HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Krisis Kepemimpinan

Ilustrasi google Fuady Sulaiman | Opini Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, Filsufnya periuk nasi, dan senimannya tukang tambal...

Ilustrasi google
Fuady Sulaiman | Opini

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
Filsufnya periuk nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru (Kahlil Gibran)

Kasihan memang. Jika seandainya ada sebuah negara namun tanpa adanya negarawan. Hal inilah yang saat ini terjadi pada bangsa kita. Seperti disampaikan oleh Buya Syafi’i Ma’arif beberapa waktu yang lalu, mantan ketua organisasi massa Muhammadiyah ini mengatakan bahwa bangsa ini surplus politisi, namun minus negarawan.

Politisi adalah tipikal manusia yang tindakan dan pikirannya hanya untuk kepentingan partai atau kelompoknya. Sedangkan negarawan adalah sekelompok kecil manusia yang memikirkan kepentingan bersama tanpa terjebak pada kepentingan pribadi. Begitulah para ilmuwan mendefinisikan.

Membandingkan kondisi bangsa Indonesia dengan konteks politik di Aceh saat ini ternyata tidak jauh berbeda. Krisis kepemimpinan terjadi tidak hanya pada skala nasional, namun juga bersifat lokal. Bahkan lebih kecil dari itu. Dari level pemimpin negara, pemimpin daerah, pemimpin kampung hingga keluarga.

Pada dasarnya krisis kepemimpinan itu dapat diurai dari dua sebab. Pertama, krisis kepemimpinan karena alasan kultural. Krisis kepemimpinan seperti ini dikarenakan tipologi sebuah masyarakat yang tidak menanamkan nilai kepemimpinan semenjak dini. Anak-anak yang lahir diarahkan seolah-olah untuk tidak jadi pemimpin atau tumbuh tanpa memiliki kecakapan diri untuk memimpin.

Dalam konteks Aceh, krisis kemimpinan karena alasan kultural sudah pasti terbantahkan. Betapa kita harusnya bangga dengan para indatu yang telah melahirkan karya lisan maupun tulisan tentang kepemimpinan. Betapa sejarah masa lalu Aceh secara jenih memberikan gambaran yang jelas tentang praktik kenegaraan. Kondisi ini diperkaya dengan budaya tutur atau hikayat yang merasuk dan ditanamkan semenjak anak-anak masih dalam ayunan.

Kedua, krisis kepemimpinan karena alasan struktural. Dalam konteks ini, krisis kepemimpinan yang ada terjadi karena penguasa-penguasa yang ada tidak menghendaki lahirnya pemimpin-pemimpin baru, apalagi jika mengancam penguasa status quo. Secara sengaja melalui perangkat peraturan, penguasa yang ada melakukan penjegalan dengan tujuan mengamankan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tarik ulur  adanya calon independen misalnya. Bagi sebagian besar orang dapat dimaknai sebagai bentuk lain upaya penjegalan munculnya pemimpin-pemimpin baru yang lahir melalui peluang independen.

Berfikir ke depan
Sejarah bangsa-bangsa dunia mengajarkan pada kita bahwa pemimpin-pemimpin besar biasanya lahir dalam kondisi bangsa yang tengah bergejolak. Seolah antara persoalan-persoalan besar dengan pemimpin besar adalah dua sisi mata keping uang. Antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Mungkin ada benarnya pepatah zaman yang mengatakan bahwa ombak yang tenang tidak akan menghasilkan nakhkoda yang unggul.

Maka sejarah mencatatkan nama Nelson Mandela yang lahir dari gejolak politik apartheid di Afrika Selatan. Bertahun-tahun hidup dalam tekanan penjajah, penjara, dan pengasingan ternyata tidak membuat pikirannya sempit oleh dendam dan kesumat. Kita tahu, bahwa setelah Nelson Mandela terpilih menjadi Presiden, tindakan pertamanya bukan mengusir Kulit Putih untuk kembali ke negaranya di Eropa sana. Justru yang dilakukan pertama kali oleh pemenang nobel perdamaian ini adalah mengajak si Kulit Putih dan Si Kulit Hitam untuk bersama-sama membangun masa depan Afrika Selatan. Maka kalau kita menyempatkan diri menonton film-film produksi Hollywood seperti Goodbye Bafana ataupun Invictus yang diperankan Morgan Freeman, kita tidak heran kenapa publik menempatkan Nelson Mandela sebagai salah seorang pemimpin besar di dunia.

Setelah konflik bertahun-tahun yang telah menyedot energi dan tenaga terjadi di Aceh, wajar jika kita berharap lahirnya calon-calon pemimpin besar. Paling tidak pengalaman semasa konflik telah menjadi ajang latihan jiwa kepemimpinan. Sayangnya hingga kini kita sedikit sekali menemukan calon pemimpin Aceh yang memiliki jiwa dan kedewasaan dalam berfikir. Hari ini kita banyak memiliki politisi, namun tanpa negarawan.

Konflik politik yang terjadi pada level elite politik di Aceh, dapat dimaknai bahwa kita memang krisis negarawan. Pemimpin kita bukan hanya gagal dalam melakukan komunikasi dan rekonsiliasi konflik, tetapi lebih dari itu konflik yang ada menjadi contoh yang tidak baik bagi rakyatnya. Jika level pemimpin daerah menyelesaikan masalah dengan lawan politiknya kurang elegan, sangat dikhawatirkan ini akan merembes pada pemimpin di level bawahnya.

Persoalan yang terjadi saat ini masih menyangkut hal-hal yang sifat dan manfaatnya bersifat elitis. Saya khawatir jangan-jangan rakyat kita sendiri sudah bosan dengan konflik yang terjadi pada pemimpin-pemimpin kita. Mereka mungkin sudah mulai paham, siapa pun elite yang memimpin toh nasib mereka sama seperti sebelumnya. Harga kebutuhan tetap melambung, infrastruktur masih amburadul juga penguasa-penguasa yang makin kaya. Sementara rakyat tetap lara dengan nestapanya.

Tantangan kepemimpinan masa depan bukan hanya persoalan siapa yang nantinya memenangi pilkada. Tantangan yang sesungguhnya adalah mampu tidak calon-calon pemimpin yang akan berlaga pada pilkada 2011 ini mengubah keadaan masyarakat.

Hal ini harusnya disadari oleh calon pemimpin kita. Daripada pemimpin kita ribut-ribut dan merebutkan jabatan penguasa, akan lebih baik jika memberikan bukti-bukti riil peran dan kontribusi mereka di masyarakat. Penting buat calon para pemimpin Aceh ke depan untuk memahami bahwa dalam sistem demokrasi kita, rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sebenar-benarnya. Mereka akan mendukung pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan mereka. Dan sebaliknya, mengharapkan pemimpin bebal yang tidak peka dengan persoalan rakyat untuk segera turun dari tahtanya. Persis seperti yang dikatakan oleh Sang Nabi dalam hadisnya. “Sebaik-baik pemimpin adalah yang kalian mencintainya dan ia mencintai kalian serta kalian mendo’akannya dan ia mendo’akan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan ia membenci kalian serta kalian melaknatnya dan ia melaknat kalian.” (HR. Muslim).

* Penulis adalah Anggota DPR Aceh Periode 2009-2014. Kepala Bidang Kebijakan Publik DPW PKS Aceh.