HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Dua Menteri Keuangan, Dua Wajah Negara

Oleh: Radhar Tribaskoro Lentera24.com - Uang negara selalu punya jalan panjang. Ia mengalir dari sumber-sumbernya—pajak, utang, dividen BUM...

Oleh: Radhar Tribaskoro

Lentera24.com - Uang negara selalu punya jalan panjang. Ia mengalir dari sumber-sumbernya—pajak, utang, dividen BUMN—lalu menempuh rute berliku melewati kementerian, lembaga, hingga akhirnya menyentuh dapur rakyat, atau justru menguap tanpa jejak. Perjalanan itulah yang membedakan dua wajah bendahara republik kita: Sri Mulyani dan Purbaya.


Keduanya sama-sama memikul jabatan yang sama: Menteri Keuangan. Tapi cara mereka memandang aliran uang negara berbeda bagai dua sungai yang berangkat dari hulu yang sama, lalu bercabang ke arah yang kontras.


Sri Mulyani: Menjaga Mata Air

Sri Mulyani dikenal luas di panggung internasional. Ia teknokrat yang dibanggakan Bank Dunia, ekonom yang fasih bicara dalam bahasa investor global. Baginya, tugas utama bendahara negara adalah menjaga “mata air uang” agar tidak kering.


Ia mengawal disiplin fiskal dengan keras: defisit tak boleh melewati 3 persen PDB, utang harus dijaga di bawah 60 persen. Ia memberi tax holiday pada konglomerat karena dianggap pencipta lapangan kerja, sembari tetap menarik pajak dari kelas menengah dan bawah. Dengan begitu, pasar diyakinkan bahwa Indonesia negara yang kredibel, layak diberi pinjaman, layak mendapat investasi.


Tapi di sepanjang saluran air itu, banyak kebocoran yang luput dari perhatian. Subsidi energi membengkak karena kilang minyak tak kunjung berdiri. Infrastruktur kadang lebih jadi monumen politik daripada motor pertumbuhan. Dana bansos sering bocor, tapi sepanjang defisit terkendali, neraca dianggap aman.


Sri Mulyani adalah penjaga bendungan, bukan pengawas parit. Ia memegang kunci gerbang hulu, tapi kurang peduli apa yang terjadi di hilir. Itu konsekuensi logis dari cara pandangnya: uang harus netral, negara harus adil pada semua.


Purbaya: Mengawasi Aliran

Purbaya datang dengan kacamata lain. Ia tidak puas menjaga hulu, ia menelusuri sungai anggaran hingga ke muara. Baginya, uang negara bukan sekadar angka dalam neraca, melainkan arus yang harus tiba di sawah, sekolah, puskesmas, dan dapur rumah tangga.


Karena itu ia berani bersuara lantang. Pertamina ia kritik habis-habisan: sudah bertahun-tahun janji membangun tujuh kilang minyak, tapi tak satu pun terwujud. “Malas-malasan,” katanya. Padahal tanpa kilang, subsidi energi akan terus menggunung, dan rakyat harus menanggung beban harga impor BBM.


Badan Gizi Nasional juga tak luput. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan pagu Rp 71 triliun baru menyerap Rp 13,2 triliun, atau 18,6 persen, hingga September 2025. Uang yang mengendap sama buruknya dengan uang yang bocor, sebab keduanya gagal memberi manfaat. Purbaya bahkan mengancam akan mengalihkan anggaran MBG ke bansos lain bila penyerapan tetap lamban.


Ia menegur pula BUMN yang boros, proyek infrastruktur yang macet, lembaga-lembaga yang lihai membuat laporan tapi miskin realisasi. Ia ingin memastikan setiap rupiah yang keluar dari kas negara tak berhenti jadi angka, melainkan manfaat.


Kontras ini makin jelas ketika menyentuh soal keadilan.

Bagi Sri Mulyani, keadilan berarti perlakuan sama untuk semua. Kapitalis boleh mendapat insentif, kelas menengah tetap membayar pajak, rakyat kecil mendapat bansos secukupnya. Negara tidak boleh berpihak—karena pasar membenci diskriminasi.


Bagi Purbaya, keadilan formal itu hanya topeng. Yang miskin butuh perlakuan khusus, yang lemah perlu dipihaki. APBN harus berpihak, sebab netralitas hanya menguntungkan yang kuat. Maka, seperti Presiden Prabowo, ia bicara terang: uang negara harus jadi alat untuk menolong yang miskin, menutup jurang kesenjangan.


Dua Filosofi Fiskal

Di balik sikap itu, berdiri dua filosofi fiskal:


1. Neoliberal teknokratis ala Sri Mulyani: disiplin, stabilitas, kredibilitas di mata pasar.

2. Populis distributif ala Purbaya: efisiensi, keberpihakan, manfaat nyata bagi rakyat.


Sri Mulyani sibuk menjaga angka-angka. Purbaya sibuk menjaga aliran.


Sri Mulyani membangun keadilan formal. Purbaya menuntut keadilan substantif.


Banyak orang kaget melihat gaya keras Purbaya. Ia mengkritik Pertamina di depan umum, ia menyentil BGN tanpa tedeng aling-aling, ia menyebut lembaga lamban sebagai beban. Tapi justru di situ terlihat kepeduliannya: ia tidak ingin uang negara bocor atau mengendap.


Bagi dia, kritik adalah bagian dari pengawasan. Menteri Keuangan bukan sekadar akuntan, melainkan juga penjaga moral aliran uang. Karena itu ia berani bersuara, meski resikonya dituding menyerang kolega.


Dengan kacamata ini, artikel “Jebakan Fiskal, Jebakan Imajinasi” bisa dibaca ulang. Banyak yang mengira tulisan itu apologi neolib ala Sri Mulyani, hanya menenangkan pasar, hanya meremehkan risiko. Padahal isinya justru seirama dengan semangat Purbaya: menolak narasi pesimis yang hanya menakut-nakuti, dan mengingatkan bahwa krisis bukan keniscayaan.


Jebakan fiskal sejati bukan sekadar angka defisit. Jebakan fiskal adalah ketika uang negara terus bocor, mengendap, atau berputar tanpa makna. Menolak jebakan itu berarti mengawasi aliran, memastikan dana publik tidak berhenti di laporan.


Di situlah wajah lain dari argumen “jebakan imajinasi”: bukan pembelaan neolib, melainkan peringatan agar kita tidak terjebak pada ketakutan, sementara aliran nyata justru diabaikan.


Arah Baru

Sejarah akan menilai siapa yang benar. Tapi jelas, di era Prabowo, arah fiskal cenderung ke jalur Purbaya. Ia berani memarahi BUMN, menggugat program lamban, menuntut manfaat nyata. Itu bukan sekadar gaya, melainkan paradigma baru: dari netralitas pasar ke pemihakan sosial, dari menjaga hulu ke mengawasi hilir.


Apakah ini akan membawa falaah dan barakah? Belum pasti. Tapi setidaknya kini ada bendahara negara yang mau menelusuri sungai uang sampai ke muara, bukan hanya duduk menjaga bendungan di hulu.


Dan mungkin di situlah perbedaan mendasar: Sri Mulyani menjaga neraca, Purbaya menjaga rakyat.[]L24.red

Cimahi, 2 Oktober 2025