Abd Gani Isa | OPINI ilustrasi Google Ketika kita bicara tentang hak-hak rakyat dalam perspektif Islam, terasa ada yang kurang pas. Kare...
Abd Gani Isa | OPINI
ilustrasi Google |
Ketika kita bicara tentang hak-hak rakyat dalam perspektif Islam, terasa ada yang kurang pas. Karena menurut Islam dan juga agama lainnya lebih senang membicarakan tentang kewajiban ketimbang hak. Kalaupun hak dibicarakan selalu dalam batas-batas tegaknya kewajiban, baik hak terhadap diri sendiri, orang lain, alam sekitar, ataupun hak terhadap Tuhan-Nya. Bahkan dalam fiqih, manusia juga disebut dengan al-mukallaf, alias dibebani kewajiban.
Sebenarnya melakukan sesuatu yang mashlahat di bumi ini, merupakan upaya penyadaran yang sangat tepat jika saja manusia dengan sepenuh kesadaran menjalankan kewajibannya. Persoalannya adalah ketika yang mashlahat tadi tak kunjung dilaksanakannya, diskusi dan perdebatan tentang hak menjadi sangat urgent. Sebab “hak” selalu diributkan, sedangkan “kewajiban” malah diabaikan.
Tengoklah hak-hak rakyat yang telah lama diabaikan. Mengapa terjadi? Karena kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berhadapan dengan rakyat, yakni penguasa, tak kunjung dipenuhi.
Rakyat sejak dulu hingga kini, selalu saja dibujuk, dirayu, diyakinkan dan tak jarang dipaksa untuk melakukan kewajiban-kewajibannya, kendati berbenturan dengan kepentingannya. Akan tetapi ketika kewajiban itu tak kunjung dipenuhi oleh manusia penguasa, siapa pernah memaksa, membujuk dan merayunya?
Dengan demikian jelas, bahwa agama satu-satunya instrumen yang berkompeten untuk mendesak manusia penguasa memenuhi kewajibannya terhadap rakyatnya. Ini terbukti dalam sejarah, di mana setiap rasul Allah selalu dalam posisi kritis bahkan terkadang konflik dengan pihak penguasa dalam memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
Alquran menginformasikan kita bahwa Allah SWT, senantiasa mengutus para rasul silih berganti. Nabi Muhammad SAW misalnya dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Allah untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arab dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebihan sebagai akibat dari kebijakan sentralisasi kekuasaan ekonomi sehingga melahirkan kebangkrutan moral dan sosial era itu.
AIquran juga secara tegas menunjukkan keberpihakannya atas orang Orang lemah (rakyat) dalam menghadapi orang-orang yang kuat (penguasa). Term yang digunakan Alquran adalah mustadh’afin (orang-otang yang dilemahkan) dan mustakhbirin (orang orang yang sombong). Semua Nabi Israil digambarkan di dalam Alquran sebagai pembela mustadh’afin dalam menghadapi mustakhbirin, yakni orang- orang yang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu Musa digambarkan sebagai pembebas orang orang yang tertindas (bangsa Israil) dari penindasan Firaun (mustakhbirin).
Pertarungan antara mustadh’afin dan mustakhbirin itu akan terus berlangsung, hingga agama Allah yang berbasis pada tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa adanya perbedaan antara mustadh’afin dan mustakhbirin, penindas dan tertindas, kaya dan miskin, rakyat dan penguasa) sehingga menjadi suatu masyarakat yang satu (ummatan wahidah). Di sinilah makna keberpihakan agama kepada rakyat. Akan tetapi sayang sekali, peranan agama yang memihak kepada rakyat ini tak berlangsung lama. Ketika agama telah dibakukan menjadi ajaran yang rumit yang hanya dikenali oleh sekelompok elite saja agama berbalik fungsinya, bukan lagi menjadi kekuatan nurani yang menggugah penguasa untuk memenuhi kewajiban kepada rakyat, tetapi justeru menjadi kekuatan hegemoni penguasa untuk mengendalikan rakyat.
Fenomena ini terjadi di hampir semua agama, tak terkecuali Islam. Dalam berbagai kasus, ketika kepentingan rakyat berbenturan dengan kepentingan penguasa, agama cenderung di pihak kedua. Dan untuk itu ayat “ati’ullaha wa ati’urrasul wa ulil amri minkum” dan sejenisnya yang ditafsiri secara sepihak, yang menguntungkan golongan dan penafsirnya, sedangkan rakyat selalu berada di pihak inverior yang menjadi kambing hitamnya.
Bila kita mengkaji dalam kitab fiqih, hak-hak rakyat ini selalu mendapat perhatian utama. Kelemahan dalam menegakkan hak-hak rakyat secara praktis telah dikompensasikan dengan kekuatan untuk menegakkannya secara teoritis. Para fuqaha menyimpulkan hak-hak rakyat itu pada perlindungan terhadap lima hal. Mereka secara ijmak menetapkan pemeliharaan lima hal ini sebagai maqasid al-ahkam al-syar’iyah, dan karena itu juga sebagai tujuan didirikannya pemerintahan. Lima hal yang harus dilindungi itu adalah agama, jiwa, harta, akal, dan perlindungan keluarga.
