Rizka Daraini Mahasiswi Semester 4 Jurusan Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha...
Lentera24.com - Indonesia adalah negeri yang kaya, tanahnya subur, lautnya luas, sumber dayanya melimpah. Dari emas yang tertanam di perut bumi Papua, hingga hamparan sawit di Sumatera dan Kalimantan. Dari hasil tambang, rempah, gas alam, hingga sektor pariwisata yang menawan mata dunia. Secara geografis, Indonesia berada di posisi strategis antara dua benua dan dua samudera. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia memiliki bonus demografi yang seharusnya menjadi kekuatan besar untuk tumbuh menjadi negara maju. Namun sayangnya, di balik semua potensi besar itu, ada satu penyakit lama yang belum juga sembuh yaitu korupsi. Ia bukan hanya menjadi penghambat pembangunan, tapi juga ancaman serius bagi masa depan bangsa.
Korupsi bukan sekadar kejahatan biasa. Ia adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan, pelecehan terhadap keadilan, dan pengingkaran terhadap masa depan. Di Indonesia, korupsi telah menjadi ironi yang terus mengulang diri, satu pelaku ditangkap, satu kasus dibongkar, tapi esoknya lahir lagi kasus baru dengan wajah yang berbeda. Ia seperti benalu dalam batang negara, tumbuh diam-diam, menghisap pelan-pelan, tapi menghancurkan akar kehidupan bangsa dalam jangka panjang.
Lihatlah skandal demi skandal yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Kasus korupsi pengelolaan tataniaga timah senilai Rp 271 triliun, pengadaan Chromebook senilai Rp 9,9 triliun, skandal sawit Wilmar senilai Rp 11,8 triliun, hingga kasus impor minyak Pertamina yang merugikan negara hingga Rp 193 triliun. Angka-angka ini bukan hanya mencengangkan untuk di dengar tapi juga menyakitkan bagi rakyat indonesia, karena menunjukkan betapa rakusnya sebagian oknum yang seharusnya menjadi pelayan publik. Uang sebanyak itu, jika digunakan sebagaimana mestinya, bisa membangun ribuan sekolah di daerah tertinggal, membiayai layanan kesehatan untuk jutaan rakyat miskin, atau membuka akses transportasi bagi wilayah pedalaman.
Di sisi lain, banyak kasus korupsi di daerah juga tak kalah miris. Kepala desa, pejabat dinas, hingga aparat hukum terlibat dalam korupsi anggaran dana desa, proyek infrastruktur fiktif, dan mark-up pengadaan barang. Artinya, korupsi tidak hanya terjadi di pusat kekuasaan, tapi juga merata hingga ke pelosok. Ia menyebar seperti virus yang menginfeksi tubuh negara, tanpa peduli jabatan atau lokasi.
Tindakan korupsi juga suatu kejahatan terhadap generasi masa depan anak bangsa. Karna ketika dana pendidikan dikorupsi, maka anak-anak kehilangan haknya untuk belajar dengan layak. Ketika dana kesehatan dikorupsi, maka rakyat kecil tak mendapat layanan medis yang manusiawi. Ketika infrastruktur dikorupsi, maka jalan rusak, jembatan roboh, dan nyawa melayang menjadi konsekuensinya. Bahkan dalam dunia pendidikan pun, budaya korupsi menjalar. Praktik suap untuk masuk sekolah favorit, manipulasi nilai, dan jual beli ijazah adalah bentuk kecil dari korupsi yang tidak kalah berbahaya. Jika dunia pendidikan yang seharusnya membentuk karakter dan integritas. Namun, justru ikut tercemar, maka bagaimana kita bisa berharap akan lahir generasi yang jujur dan bersih?
