HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Aset Digital Sebagai Jaminan: Saatnya Indonesia Bergerak Cepat

Czultan Brian Mahasiswa Semester 5 Jurusan: Hukum Universitas: Bangka Belitung Lentera24.com - Nilai transaksi aset kripto di Indonesia ter...

Czultan Brian Mahasiswa Semester 5 Jurusan: Hukum Universitas: Bangka Belitung


Lentera24.com - Nilai transaksi aset kripto di Indonesia terus melonjak. Data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat, nilai perdagangan kripto sudah menembus ratusan triliun rupiah per tahun dengan jutaan investor terdaftar. Fenomena ini menunjukkan bahwa aset digital seperti Bitcoin, Ethereum, atau NFT bukan lagi sekadar tren, melainkan kekayaan nyata yang memiliki nilai ekonomi besar.

Namun, muncul pertanyaan penting: bisakah aset digital dijadikan jaminan pinjaman seperti tanah atau kendaraan? Di tengah berkembangnya layanan keuangan digital, kepastian hukum soal jaminan menjadi kunci bagi kreditur maupun debitur. Sayangnya, Indonesia belum memiliki aturan khusus yang secara tegas mengakui aset digital sebagai objek jaminan kebendaan.

Kekosongan Hukum yang Mendesak Diatasi

Dalam hukum perdata Indonesia, Pasal 499 KUHPerdata menyebut “benda” adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan. Jika ditinjau secara sederhana, aset digital sebenarnya memenuhi kriteria tersebut: dapat dimiliki, diperdagangkan, dan memiliki harga pasar.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun mengakui data elektronik sebagai informasi yang memiliki kekuatan hukum, sementara Bappebti telah menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang sah diperdagangkan.

Namun, pengakuan itu baru sebatas kegiatan perdagangan, belum menjangkau mekanisme jaminan kebendaan seperti fidusia atau gadai. Akibatnya, ketika seseorang ingin menjadikan kripto sebagai jaminan pinjaman, tidak ada prosedur resmi untuk mendaftarkan hak kreditur maupun cara eksekusi jika debitur wanprestasi. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha, lembaga keuangan, dan investor.

Mengapa Perlu Diatur

Ada tiga alasan mengapa aset digital layak diatur sebagai objek jaminan:

Nilai Ekonomi Nyata

Aset digital memiliki likuiditas tinggi dan dapat diperjualbelikan secara global. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Singapura, pinjaman dengan jaminan kripto (crypto-backed loan) sudah berjalan.

Teknologi yang Transparan

Sistem blockchain mencatat kepemilikan secara terbuka dan sulit dimanipulasi, sehingga memudahkan verifikasi hak milik.

Dorongan Pertumbuhan Ekonomi Digital

Kepastian hukum akan membuka peluang pembiayaan baru bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Meski potensial, risiko tetap perlu diperhitungkan. Fluktuasi harga kripto yang sangat tajam dapat merugikan kreditur, sementara masalah teknis seperti kehilangan private key dapat menghambat eksekusi jaminan.

Usulan Langkah Konkret

Untuk mengantisipasi perkembangan ini, beberapa langkah bisa dipertimbangkan pemerintah:

Regulasi Khusus atau Revisi UU Jaminan

Pemerintah dapat menyusun aturan baru atau menyesuaikan Undang-Undang Fidusia agar mencakup aset digital sebagai objek jaminan.

Pendaftaran Elektronik yang Terintegrasi

Sistem berbasis teknologi blockchain dapat digunakan untuk mencatat kepemilikan dan hak jaminan secara transparan.

Pengawasan Lembaga Resmi

OJK dan Bappebti perlu dilibatkan sebagai pengawas, termasuk penunjukan custodian atau lembaga penyimpan resmi untuk menjaga keamanan aset.

Langkah-langkah ini akan melindungi kreditur, memberikan kepastian bagi debitur, dan menjaga stabilitas pasar aset digital.

Penutup

Aset digital sudah menjadi bagian dari kekayaan masyarakat modern. Tanpa aturan yang jelas, peluang pemanfaatannya sebagai jaminan akan terus tertahan, sementara risiko sengketa semakin besar.

Indonesia perlu segera menyusun kerangka hukum jaminan digital agar tidak tertinggal dari negara lain dan agar ekosistem ekonomi digital dapat berkembang secara sehat, aman, dan berkelanjutan.(*)