HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Sosialisasi Pengesahan Anak Di Luar Nikah Diundang Undang Perkawinan

Muhammad Aziez Azhiem Mahasiswa Semester 8 Fakultas Ilmu Hukum Universitas Pamulang Lentera24.com - Perkawinan merupakan suatu ikatan yang ...

Muhammad Aziez Azhiem Mahasiswa Semester 8 Fakultas Ilmu Hukum Universitas Pamulang


Lentera24.com - Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas, tampak bahwa suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dan arti dari perkawinan menjadi lebih dalam, karena selain melibatkan kedua keluarga juga lebih berarti untuk melanjutkan keturunan, keturunan merupakan hal penting dari gagasan melaksanakan perkawinan.


Menurut ketentuan Pasal 80 KUHPerdata, sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan di hadapan Pejabat Kantor Catatan Sipil. Dalam Pasal 81 KUH Perdata disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah perkawinan di hadapan Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian, apabila perkawinan hanya dilakukan secara agama dan tidak dilakukan di hadapan Pejabat Catatan Sipil, maka konsekuensi hukumnya dari berlakunya Pasal 80 jo 81 KUHPerdata di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata. Hubungan Perdata yang dimaksud adalah antara lain hubungan pewarisan antara suami dan istrinya dan/atau suami/ayah dengan anak-anaknya serta keluarganya, apabila di kemudian hari terdapat salah seorang yang meninggal dunia.


Perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan harus dicatat oleh petugas pencatat dengan maksud agar terjadi tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan. Terciptanya tertib administrasi kependudukan berarti menghindarkan kekacauan administrasi yang berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum seseorang.  


Kondisi perekonomian dan kurangnya pengetahuan hukum menimbulkan ketentuan di atas tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Khusus untuk perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pegawai pencatat. Atau adanya keinginan dari sang suami yang tidak mau terikat pada ketentuan Pasal 27 BW/KUHPerdata juncto Pasal 2 ayat (1) UUPA tentang syarat sahnya perkawinan. Hal tersebut dilakukan dengan cara melakukan perkawinan dengan cara menurut hukum Islam dan tidak mendaftarkan perkawinan tersebut ke Kantor Catatan Sipil yang berwenang. 


Nikah di bawah tangan atau perkawinan yang tidak tercatat, artinya secara material telah memenuhi ketentuan syari'at dan dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.  


Perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di hadapan Pak Kiyai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah. Perkawinan ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang - Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang - undangan yang berlaku Dalam kondisi tersebut, anak-anak yang dilahirkan dari perzinaan tentu saja akan menempatkan anak keturunan sebagai anak tidak sah secara materiil maupun formil. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. 


Sedangkan syarat sah perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan dalam ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang - undangan yang berlaku. Apabila suatu perkawinan tidak memenuhi kedua unsur sebagai mana diatur dalam pasal tersebut di atas, maka perkawinan dianggap tidak sah menurut hukum negara maupun hukum agama.


Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Tidak adanya akta kelahiran terhadap anak, maka negara mempunyai hambatan dalam memenuhi kepentingan administrasi anak, karena secara hukum tidak ada catatan tentang status kelahiran anak beserta data-data kedua orang tua yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. Jika terjadi perceraian, suami tidak lagi memberikan nafkah baik lahir maupun bathin, istri akan mengalami kesulitan untuk menggugat suaminya. Hal ini disebabkan tidak adanya bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan. Demikian juga mengenai anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan sangat sulit mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya.


Perkembangan teknologi dewasa ini berhasil melawan asumsi di atas, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar nikah ternyata dewasa ini dapat dibuktikan melalui teknologi yang ada. Maka MK mengubah pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang diubah menjadi "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya". 


Keputusan MK ini muncul terkait permohonan Machica Mochtar yang menikah siri dengan Moerdiono (mantan Mensesneg) pada 20 Desember 1993. Pernikahan ini membuahkan anak bernama M Iqbal Ramadhan. Pernikahan ini tidak berlangsung lama dan berakhir pada tahun 1998. Pada Juli 2008, keluarga besar Moerdiono mengadakan jumpa pers, yang isinya tidak mengakui Iqbal sebagai anak Moerdiono. Pada 2010, Machica berjuang lewat MK untuk mendapatkan pengakuan tentang status hukum anak Iqbal. 

Perjuangan Machicha berakhir dengan kemenangan dengan dikeluarkannya putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut.


