Ahmad Dimyati Ridwan Semester 2 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia Lentera24.com - Pendidikan Ag...
Lentera24.com - Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah memiliki peran sentral dalam membentuk akhlak, karakter, serta kepribadian siswa. Pendidikan ini bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan pemahaman intelektual terhadap ajaran Islam, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlakul karimah dalam perilaku sehari-hari.
Namun, dalam implementasinya di lapangan, pembelajaran dan asesmen PAI seringkali masih jauh dari tujuan ideal tersebut. Banyak pihak, mulai dari guru, siswa, hingga orang tua, cenderung memahami pendidikan agama hanya sebatas aspek kognitif: penguasaan materi, kemampuan menghafal, dan pencapaian nilai ujian. Padahal, keberhasilan pendidikan agama tidak dapat diukur hanya dari nilai angka semata.
Asesmen, sebagai bagian integral dari proses pembelajaran, semestinya dirancang untuk mengukur pencapaian kompetensi secara utuh, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sayangnya, asesmen PAI di banyak sekolah masih menghadapi berbagai kendala serius yang menghambat tercapainya tujuan pendidikan agama yang substantif.
Tulisan ini akan membahas realitas yang terjadi di lapangan terkait asesmen pembelajaran PAI di sekolah, mengidentifikasi berbagai permasalahan utama, serta menawarkan solusi konkret yang dapat diimplementasikan untuk memperbaiki kondisi ini.
A. Realitas Asesmen PAI di Sekolah
1. Dominasi Asesmen Berbasis Tes Tertulis
Realitas pertama yang paling mencolok adalah dominasi asesmen berbasis tes tertulis dalam pembelajaran PAI. Mayoritas evaluasi dilakukan melalui soal pilihan ganda, isian singkat, atau uraian. Model asesmen ini lebih menitikberatkan pada kemampuan mengingat dan memahami konsep, bukan pada penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata.
Sebagai contoh, siswa dapat dengan mudah menyebutkan lima rukun Islam, enam rukun iman, atau menghafal ayat-ayat pilihan, tetapi belum tentu menjalankan kewajiban shalat lima waktu dengan benar dan konsisten. Demikian pula, memahami definisi ikhlas secara teoritis tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan beramal secara ikhlas tanpa pamrih.
Tes tertulis memang penting untuk mengukur aspek kognitif, tetapi tidak cukup mewakili keseluruhan kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran PAI, yaitu internalisasi nilai dalam kehidupan nyata.
2. Minimnya Asesmen terhadap Aspek Afektif
Aspek afektif yang mencakup sikap, nilai, dan kebiasaan keagamaan sering kali luput dari perhatian dalam proses asesmen. Walaupun dokumen kurikulum menekankan pentingnya menilai sikap religius dan sosial, praktik di lapangan menunjukkan asesmen afektif kerap menjadi formalitas belaka.
Laporan nilai sikap siswa biasanya hanya didasarkan pada persepsi subjektif guru tanpa instrumen valid yang mendukung. Guru jarang menggunakan observasi sistematis, rubrik penilaian perilaku, atau jurnal refleksi siswa dalam mengevaluasi perkembangan sikap keagamaan siswa.
Sebagai akibatnya, banyak siswa yang terlihat baik dalam nilai akademis PAI, tetapi perilakunya dalam keseharian seperti kejujuran, tanggung jawab, dan rasa hormat tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang dipelajarinya.
3. Ketergantungan pada Nilai Akhir
Budaya pendidikan kita masih sangat berorientasi pada nilai akhir sebagai ukuran utama keberhasilan. Dalam konteks PAI, ini memunculkan kecenderungan pragmatis: siswa lebih fokus mengejar angka tinggi ketimbang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keislaman.
Misalnya, siswa bisa saja memperoleh nilai 90 dalam mata pelajaran agama, tetapi belum tentu mampu menunjukkan perilaku sopan, jujur, dan amanah di dalam dan di luar kelas. Guru pun kadang terjebak dalam pola pikir serupa, lebih mementingkan pencapaian angka daripada proses pembentukan karakter.
Dalam kondisi ini, makna sejati dari pendidikan agama menjadi tereduksi. Pendidikan agama tidak lagi dilihat sebagai sarana membangun insan kamil (manusia paripurna) yang beriman dan berakhlak mulia, melainkan hanya sebagai mata pelajaran biasa yang harus dilalui demi kelulusan.
4. Kurangnya Inovasi dalam Asesmen
Asesmen PAI di banyak sekolah masih monoton dan konservatif, jarang mengadopsi pendekatan baru yang lebih kreatif, partisipatif, dan kontekstual. Padahal, era digital dan penerapan Kurikulum Merdeka memberikan ruang luas untuk mengembangkan asesmen berbasis projek, performance task, dan asesmen otentik lainnya.
