HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Abu Salam Kritik Dirut PalmCo: Ini Gaya Marsose, Bukan Solusi untuk Aceh!

Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, T Emi Syamsyumi alias Abu Salam. "Ketua KPA Luwa Nanggroe Murka, Sebut Kunjungan Djatm...

Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, T Emi Syamsyumi alias Abu Salam.

"Ketua KPA Luwa Nanggroe Murka, Sebut Kunjungan Djatmiko Sentosa di Aceh sebagai Bentuk Penjajahan Baru dan Penghinaan terhadap MoU Helsinki"

Lentera24.com | BANDA ACEH – Kunjungan ilegal Direktur Utama PalmCo, Djatmiko K. Sentosa, ke Regional 6 Aceh berakhir ricuh. 

Bukan saja memperkeruh hubungan industrial antara Serikat Pekerja SPBUN dan manajemen PTPN IV, kehadiran Djatmiko justru menuai amukan politik dan sosial dari Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, T Emi Syamsyumi alias Abu Salam.

“Ini bukan datang untuk mendengar, tapi untuk mengatur dan mengacak-acak dan mengobok obok kedamaian Aceh dalam bingkai UUPA. Keputusan strategis tidak bisa ditentukan lewat sepucuk surat, tanpa dialog, tanpa transparansi, dan tanpa menghargai struktur lokal. Ini bukan gaya negara, ini gaya marsose—penjajahan gaya lama dalam bungkus birokrasi BUMN,” sembur Abu Salam.

Abu Salam dengan lantang menuduh PalmCo dan jajaran manajemen PTPN IV bersikap neo-kolonial, inilah bentuk kepemimpinan negeri Anak Jajahan yang dipraktikkan oleh Direktur Utama PalmCo, Djatmiko K. Sentosa, di negeri Aceh yang tidak pernah dikuasai oleh penjajah. 

Ia juga menyoroti kebijakan rekrutmen tenaga kerja yang selama ini mengabaikan SDM lokal Aceh untuk posisi strategis.

“Kami punya ribuan putra daerah yang mumpuni. Tapi selalu saja yang diberi jabatan penting adalah orang-orang dari luar. Sampai kapan Aceh hanya jadi ladang peras dan remas?” – Abu Salam.

Menurut data internal PTPN IV Regional 6, dari sekitar 3.482 pekerja aktif, hanya 24% yang menempati posisi struktural berasal dari Aceh, selebihnya berasal dari luar provinsi. 

Jabatan strategis seperti manajer kebun, kepala divisi, hingga general manager dikuasai oleh tenaga kerja non-lokal—sebuah fakta yang memicu kecemburuan dan ketegangan berkepanjangan.

Konflik makin membara setelah Djatmiko dalam kunjungannya pada Jumat, 4 Juli 2025, hanya mengarahkan rapat tertutup dengan karyawan pelaksana pilihan manajemen, tanpa melibatkan pengurus SPBUN Regional 6 Aceh.

Ketua SPBUN Regional 6 Aceh, Rusli Achmad, menyebut Djatmiko mengundang pihaknya secara mendadak pukul 16.50 WIB via Kabag Sekretariat Perusahaan, padahal SPBUN sedang menjamu tamu dari Dinas Tenaga Kerja Aceh. 

Saat Rusli meminta waktu tambahan, Djatmiko langsung menelepon dengan nada tinggi dan bahasa tidak sopan.

“Beliau bicara kasar sekali, tak menghargai protokol organisasi. Lebih parah lagi, dia memilih hanya bertemu dengan ‘orang-orang pilihan’ manajemen. Ini bukan menyelesaikan masalah, ini mempermalukan struktur pekerja,” ujar Rusli.

Kunjungan Djatmiko juga dituding hanya untuk membela bawahannya—terutama BRM, pejabat yang telah direkomendasikan Gubernur Aceh dan Komisi II DPR Aceh untuk dicopot karena berbagai konflik internal dan ketimpangan kepemimpinan.

“Kalau ada masalah, selesaikan dengan pendekatan kolektif. Jangan malah datang sembunyi-sembunyi untuk lindungi satu orang. Ini bukan ladang mafia, ini institusi negara,” ujar Rusli geram.

Kritik terhadap PalmCo meluas ke ranah konstitusional. Abu Salam menyebut tindakan Djatmiko telah melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya Pasal 160 hingga Pasal 165 yang memberi ruang kepada Aceh untuk mengelola kebijakan ketenagakerjaan dan ekonomi berbasis lokal.

Lebih jauh, ia menuding PalmCo mengangkangi MoU Helsinki—dokumen damai yang ditandatangani di Finlandia tahun 2005 antara GAM dan Pemerintah Indonesia.

Dalam Pasal 1.3.5 MoU Helsinki, ditegaskan bahwa:

“Pemerintah Aceh memiliki wewenang penuh dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lokal serta pelibatan warga Aceh dalam kebijakan pembangunan.”

Ironisnya, di tengah konflik ini, kondisi PTPN IV Regional 6 tidak dalam performa sehat. Berdasarkan laporan keuangan semester I 2025:

Produksi tandan buah segar (TBS) turun 12,7% dibanding tahun lalu 

Tingkat kehilangan hasil (losses) di kebun mencapai 18,5%

Tunggakan gaji dan insentif teknis mencatat angka Rp 6,3 miliar 

Sebanyak 1.200 pekerja kontrak belum mendapat kepastian perpanjangan kontrak sejak April

Namun alih-alih fokus menyelamatkan perusahaan dan merangkul seluruh pihak, Djatmiko dinilai lebih sibuk mengatur agenda politik birokrasi internal, bahkan menyingkirkan SPBUN dari ruang diskusi.

Abu Salam dan SPBUN menyerukan agar Presiden dan Menteri BUMN segera mengevaluasi posisi Djatmiko, termasuk membentuk tim investigasi independen terhadap praktik diskriminatif di tubuh PalmCo dan PTPN IV Regional 6.

“Aceh bukan ladang sawit milik penjajah. Kalau PalmCo tak sanggup menghormati aturan dan budaya Aceh, maka lebih baik minggir. Kami tidak butuh penjaga kebun bertangan besi,” tegas Abu Salam.

PalmCo saat ini berdiri di atas tanah yang dulu pernah merah oleh darah konflik. "Apa pun yang terjadi hari ini, tidak bisa dilepaskan dari sensitivitas sejarah dan politik lokal." 

Jika pemerintah pusat membiarkan sikap arogan terus berlangsung, maka luka lama bisa terbuka kembali.

Aceh mungkin sudah damai, tapi perdamaian bukan pasrah, dan kehormatan tidak untuk ditawar. []L24.Sai