Ketika pada tahun 1974 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, undang-undang ini dimaksudkan sebagai unifikasi di bidang hukum perkawinan di Indonesia. Unifikasi ini menurut Abdul Ghofur Anshori ditujukan untuk menghilangkan adanya pluralisme hukum perkawinan sebagai akibat kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang membedakan penduduk menjadi tiga golongan berikut hukum yang berlaku.5 Undang-undang Perkawinan tidak mengatur baik lembaga pengakuan anak maupun lembaga pengesahan anak luar kawin. 


Undang-undang Perkawinan dikenal mengatur perihal anak luar kawin secara amat singkat, hanya dalam satu (1) pasal saja yakni Pasal 43 UUP yang menyebutkan: (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini, kurang lebih 42 tahun berlalu, Peraturan Pemerintah sebagaimana dijanjikan akan diterbitkan berdasarkan bunyi ayat kedua Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan belum pernah diterbitkan. 


Kondisi ini menimbulkan persoalan secara hukum karena meskipun KUHPerdata masih berlaku, pada dasarnya KUHPerdata hanya berlaku bagi sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang merupakan keturunan mereka yang dahulu disebut golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa. Tidak berlakunya lagi ketentuan tentang penggolongan penduduk tidak menyebabkan semua norma hukum yang dahulu pada awal berlakunya dimaksudkan berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa diberlakukan bagi semua warganegara Indonesia. Konsekuensi logisnya, lembaga-lembaga dan ketentuan hukum lainnya dalam KUHPerdata, pada dasarnya hanya akan berlaku secara terbatas. Sementara Undang-Undang Perkawinan tidak atau belum mengatur lebih lanjut mengenai lembaga-lembaga guna “menolong” anak luar nikah.


Pengaturan lembaga pengakuan anak dan pengesahan anak luar kawin/nikah justru muncul dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan. Pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 49 dan pengesahan anak luar kawin diatur dalam Pasal 50. Undang-undang Administrasi dan Kependudukan ini hanya mengatur kewajiban melaporkan dan batas waktu pelaporan pengakuan anak dan pengesahan anak kepada pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Jadi, secara materi, Undang-undang Administrasi dan Kependudukan tidak mengatur lembaga pengakuan dan pengesahan anak luar kawin.


Ketika Undang-undang Administrasi dan Kependudukan tahun 2006 ini direvisi dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013, maka perubahannya justru “merugikan” anak luar kawin. Perubahan Pasal 49 terdapat pada ayat kedua, yang setelah direvisi berubah menjadi: 

“Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.”  


Perubahan Pasal 50 terdapat pada ayat (2) dan (3) serta penjelasan ayat (1), sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: (2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.


Adapun bunyi Penjelasan Pasal 50 ayat (1) berubah menjadi sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "pengesahan anak" merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara.


Mengenai kontradiksi antara Undang - Undang Adminduk di satu sisi dengan KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan di sisi yang lain, maka ini dapat diselesaikan di dalam sistem serta oleh sistem hukum itu sendiri. Dari segi sistem tata perundang-undangan di Indonesia, bila ketentuan hukum yang baru tidak mengatur, maka ketentuan hukum yang lama tetap berlaku. Hal ini untuk mengatasi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dengan menghubungkan waktu yang lampau dengan waktu sekarang. Menurut Sudikno Mertokusuma, inilah peranan Ketentuan Peralihan. Lazimnya ketentuan peralihan berbunyi: “apabila tidak ada ketentuannya, maka berlakulah peraturan yang lama”. 


Dengan demikian, berdasarkan KUHPerdata tetap berlaku sebagai hukum perdata materiil. Terhadap pertanyaan, bagi siapakah KUHPerdata saat ini berlaku? Saat ini pembedaan berdasarkan golongan kependudukan sebagaimana dikenal dalam Indische Staatsregeling tidak lagi berlaku. Pembedaan penduduk mengacu pada Undang-Undang Kewarganegaraan, yakni hanya dikenal Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warna Negara Asing (WNA). 


Berlakunya KUHPerdata bagi warga Negara Indonesia bukan berdasarkan asas pemberlakuan hukum, ataupun penundukan diri secara suka rela, namun lebih tepat berdasarkan pada pilihan hukum, karena dalam suasana Negara merdeka istilah pemberlakukan hukum atau menundukkan diri tidak tepat. Di sisi lain, KUHPerdata telah menjadi bagian dari tata hukum Indonesia sejak diberlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.***


DAFTAR PUSTAKA

Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, 

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1994,