Saat ini, di tengah dinamika perubahan sosial dan teknologi, siswa membutuhkan metode asesmen yang menantang mereka untuk berpikir kritis, berkreasi, dan mengintegrasikan nilai agama dalam kehidupan nyata. Sayangnya, sebagian besar asesmen PAI masih berkutat pada cara-cara lama yang membosankan dan kurang relevan dengan tantangan zaman.
B. Solusi Pengembangan Asesmen PAI
1. Diversifikasi Bentuk Asesmen
Guru PAI perlu memperluas metode asesmen dengan berbagai pendekatan alternatif selain tes tertulis, seperti:
a). Praktik ibadah, yaitu melakukan observasi praktik wudhu, shalat, atau membaca Al-Qur'an.
b). Proyek keagamaan, yaitu siswa membuat proyek sosial, seperti kegiatan bakti sosial atau kampanye nilai kejujuran.
c). Studi kasus, yaitu siswa menganalisis situasi nyata dengan nilai-nilai Islam sebagai landasan penyelesaian masalah.
d). Presentasi dakwah, yaitu siswa menyampaikan ceramah singkat tentang tema keislaman yang aktual.
Diversifikasi asesmen akan membuat evaluasi pembelajaran PAI lebih komprehensif dan bermakna.
2. Penguatan Asesmen Afektif
Asesmen terhadap aspek afektif harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis data konkret. Guru dapat menggunakan:
a). Rubrik observasi sikap yang jelas kriterianya.
b). Jurnal refleksi yang diisi siswa secara rutin, mencatat pengalaman pengamalan nilai agama.
c). Penilaian teman sebaya (peer assessment) dan penilaian diri sendiri (self assessment) untuk meningkatkan kesadaran reflektif siswa.
d). Lembar observasi lintas mata pelajaran untuk memperkaya sumber data sikap siswa.
Selain itu, perlu juga ada pelatihan bagi guru agar lebih cakap dalam melakukan asesmen afektif yang valid dan reliabel.
3. Menggeser Orientasi dari Nilai Akhir ke Proses Pembelajaran
Paradigma asesmen perlu diubah, dari sekadar mengukur hasil (assessment of learning) menjadi mendukung proses belajar (assessment for learning). Untuk itu, guru dapat melalukan beberapa hal sebagai berikut.
a). Memberikan umpan balik formatif secara berkala agar siswa memahami kekuatan dan area pengembangan diri.
b). Menilai proses keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran agama, seperti diskusi, praktik ibadah, dan partisipasi sosial.
c). Mengembangkan portofolio belajar berisi catatan perjalanan spiritual siswa selama satu semester atau satu tahun ajaran.
Dengan mengutamakan proses, siswa lebih terdorong untuk benar-benar memahami dan menginternalisasi nilai-nilai agama.
4. Mendorong Inovasi Asesmen berbasis Projek dan Teknologi
Guru PAI harus lebih kreatif dan adaptif dalam mengembangkan asesmen berbasis projek nyata, misalnya:
a). Kampanye media sosial bertema akhlakul karimah.
b). Pembuatan video dakwah kreatif.
c). Simulasi kegiatan keagamaan seperti khutbah Jumat atau manasik haji mini.
d). Pementasan drama keislaman yang mengangkat tema moralitas.
e). Pembuatan infografis digital tentang prinsip-prinsip keislaman.
Penggunaan platform digital seperti Canva, TikTok Edu, YouTube Edu, atau Padlet juga bisa dimanfaatkan untuk membuat asesmen lebih menarik dan relevan bagi generasi Z.
C. Kesimpulan
Membangun asesmen PAI yang ideal bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan upaya terintegrasi antara guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, bahkan pembuat kebijakan. Asesmen PAI yang baik harus mampu mengukur tidak hanya aspek pengetahuan, tetapi juga sikap dan keterampilan keagamaan siswa dalam kehidupan nyata.
Jika asesmen hanya berorientasi pada angka, maka misi pendidikan Islam akan terdegradasi menjadi sekadar formalitas administratif. Sebaliknya, asesmen yang autentik dan inovatif akan menjadi katalisator bagi lahirnya generasi beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas karakter generasi mudanya. Karena itu, reformasi asesmen PAI di sekolah bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan keniscayaan moral yang harus diperjuangkan bersama. Mari kita kembalikan ruh pendidikan agama kepada hakikatnya: membentuk manusia yang mencintai kebenaran, keadilan, dan kebaikan, dengan iman yang kokoh dan akhlak yang luhur.