konstitusional asalkan memenuhi syarat syarat yang telah di tentukan dan perlu kita hargai keinginan para kandidat yang akan bertarung dengan sederet tokoh lainnya pada pemilukada Aceh 9 April 2012 nanti.
Sayangnya di antara kandidat banyak yang muncul dadakan atau dengan kata lain tidak punya target kemenangan secara terukur dengan popularitas individu, keuangan dan kemampuan lain hingga masyarakat tidak ragu untuk menggunakan hak pilihnya. Semestinya sebelum kita melangkah untuk maju sebagai balon (bakal calon) hendak berfikir dahulu dan punya target atau persentase perolehan suara.
Seorang balon bupati tidak cukup hanya mengandalkan tim sukses yang mampu mempengaruhi masyarakat, apalagi masyarakat kita sebagaimana yang kita sebut diatas, tidak semua bisa dipengaruhi dengan “Tebar Pesona”, karena bagi kelompok cendikiawan dan intelektual akan menilai sosok balon bupati/walikota secara detail. Apalagi seorang yang muncul dadakan dan selama ini kesehariannya tidak ditengah masyarakatnya, berdomisili diluar daerah saat mau jadi bupati pulang kampung asal kelahirannya. Yah, maaf dapat kita katakan yang mengenalnya hanya orang kampung dan keluarga sajalah sebagai pemilihnya nanti.
Seorang pemimpin berkualitas memiliki sekurang-kurangnya tiga komponen kapabilitas pribadi dan secara nyata diakui oleh masyarakatnya. Komponen pertama seorang kandidat hendaklah memiliki ilmu pengetahuan (knowledge) hal ini secara nyata didapatnya dari pendidikan formal, logikanya dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dapat memadukan teori dan konsep dalam pekerjaannya nanti.
Komponen kedua adalah skill atau keterampilan, hal ini merujuk pada kemampuan-kemampuan praktis yang dikuasainya, artinya bila knowledge sebagai kemampuan teori maka skill menyiapkan kemampuan praktik. Biasanya, orang menilai dia pernah sebagai pemimpin pada kelompok masyarakat dan sukses.
Komponen ketiga adalah sikap (attitude) adalah semangat, pola pikir norma dan prilaku sering kali kesuksesan seseorang justru Paling dituntut oleh sikap dibandingkan kapabilitas lainnya. Apabila seorang calon pemimpin memiliki komponen tersebut diatas maka dia dapat dikatakan sosok pemimpin yang memiliki CHARACTER CHAMPION dan layak untuk dipilih.
Sebagai manusia biasa memang jauh dari kesempurnaan tapi alangkah sedihnya kita melihat seseorang kandidat calon bupati yang muncul dadakan waktu dan uangnya terbuang tak terhitung membangun pencitraan diri dalam waktu yang singkat terkadang bersikap dan melakukan hal-hal yang tidak populer dan melontarkan isu politik ketengah masyarakat untuk melemahkan posisi lawan politiknya. Seharusnya jauh sebelum menuju panggung pemilukada seorang kandidat melakukan penanaman karakternya kekelompok masyarakatnya (growth character champion) terpilihlah sosok pemimpin yang berkualitas.
Penulis adalah Kabid. Politik, Pemerintahan dan Keamanan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kab. Aceh Tamiang