HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Memaknai Banjir Bandang di Sumatera Barat Melalui Perspektif Filsafat

Nada Kayla Muhayang Semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Lentera24.com Awal Maret tahun 2024, Indonesia s...

Nada Kayla Muhayang
Semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya

Lentera24.com Awal Maret tahun 2024, Indonesia sudah diramaikan dengan adanya bencana alam di berbagai daerah salah satunya bencana alam banjir bandang di Pulau Sumatera, khususnya Sumatera Barat. Banjir bandang di Sumatera Barat dengan pusatnya berada di Pesisir Pantai Selatan terjadi pada Jumat 8 Maret 2024, mengakibatkan banyaknya korban yang terdampak. Banjir bandang ini diperkirakan penyebabnya karena cuaca ekstrem yang terjadi dengan probabilitas curah hujan sekitar 150-395 mm dalam 12 jam. Selain itu, berdasarkan hasil investigasi Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, telah terjadi alih fungsi lahan dan aktivitas illegal logging atau penebangan hutan liar. Hal ini dapat dilihat di kawasan Pesisir Pantai Selatan bahwa sekitar 20-30% hutan mengalami penggundulan.


Banjir bandang di kawasan Pesisir Pantai Selatan juga kerap terjadi dari tahun ke tahun, sebelumnya pada tahun 2022 dan 2023 bencana alam ini juga terjadi dan menimbulkan dampak yang sama, indikasi penyebabnya pun serupa, seperti adanya penebangan hutan atau illegal logging. Namun, adanya bencana yang kerap terjadi setiap tahun di kawasan yang sama membuat kita sebagai manusia berakal budi harus dapat mengkritisi dan meningkatkan awareness terkait apa sebenarnya sumber utama bencana banjir tersebut, karena permasalahan bisa saja bukan berasal dari teknis atau alam semata, tetapi adanya pemikiran manusia yang melewati batas dan memperlakukan alam menjadi kacau.  


Hal itu sejalan dengan pemikiran seorang filsuf dan ideolog Iran bernama Ali Syariati, ia menggambarkan adanya perubahan karakter atau kebiasaan manusia yang terkategori ke dalam pola pikir modernisme dan pengetahuan positivisme, yang mana manusia mengalami perubahan-perubahan sifat dasar seiring dengan berjalannya waktu. Ia memberikan contoh implementasi sebuah bom atom yang merupakan benda mati hanya akan bergerak jika melibatkan gerakan manusia, sedangkan manusia akan melakukan sesuatu yang berasal dari akal pikiran dan hati nurani. Sama halnya dengan banjir bandang yang terjadi di kawasan Pesisir Pantai Sumatera Barat, manusia terperangkap ke dalam pola pikir, tindakan, atau perilaku buruk yang mengacaukan alam sehingga mereka lupa akan esensi penciptaan manusia itu sendiri.


Berdasarkan hal itu, manusia hanya berfokus pada 2 konsep filsafat ilmu, yaitu ontologis dan epistemologis. Manusia dalam ontologis mengetahui adanya kebenaran atau apa yang sedang terjadi, dalam kasus ini manusia mengetahui adanya banjir bandang di Sumatera Barat dan kerap terjadi setiap tahun, hal ini menjadi fakta yang kita sebagai makhluk individu mengetahui. 


Sedangkan manusia dalam pemikiran epistemologis memperkirakan sumber permasalahan atau penyebab kompleks dari terjadinya sesuatu, dalam kasus ini dapat diketahui adanya banjir bandang tersebut berasal dari perbuatan illegal logging, manusia melakukan investigasi dan mencari validitas data terkait bagaimana curah hujan serta kegiatan manusia di kawasan tersebut. Namun, manusia melupakan adanya pemikiran aksiologis yang menjadi sumber etika, nilai, serta pola pikir baik atau buruk. Hal-hal tersebut menjadi dasar awal bagaimana manusia memiliki pengetahuan positivisme yang mengandalkan rasio dan fakta empiris sehingga menjadi dasar manusia membentuk mindset atau melibatkan alam bawah sadar dalam pemikirannya. 


Pemikiran yang melibatkan rasio akan menciptakan manusia yang tidak peduli pada sesama dan melupakan hakikatnya, manusia yang seperti itu tercipta karena adanya paradigma yang melupakan konsep aksiologis dalam kehidupan sehari-hari. Manusia dalam melakukan perbuatan merugikan yang mengakibatkan terjadinya bencana alam tentu saja melibatkan rasio dalam pemikirannya. Menurut Khrisna, seseorang yang melibatkan rasio cenderung memiliki sifat keras dan ia akan melihat segala hal yang ada tanpa hati.


Kerusakan alam biasanya terjadi disebabkan karena adanya 2 faktor, yaitu faktor ilmiah dan faktor perilaku manusia yang merugikan. Dalam bencana banjir bandang di kawasan Sumatra Barat ini, faktor campur tangan manusia menjadi salah satu penyebabnya. Hutan yang keberadaannya seharusnya dijaga, tetapi harus mengalami pembalakan liar akibat ulah manusia yang tidak berdasar. Maka dari itu, manusia sebagai makhluk hidup yang tinggal di bumi membutuhkan transformasi cara berpikir dan mengetahui esensi serta hakikat penciptaannya, di mana manusia harus mengubah cara pandang dalam memperlakukan alam dengan memikirkan nilai baik atau buruk. Bencana alam yang terjadi sebagai bentuk evaluasi manusia untuk selalu mengantisipasi serta memikirkan dampak dari apa yang ingin diperbuat.


Alam merupakan suatu bentuk ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya, dengan adanya bencana alam menjadi teguran kepada sesama manusia bahwa terkadang tindakan manusia berhasil dikalahkan oleh sifat egoisme, individualis, serta melebihi batas akal sehat. Selain itu, dalam menghadapi kondisi alam yang mengalami kerusakan dan menimbulkan korban, dibutuhkan rasa empati terhadap sesama manusia sebagai bentuk hidup bersama dan kondisi optimisme. Usaha dan keinginan manusia setelah dihadapi bencana alam dalam menstabilkan kondisi alam, menjaga, dan merawat apa yang ada menjadi satu komponen penting yang harus ditanamkan pada setiap makhluk individu. Gabriel Marcel, seorang filsuf Perancis menekankan intersubjektivitas atau yang dimaknai sebagai dasar cinta dalam hidup pada manusia yang melihat hidup sebagai sesuatu yang ekstrem. Menurutnya, kehidupan harus didasari atas adanya rasa kemanusiaan, empati, serta peduli kasih sehingga manusia mengetahui adanya batas-batas hidup untuk mencapai kehidupan yang seimbang dan tidak chaos. ***

Referensi:

Herlambang, P. (2019). Positivisme Dan Implikasinya Terhadap Ilmu Dan Penegakan Hukum. Indonesian State Law Review (ISLRev), 2(1), 336-342. https://doi.org/10.15294/islrev.v2i1.36187


Maharani, S. (2012). “Pandangan Gabriel Marcel tentang Manusia dalam Konteks Peristiwa Bencana Alam”. Jurnal Filsafat, 22(2), 92-94.

https://doi.o

rg/10.22146/jf.3076