Melalui hukum-hukumnya, Islam telah melindungi kebebasan beragama. Sikap Alquran jelas “La ikraha fid-din” (tidak ada paksaan dalam beragama). Sudah jelas kebenaran dari kesesatan. Islam melarang fitnah dalam agama dan menganggap fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah yang dimaksudkan di sini adalah gangguan terhadap umat untuk memeluk agama yang diyakini kebenarannya.
Rakyat juga berhak mendapatkan perlindungan atas harga diri dan jiwa mereka. Harga diri dan jiwa mereka tidak boleh dirampas, darah mereka tidak boleh ditumpahkan, kehidupan mereka tidak boleh diintervensi. Nabi SAW berulang kali menyebut azab keras yang akan ditimpakan kepada penguasa yang merampas hak diri seseorang. Bahkan dalam konstitusi Madinah dimulai dengan perlindungan hukum terhadap hak dari setiap individu.
Setiap rakyat mempunyai hak atas kekayaan dan hak mendapatkannya secara sah. Kekayaan rakyat tidak dapat dirampas sewenang-wenang. Pada saat yang sama pekerjaan harus dihargai sesuai dengan profesi masing-masing. Karena mendapatkan pekerjaan adalah hak, maka Islam menimpakan kesalahan pada sistem pemerintahan bila ada rakyat yang tidak memiliki peluang untuk bekerja yang dapat menunjang bekal hidupnya secara layak.
Perlindungan terhadap keluarga merupakan perlindungan species manusia dan pemeliharaan kasih sayang di antara manusia. Karena itu Islam menetapkan peraturan berkeluarga dan mengutuk tindakan yang mengotori kesucian tali kekeluargaan, melarang tindakan yang menhancurkan kehormatan dan masa depan keluarga.
Hak perlindungan akal juga dijamin dalam Islam. Hak ini meliputi hak untuk mengeluarkan pendapat, mengembangkan pola pikir, hak memperoleh pendidikan. Dalam konteks kenegaraan salah satu hak akan perlindungan akal adalah hak berperan serta dalam pengambilan keputusan, di samping hak memilih pemimpin, lewat pesta demokrasi (pilkada).
Dari sinilah, mengapa hak dalam sistem pemerintahan Islam menjadi sangat urgent. Bahwa manusia diciptakan dalam kebebasannya dan amal perbuatannya akan bersandar pada kehendak yang bebas. Dengan demikian paksaan dalam pandangan Islam merupakan pelanggaran terhadap hak. Rakyat memiliki hak untuk berperan serta dalam pemerintahan yang mengatur mereka. Peraturan hendaknya diikuti dengan sukarela, bukan karena dipaksa-paksa, atau dengan jalan ditakut-takuti.
* Penulis adalah Dosen Fak.Syari’ah lAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sebenarnya melakukan sesuatu yang mashlahat di bumi ini, merupakan upaya penyadaran yang sangat tepat jika saja manusia dengan sepenuh kesadaran menjalankan kewajibannya. Persoalannya adalah ketika yang mashlahat tadi tak kunjung dilaksanakannya, diskusi dan perdebatan tentang hak menjadi sangat urgent. Sebab “hak” selalu diributkan, sedangkan “kewajiban” malah diabaikan.
Tengoklah hak-hak rakyat yang telah lama diabaikan. Mengapa terjadi? Karena kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berhadapan dengan rakyat, yakni penguasa, tak kunjung dipenuhi.
Rakyat sejak dulu hingga kini, selalu saja dibujuk, dirayu, diyakinkan dan tak jarang dipaksa untuk melakukan kewajiban-kewajibannya, kendati berbenturan dengan kepentingannya. Akan tetapi ketika kewajiban itu tak kunjung dipenuhi oleh manusia penguasa, siapa pernah memaksa, membujuk dan merayunya?
Dengan demikian jelas, bahwa agama satu-satunya instrumen yang berkompeten untuk mendesak manusia penguasa memenuhi kewajibannya terhadap rakyatnya. Ini terbukti dalam sejarah, di mana setiap rasul Allah selalu dalam posisi kritis bahkan terkadang konflik dengan pihak penguasa dalam memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
Alquran menginformasikan kita bahwa Allah SWT, senantiasa mengutus para rasul silih berganti. Nabi Muhammad SAW misalnya dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Allah untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arab dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebihan sebagai akibat dari kebijakan sentralisasi kekuasaan ekonomi sehingga melahirkan kebangkrutan moral dan sosial era itu.
AIquran juga secara tegas menunjukkan keberpihakannya atas orang Orang lemah (rakyat) dalam menghadapi orang-orang yang kuat (penguasa). Term yang digunakan Alquran adalah mustadh’afin (orang-otang yang dilemahkan) dan mustakhbirin (orang orang yang sombong). Semua Nabi Israil digambarkan di dalam Alquran sebagai pembela mustadh’afin dalam menghadapi mustakhbirin, yakni orang- orang yang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu Musa digambarkan sebagai pembebas orang orang yang tertindas (bangsa Israil) dari penindasan Firaun (mustakhbirin).