Sejak era reformasi hingga hari ini, pemberantasan korupsi menjadi isu sentral dalam agenda pembangunan nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan harapan besar sebagai simbol perlawanan terhadap mafia birokrasi. Namun seiring waktu, lembaga ini pun tidak luput dari tekanan politik, pelemahan kewenangan, dan kehilangan pendiriannya. Di tengah dinamika itu, publik bertanya: Apakah pemberantasan korupsi masih bisa dipercaya? Apakah harapan untuk Indonesia yang bersih masih tersisa?
Yang perlu kita pahami, korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu yang menyalahgunakan jabatan. Ia adalah masalah sistemik yang berurat-berakar dalam struktur kekuasaan, budaya organisasi, bahkan mentalitas masyarakat. Banyak pelaku korupsi justru berasal dari kalangan terdidik, menjabat posisi strategis, dan menikmati fasilitas negara. Tapi dengan segala kekuasaan yang mereka punya, mereka memilih menyelewengkan amanah, mencuri hak rakyat, dan mempermainkan hukum.
Salah satu hal yang hilang dari wajah bangsa ini adalah rasa malu. Banyak pelaku korupsi yang bahkan bisa tersenyum saat ditangkap kamera. Setelah keluar pun mereka tidak malu tampil di TV di saksikan oleh orang banyak untuk di wawancarai. Namun, ironisnya tidak sedikit yang kembali maju dalam kontestasi politik setelah keluar dari penjara. Di masyarakat, kadang status "mantan koruptor" tidak dianggap sebagai aib, tapi hanya "kesalahan teknis".
Bangsa ini perlu menanamkan kembali rasa malu sebagai bagian dari nilai moral. Menjadi pejabat publik bukan soal kekuasaan, tapi soal pengabdian. Menyalahgunakan jabatan seharusnya bukan hanya dianggap pelanggaran hukum, tapi juga dosa sosial dan moral.
Di tengah gelapnya realitas, harapan itu belum mati. Masih ada aparat yang jujur, aktivis yang konsisten, jurnalis yang berani, dan guru yang mendidik dengan integritas. Masih banyak masyarakat yang menolak memberi dan menerima suap, yang berani melaporkan kejanggalan, yang tidak menyerah pada sistem yang busuk. Harapan itu tumbuh dari mereka yang diam-diam tetap setia menjaga moralitas.
Namun harapan tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Ia perlu ditopang dengan keberanian politik, reformasi hukum yang konsisten, serta pendidikan karakter sejak usia dini. Pemerintah harus berani memperkuat kelembagaan anti-korupsi, menolak kompromi dengan pelaku korupsi, dan membuka ruang partisipasi publik dalam pengawasan anggaran. Setiap kepala daerah, pimpinan lembaga, dan pemangku kebijakan harus menempatkan integritas di atas segalanya.
Pendidikan juga menjadi senjata penting. Kurikulum sekolah harus mulai mengajarkan antikorupsi bukan hanya sebagai materi, tetapi sebagai sikap hidup jujur dalam tugas, adil dalam penilaian, berani berkata tidak pada penyelewengan. Generasi muda tidak boleh mewarisi ketakutan dan ketidakpedulian generasi sebelumnya.
Korupsi adalah musuh bersama yang tidak akan pernah benar-benar hilang jika kita hanya diam dan mengeluh. Ia harus dilawan, disingkirkan, dan dicegah dengan tindakan nyata. Harapan itu masih ada, selama kita semua mau bergerak. Mulailah dari hal kecil, menolak pungli, bersikap jujur dalam pekerjaan, berani melaporkan pelanggaran, dan mendidik anak-anak untuk tidak mencari jalan pintas. Ketika satu demi satu orang mulai hidup jujur, maka pelan-pelan kita sedang menciptakan benteng pertahanan bangsa dari dalam.
Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh seberapa banyak pidato anti-korupsi yang disampaikan, tapi oleh seberapa kuat kita menjaga integritas, hari ini, saat ini. Karena jika kita lengah, korupsi tidak hanya mencuri uang negara tapi juga akan mencuri masa depan kita semua.
Penulis merupakan mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi