HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Pion yang Terjepit dan Resistensi Masyarakat Aceh

Syafaruddin Community Manager Invest Islands Foundation dan Community Manager Mandala Foundation Lentera24.com - Dalam permainan catur, pio...

Syafaruddin Community Manager Invest Islands Foundation dan Community Manager Mandala Foundation


Lentera24.com - Dalam permainan catur, pion hanya bisa maju—tak ada ruang untuk mundur atau berbelok. Metafora ini menyiratkan keterbatasan pilihan, mirip dengan kondisi petani, nelayan, pedagang kecil, dan masyarakat kelas bawah di Aceh saat ini. Sebagai daerah istimewa dengan otonomi khusus, Aceh memiliki keunikan struktural: kekayaan sumber daya alam yang melimpah, warisan konflik berkepanjangan, dan penerapan syariat Islam. Namun, seperti pion di papan catur, masyarakat akar rumput Aceh justru terjebak dalam paradoks: kaya alam tetapi miskin akses, berotonomi tetapi terbelenggu birokrasi, dan religius tetapi timpang dalam keadilan ekonomi. Artikel ini menganalisis dinamika tersebut dengan menggali ketegangan antara kemajuan semu dan resistensi kultural di Serambi Mekkah.  


Pion di Ladang Minyak dan Sawit: Petani Aceh di Bawah Cengkeraman Oligarki  


Aceh menyumbang 16% produksi minyak sawit nasional (BPS Aceh, 2023), tetapi 72% lahan perkebunan dikuasai korporasi (Koalisi Pemantau Sawit Aceh, 2022). Petani kecil, seperti pion yang terjepit di awal permainan, hanya memiliki lahan rata-rata 1,2 hektar—tak cukup untuk menopang hidup layak. Mereka dipaksa "maju" menanam komoditas ekspor, sementara harga pupuk melambung 30% sejak 2022 (Dinas Pertanian Aceh). Ironisnya, meski Aceh memiliki Qanun No. 8/2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, alih fungsi lahan sawah untuk sawit tetap masif: 45.000 hektar hilang dalam lima tahun terakhir (WALHI Aceh). Promosi pion—impian petani memiliki sertifikat tanah—tersandung birokrasi dan praktik rentenir yang masih marak di pedesaan.  


Pedagang Pasar dan UMKM: Bertahan di Tengah Gelombang Syariat dan Monopoli  


Pasar tradisional Aceh, seperti Pasar Peunayong dan Pasar Aceh Lama, adalah jantung ekonomi rakyat. Namun, pedagang kecil menghadapi dua tekanan sekaligus: penetrasi pasar modern (minimarket tumbuh 20% per tahun di Kota Banda Aceh) dan regulasi syariat yang kerap diskriminatif. Misalnya, Qanun No. 6/2014 tentang Hukum Jinayat melarang perempuan berjualan di malam hari tanpa izin, membatasi ruang gerak usaha perempuan (LBH Apik Aceh, 2021). Di sisi lain, UMKM Aceh (1,2 juta unit) hanya 14% yang terdigitalisasi (Dinas Koperasi Aceh, 2023), kalah bersaing dengan platform e-commerce yang dikuasai pemodal besar. Seperti pion yang terancam skak, mereka tak bisa mundur ke sistem barter tradisional, tetapi juga sulit "promosi" tanpa akses ke fintech syariah yang inklusif.  


Nelayan dan Buruh Migran: Pion di Garis Depan Krisis Iklim dan Eksploitasi  


Aceh memiliki garis pantai terpanjang ke-5 di Indonesia, tetapi 60% nelayannya hidup di bawah garis kemiskinan (Dinas Kelautan Aceh, 2023). Perubahan iklim membuat musim tangkap tak menentu, sementara kapal asing ilegal masih merajalela di perairan Sabang. Mereka seperti pion yang terjebak di tengah papan: tak bisa mundur ke darat karena tak memiliki lahan, tetapi maju ke laut pun dihantam ombak krisis. Sementara itu, buruh migran Aceh (terutama perempuan) yang bekerja ke Malaysia dan Timur Tengah menjadi "pion" dalam permainan ekonomi global: 3.200 kasus kekerasan terhadap TKI Aceh tercatat sejak 2020 (BP3MI Aceh). Upah mereka mengalir ke Aceh (mencapai Rp 1,2 triliun/tahun), tetapi minim perlindungan negara.  


Kelas Menengah Muda: Antara Hijrah ke Kota dan Belenggu Pengangguran  


Generasi muda Aceh (60% populasi di bawah 30 tahun) terjepit dalam dilema. Angka pengangguran terbuka mencapai 8,1% (BPS Aceh, 2023), sementara daya serap industri lokal minim. Lulusan Dayah (pesantren) dan universitas terpaksa "maju" ke sektor informal: 34% bekerja sebagai ojek online atau pedagang kaki lima (Bappeda Aceh). Pendidikan tinggi, yang semestinya menjadi jalan promosi, justru menjadi beban: 70% mahasiswa Aceh mengakses pinjaman pendidikan dengan bunga tinggi (OJK Aceh). Mereka seperti pion yang terjebak di ujung papan tanpa kesempatan promosi.  


Mendesain Ulang Papan Catur Aceh: Otonomi yang Berpihak pada Pion 


Agar pion Aceh tak terus dikorbankan, diperlukan strategi berbasis kearifan lokal:  

1. *Reforma Agraria Ala Aceh*: Memperkuat Qanun No. 3/2019 tentang Pertanahan dengan redistribusi lahan korporasi sawit untuk petani, disertai sertifikat wakaf produktif.  

2. *Ekonomi Syariat yang Inklusif*: Mengoptimalkan Baitul Mal Aceh untuk pendanaan UMKM berbasis bagi hasil (mudharabah), bukan riba.  

3. *Perlindungan Nelayan Berbasis Adat Laot*: Merevitalisasi kelembagaan Panglima Laot sebagai penjaga kedaulatan maritim dan penengah konflik perikanan.  

4. *Kartu Prakerja Aceh*: Skema pelatihan berbasis kebutuhan lokal (pertanian organik, energi terbarukan) yang terintegrasi dengan Dayah dan kampus.  


Kesimpulan: Dari Pion Menuju Sultan


Aceh bukan sekadar papan catur tempat para pion bergerak lurus. Sejarah panjang sebagai kerajaan maritim dan pusat perdagangan rempah mengajarkan bahwa strategi terbaik adalah memampukan setiap bidak menjadi pemain. Dengan mengembalikan kedaulatan atas sumber daya alam, memberdayakan kelembagaan adat, dan menata ulang ekonomi syariat yang berkeadilan, Aceh bisa mengubah pion-pion yang terjepit menjadi ratu-ratu yang merajai permainan. Seperti pepatah Aceh: *"Beudéh that ureueng meugoe, hanjeut lé that ureueng meudagang"* (Banyak yang bisa berperang, tetapi tak semua bisa berdagang)—kini saatnya Aceh berdagang dengan strategi, bukan sekadar bertahan sebagai pion. ***


*Referensi*  

- BPS Aceh (2023), Data Kemiskinan dan Tenaga Kerja.  

- Qanun Aceh No. 3/2019 tentang Pertanahan.  

- WALHI Aceh (2023), Laporan Alih Fungsi Lahan.  

- LBH Apik Aceh (2021), Diskriminasi Perempuan Pedagang dalam Qanun Jinayat.