Pertarungan antara mustadh’afin dan mustakhbirin itu akan terus berlangsung, hingga agama Allah yang berbasis pada tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa adanya perbedaan antara mustadh’afin dan mustakhbirin, penindas dan tertindas, kaya dan miskin, rakyat dan penguasa) sehingga menjadi suatu masyarakat yang satu (ummatan wahidah). Di sinilah makna keberpihakan agama kepada rakyat. Akan tetapi sayang sekali, peranan agama yang memihak kepada rakyat ini tak berlangsung lama. Ketika agama telah dibakukan menjadi ajaran yang rumit yang hanya dikenali oleh sekelompok elite saja agama berbalik fungsinya, bukan lagi menjadi kekuatan nurani yang menggugah penguasa untuk memenuhi kewajiban kepada rakyat, tetapi justeru menjadi kekuatan hegemoni penguasa untuk mengendalikan rakyat.
Fenomena ini terjadi di hampir semua agama, tak terkecuali Islam. Dalam berbagai kasus, ketika kepentingan rakyat berbenturan dengan kepentingan penguasa, agama cenderung di pihak kedua. Dan untuk itu ayat “ati’ullaha wa ati’urrasul wa ulil amri minkum” dan sejenisnya yang ditafsiri secara sepihak, yang menguntungkan golongan dan penafsirnya, sedangkan rakyat selalu berada di pihak inverior yang menjadi kambing hitamnya.
Bila kita mengkaji dalam kitab fiqih, hak-hak rakyat ini selalu mendapat perhatian utama. Kelemahan dalam menegakkan hak-hak rakyat secara praktis telah dikompensasikan dengan kekuatan untuk menegakkannya secara teoritis. Para fuqaha menyimpulkan hak-hak rakyat itu pada perlindungan terhadap lima hal. Mereka secara ijmak menetapkan pemeliharaan lima hal ini sebagai maqasid al-ahkam al-syar’iyah, dan karena itu juga sebagai tujuan didirikannya pemerintahan. Lima hal yang harus dilindungi itu adalah agama, jiwa, harta, akal, dan perlindungan keluarga.
Melalui hukum-hukumnya, Islam telah melindungi kebebasan beragama. Sikap Alquran jelas “La ikraha fid-din” (tidak ada paksaan dalam beragama). Sudah jelas kebenaran dari kesesatan. Islam melarang fitnah dalam agama dan menganggap fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah yang dimaksudkan di sini adalah gangguan terhadap umat untuk memeluk agama yang diyakini kebenarannya.
Rakyat juga berhak mendapatkan perlindungan atas harga diri dan jiwa mereka. Harga diri dan jiwa mereka tidak boleh dirampas, darah mereka tidak boleh ditumpahkan, kehidupan mereka tidak boleh diintervensi. Nabi SAW berulang kali menyebut azab keras yang akan ditimpakan kepada penguasa yang merampas hak diri seseorang. Bahkan dalam konstitusi Madinah dimulai dengan perlindungan hukum terhadap hak dari setiap individu.
Setiap rakyat mempunyai hak atas kekayaan dan hak mendapatkannya secara sah. Kekayaan rakyat tidak dapat dirampas sewenang-wenang. Pada saat yang sama pekerjaan harus dihargai sesuai dengan profesi masing-masing. Karena mendapatkan pekerjaan adalah hak, maka Islam menimpakan kesalahan pada sistem pemerintahan bila ada rakyat yang tidak memiliki peluang untuk bekerja yang dapat menunjang bekal hidupnya secara layak.
Perlindungan terhadap keluarga merupakan perlindungan species manusia dan pemeliharaan kasih sayang di antara manusia. Karena itu Islam menetapkan peraturan berkeluarga dan mengutuk tindakan yang mengotori kesucian tali kekeluargaan, melarang tindakan yang menhancurkan kehormatan dan masa depan keluarga.
Hak perlindungan akal juga dijamin dalam Islam. Hak ini meliputi hak untuk mengeluarkan pendapat, mengembangkan pola pikir, hak memperoleh pendidikan. Dalam konteks kenegaraan salah satu hak akan perlindungan akal adalah hak berperan serta dalam pengambilan keputusan, di samping hak memilih pemimpin, lewat pesta demokrasi (pilkada).
Dari sinilah, mengapa hak dalam sistem pemerintahan Islam menjadi sangat urgent. Bahwa manusia diciptakan dalam kebebasannya dan amal perbuatannya akan bersandar pada kehendak yang bebas. Dengan demikian paksaan dalam pandangan Islam merupakan pelanggaran terhadap hak. Rakyat memiliki hak untuk berperan serta dalam pemerintahan yang mengatur mereka. Peraturan hendaknya diikuti dengan sukarela, bukan karena dipaksa-paksa, atau dengan jalan ditakut-takuti.
* Penulis adalah Dosen Fak.Syari’ah lAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.