HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Asean & Kekuatan Global: Seperti Emak-Emak Arisan yang Harus Terima Tetangga Baru Meski Dagdigdug

Oleh Iqbal Muhammad Fauzani Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina Lentera24.com - Asean itu ibarat perkumpul...


Oleh Iqbal Muhammad Fauzani Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina

Lentera24.com - Asean itu ibarat perkumpulan emak-emak arisan yang sudah punya group chat rapi, tiba-tiba dapat notifikasi: "Selamat! Ibu Papua Nugini (PNG) telah bergabung dalam grup." Reaksinya? Antara senyum sumringah karena dapat anggota baru dan dagdigdug karena takut arisannya makin ribet. Begitulah kira-kira analogi sederhana untuk menggambarkan dinamika ASEAN saat berhadapan dengan perluasan keanggotaan dan tekanan kekuatan global.  

Sebagai group arisan yang sudah lama solid, Asean punya aturan tak tertulis: jangan bahas politik dalam-dalam, jangan sampai ada yang tersinggung, dan yang paling penting itu jaga harmoni meski di belakang layar masing-masing punya resep sambal favorit yang berbeda. Tapi dunia geopolitik tidak pernah berhenti mengirim request join baru. Kali ini, PNG si tetangga yang selama ini cuma lihat dari balik pagar akhirnya dipersilakan masuk. Alasannya? "Biar ramai!" Tapi di balik itu, ada perhitungan strategis: PNG adalah gerbang Pasifik, kaya sumber daya, dan bisa jadi batu loncatan Asean untuk mengimbangi pengaruh China dan AS di kawasan.  

Namun, menerima anggota baru tidak semudah menambah porsi nasi di rantang. Asean harus memastikan bahwa PNG tidak cuma jadi "tamu makan gratis" yang bikin quota kebijakan makin ruwet. Bayangkan saja, selama ini Asean sudah harus menengahi perselisihan internal seperti konflik Laut China Selatan atau isu Myanmar yang tak kunjung reda. Sekarang ditambah lagi dengan PNG yang punya dinamika politik dalam negeri cukup kompleks. Ini seperti emak-emak arisan yang tadinya cuma urus iuran, sekarang harus pusing memikirkan apakah si anggota baru bakal rajin bayar atau malah jadi beban.  

Di sisi lain, kekuatan global seperti AS dan China melihat Asean dan sekarang plus PNG sebagai marketplace yang menggiurkan. AS datang dengan tawaran "Ayo kerja sama demi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka!" sambil menyelipkan senyum diplomatis. China tidak kalah lihai, menyodorkan investasi infrastruktur dengan embel-embel "Kita saudara serumpun, jangan dengarkan mereka!" Asean? Tetap bersikap seperti emak-emak arisan yang bijak: "Silakan, silakan... kita terbuka untuk semua, asal jangan bawa masalah ke sini."  

Tapi benarkah Asean bisa terus bermain netral? Atau justru perlahan terjebak dalam perang proxy kekuatan besar? Di satu sisi, ASEAN centrality ingin diakui sebagai poros perdamaian di kawasan. Di sisi lain, realitanya, Asean sering dianggap hanya sebagai "tempat ngopi" bagi negara-negara besar untuk bertemu tanpa harus berkomitmen serius. Jika tidak hati-hati, Asean bisa berubah dari group arisan yang harmonis menjadi ajang saling sindir lewat status WhatsApp.  

PNG sendiri mungkin merasa seperti tetangga baru yang excited gabung arisan, tapi belum paham betul aturan tak tertulisnya. Ia membawa potensi dari sumber daya alam hingga posisi strategis tapi juga risiko ketidakstabilan. ASEAN harus pintar mengelola ini: jangan sampai salah langkah, malah jadi seperti arisan yang uang kotaknya raib karena salah percaya anggota baru.  

Pada akhirnya, Asean memang tidak bisa terus bersikap seperti emak-emak arisan yang hanya tersenyum manis sambil dagdigdug. Saatnya lebih vokal menentukan arah, apakah akan benar-benar menjadi kekuatan penyeimbang atau sekadar penonton yang baik hati. Karena dalam geopolitik, tidak ada yang benar-benar netral—hanya mereka yang belum memutuskan untuk memilih sisi.  

Jadi, selamat datang PNG! Semoga arisan ASEAN makin meriah, dan jangan sampai ada yang kabur sebelum bayar iuran.(*)