HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kedaulatan Pangan Dimulai dari Desa: Urgensi Revitalisasi Pertanian Lokal

Dina Oktavia Ramadhani Mahasiswi  Semester 2  Fakultas Sains dan Teknologi  Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakart a Lentera24....

Dina Oktavia Ramadhani Mahasiswi  Semester 2 Fakultas Sains dan Teknologi 
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Lentera24.com -  Saat kota-kota sibuk mengejar pembangunan vertikal, desa-desa tetap menunaikan tanggung jawab utama: menyediakan pangan bagi negeri. Desa menjadi fondasi ketahanan pangan nasional, namun peran vitalnya belum menjadi prioritas utama dalam agenda pembangunan. Sementara pusat-pusat kota dibanjiri investasi dan infrastruktur modern, desa masih tertinggal dalam dukungan kebijakan dan fasilitas dasar. Di tengah krisis global yang mengancam stabilitas rantai pasok pangan, Indonesia justru masih bergantung pada impor bahan pokok seperti kedelai, gula, daging, gandum, dan bawang putih. Hal ini menjadi ironi mengingat Indonesia memiliki wilayah pedesaan yang luas dan potensi sumber daya alam yang kaya.

Kedaulatan pangan bukan sekadar target swasembada, melainkan upaya menguasai seluruh sistem pangan nasional dari produksi hingga konsumsi. Artinya, pengendalian terhadap produksi pangan harus dimulai dari desa, sebagai basis utama pertanian dan sumber pangan nasional. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa desa masih menghadapi berbagai keterbatasan, baik dari sisi infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, hingga akses pasar. Tanpa pembenahan menyeluruh, maka kedaulatan pangan hanya akan menjadi slogan yang hampa makna.

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 43% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Namun, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 12,4%. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa potensi desa belum dikelola secara optimal. Selain itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan. Lahan-lahan subur kini banyak berubah menjadi kawasan industri atau perumahan. Bahkan berdasarkan Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018, sekitar 61% petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara minat generasi muda terhadap sektor pertanian semakin rendah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sistem pangan nasional sedang menghadapi ancaman regenerasi dan keberlanjutan.

Revitalisasi pertanian desa harus menjadi strategi utama dalam pembangunan nasional. Langkah pertama adalah membenahi infrastruktur dasar di wilayah pedesaan. Jalan produksi yang rusak, irigasi yang tidak berfungsi optimal, dan tidak adanya fasilitas penyimpanan pascapanen menjadi penyebab utama rendahnya efisiensi distribusi hasil pertanian. Akibatnya, banyak petani mengalami kerugian karena keterlambatan distribusi atau kerusakan hasil panen sebelum sampai ke pasar. Dalam kondisi ini, peran negara sangat dibutuhkan untuk melakukan intervensi pembangunan yang terarah dan berkelanjutan.

Selain infrastruktur, penguatan sumber daya manusia menjadi faktor penentu keberhasilan revitalisasi pertanian desa. Petani perlu dibekali dengan keterampilan modern, mulai dari teknik budidaya yang efisien hingga manajemen usaha tani yang adaptif. Pelatihan dan pendampingan harus dilakukan secara rutin dan berbasis kebutuhan lokal. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat perlu bersinergi untuk membentuk ekosistem pertanian yang ramah terhadap petani dan lingkungan. Pengembangan pusat pelatihan pertanian di tingkat desa atau kecamatan dapat menjadi wadah untuk meningkatkan kapasitas petani muda dan menarik minat generasi milenial terhadap dunia pertanian.

Di sisi lain, permasalahan klasik yang dihadapi petani adalah lemahnya akses terhadap pasar. Banyak petani yang masih tergantung pada tengkulak yang membeli hasil panen dengan harga rendah. Ketimpangan ini dapat diatasi dengan membangun sistem distribusi yang lebih adil dan efisien. Penguatan koperasi petani dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi salah satu solusi strategis. Melalui koperasi, petani dapat menjual hasil panen secara kolektif dengan harga yang lebih menguntungkan. Pemerintah juga perlu mendorong pemanfaatan platform digital yang menghubungkan petani secara langsung dengan konsumen, seperti e-commerce pangan dan marketplace pertanian. Model distribusi digital ini tidak hanya memperluas akses pasar, tetapi juga memperpendek rantai distribusi dan meningkatkan pendapatan petani.

Subsidi pertanian yang selama ini diberikan juga perlu dievaluasi. Skema subsidi yang hanya berfokus pada pupuk dan benih belum cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pemerintah perlu memperluas cakupan subsidi ke aspek lain seperti alat mesin pertanian, asuransi gagal panen, dan pendampingan teknis berkelanjutan. Menurut kajian FAO tahun 2022, subsidi yang tepat sasaran dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan memperkuat ketahanan pangan berbasis komunitas. Oleh karena itu, desain subsidi pertanian perlu disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik di masing-masing daerah.

Kisah sukses sejumlah desa di Indonesia bisa menjadi inspirasi. Di Desa Srihardono, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, masyarakat berhasil mengembangkan sistem pertanian organik berbasis komunitas yang kini menembus pasar ekspor hortikultura. Di Nagari Sungai Duo, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, manajemen pertanian dikelola secara profesional oleh BUMDes yang berhasil meningkatkan pendapatan warga desa. Keberhasilan tersebut lahir bukan dari program musiman, melainkan dari kolaborasi yang konsisten antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Model-model seperti ini seharusnya diperluas dan direplikasi ke desa-desa lain dengan memperhatikan kondisi lokal masing-masing wilayah.

Revitalisasi pertanian desa tidak akan berjalan optimal jika desa hanya dianggap sebagai objek pembangunan. Desa harus diberi peran sebagai subjek aktif yang dapat merancang dan mengelola program pembangunan sesuai kebutuhan. Desentralisasi anggaran melalui Dana Desa dapat diarahkan untuk mendukung kegiatan pertanian, seperti pembangunan infrastruktur produksi, pelatihan petani, serta penguatan kelembagaan ekonomi desa. Kepercayaan dan otonomi yang diberikan kepada desa akan memperkuat partisipasi masyarakat dan menciptakan rasa kepemilikan terhadap program pembangunan.

Investasi masa depan Indonesia terletak di desa. Jika desa diberdayakan secara serius, maka Indonesia akan memiliki sistem pangan yang kuat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan bukan dibangun dari meja rapat, tetapi tumbuh dari ladang petani, dari gotong royong warga desa, dan dari kebijakan yang berpihak. Mengabaikan desa berarti membiarkan ketahanan pangan nasional berada dalam posisi rawan. Namun, jika desa diposisikan sebagai pusat produksi pangan yang mandiri dan berdaya saing, maka Indonesia akan mampu menghadapi tantangan krisis pangan global.

Membangun pertanian desa adalah langkah strategis, bukan sekadar nostalgia terhadap kehidupan agraris. Ini adalah kebutuhan nyata di tengah ketidakpastian global. Dengan dukungan kebijakan yang konsisten, infrastruktur yang memadai, dan pemberdayaan petani secara menyeluruh, desa dapat menjadi tulang punggung kedaulatan pangan Indonesia. Karena pada akhirnya, masa depan pangan bangsa ini sangat bergantung pada bagaimana kita memuliakan dan membangun desa sejak hari ini.(*)