HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kajian Ontologi Keberadaan Siksa Kubur berdasarkan Pengetahuan

Noor Cholis Hakim Mahasiswa  Semester 2  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  Program Studi: Psikologi  Universitas Brawi jaya Lentera24.c...

Noor Cholis Hakim Mahasiswa Semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi: Psikologi Universitas Brawijaya


Lentera24.com - Baru-baru ini industri perfilman Indonesia telah merilis sebuah karya bergenre horor psikologi yang memiliki judul fenomenal dan dekat dengan kehidupan manusia beragama, yakni Siksa Kubur. Film yang disutradarai oleh Joko Anwar ini telah ditonton sebanyak lebih dari 2 juta penonton per 17 April 2024. Mengusung premis tentang ketidakpercayaan tokoh utama terhadap adanya siksa kubur setelah pengalaman traumatis nya di masa lalu, menggiring fokus cerita ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan siksa kubur sebenarnya. Nah jika dikaji dari perspektif pengetahuan, sebenarnya bagaimana sih realitas siksa kubur itu?

Pengetahuan merupakan sejumlah informasi yang diperoleh manusia dan berkenaan dengan kegiatan tahu atau mengetahui. Hal tersebut mencakup segala kegiatan dengan cara dan sarana yang digunakan untuk memperoleh segala hasil Bentuk pengetahuan itu sendiri dibedakan menjadi dua yakni, pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) dan pengetahuan non-ilmiah. Bagaimana sih pengetahuan itu bisa terbentuk? Awal mula dari adanya pengetahuan berasal dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar manusia. Kemudian akan memantik terjadinya proses filsafat untuk mempertanyakan dimensi-dimensi yang menyusun terjadinya fenomena tersebut.

Dimensi dalam filsafat terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu:

Ontologi merupakan dimensi yang mempertanyakan sifat dan keberadaan realitas itu sendiri.

Epistemologi merupakan dimensi yang berkaitan dengan sumber, batasan, dan validitas pengetahuan.

Aksiologi merupakan dimensi yang membahas teori nilai atau moralitas.

Logika merupakan dimensi yang mencakup studi tentang pemikiran rasional.

Fenomena Siksa Kubur menurut Ontologi Pengetahuan Ilmiah atau Non-Ilmiah?

Pada dasarnya yang membedakan sebuah pengetahuan tergolong ilmiah atau non-ilmiah didasari oleh beberapa indikator. Pengetahuan disebut sebagai sebuah ilmu (ilmiah) apabila dapat didasarkan pada sebuah pengamatan, studi, dan percobaan, serta mampu dikaji secara empiris dan rasional. Maka dari itu, sebuah ilmu sudah pasti memuat pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu. Oleh sebab itu, terdapat pengetahuan yang digolongkan ke dalam non-ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah bersumber dari pengalaman pribadi, intuisi, dan indera yang tidak tahu dasar proses terjadinya.

Mengacu pada pertanyaan tentang realitas siksa kubur, maka fenomena ini dapat dikaji dengan dimensi filsafat yakni ontologi. Secara ontologi, pertanyaan tentang keberadaan siksa kubur atau fenomena kehidupan setelah kematian dari sudut pandang ilmu pengetahuan dapat menjadi kompleks karena sifat metafisik dan spiritual dari konsep tersebut. Ilmu pengetahuan, cenderung membatasi diri pada pengamatan, pengukuran, dan eksperimen yang dapat direproduksi secara konsisten.

Dalam konteks ontologis ilmu pengetahuan, ada beberapa pertimbangan terkait keberadaan siksa kubur:

Empiris dan Pengamatan

Ilmu pengetahuan secara tradisional didasarkan pada metodologi empiris, yang mengharuskan fenomena untuk dapat diamati, diukur, dan dijelaskan dengan cara yang objektif. Siksa kubur, sebagai fenomena metafisik atau spiritual, tidak dapat diamati atau diukur secara langsung dengan alat pengamatan atau eksperimen ilmiah.

Falsifiabilitas dan Verifikasi

Konsep siksa kubur sulit atau bahkan tidak mungkin diverifikasi atau difalsifikasi dalam kerangka metodologi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mengandalkan pada kemampuan untuk menguji hipotesis dan teori dengan data empiris yang dapat diverifikasi. Konsep siksa kubur, sebagai bagian dari keyakinan keagamaan, cenderung berada di luar batas-batas pengetahuan yang dapat diuji secara empiris.

Metafisika dan Keyakinan

Ontologi ilmu pengetahuan fokus pada pengetahuan tentang apa yang secara fisik ada di alam semesta ini. Konsep siksa kubur bertendensi menjadi bagian penting dari keyakinan keagamaan di berbagai tradisi, lebih masuk ke dalam ranah metafisika atau spiritualitas yang tidak termasuk dalam ruang lingkup studi ilmu pengetahuan konvensional.

Konsep siksa kubur, dalam kerangka ilmu pengetahuan, lebih merupakan objek pemikiran dalam domain agama dan filsafat ketimbang objek penelitian empiris yang dapat diuji secara ilmiah. Apabila dikaji dari sudut pandang pengetahuan non-ilmiah yang salah satu cabangnya adalah kebenaran agama, dapat dikatakan bahwa konsep siksa kubur mampu diperjelas pada kerangka non-ilmiah ini. Fenomena ini dijelaskan melalui beberapa dalil dalam Al-Quran yang merupakan bagian dari agama. 

Dijelaskan pada salah satu Hadits Riwayat Muslim tentang siksa kubur sebagaimana berikut:

Rasulullah SAW bersabda, "Ada dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku. Keduanya berkata: penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Aku pun menganggap keduanya tidak benar. Aku merasa tidak senang membenarkan perkataan keduanya, kemudian keduanya keluar. Kemudian Rasulullah SAW datang menemui ku dan aku berkata: Wahai Rasulullah, dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku, mereka meyakini bahwa penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Beliau menjawab: Mereka benar. Bahwa sesungguhnya penghuni kubur akan disiksa dengan siksaan yang bisa didengar oleh hewan ternak. Setelah itu aku lihat beliau selalu mohon perlindungan dari siksa kubur setiap shalat" (HR Muslim).

Dari dalil tersebut, perspektif agama telah membenarkan bahwa siksa kubur itu ada. Meskipun keberadaannya tidak dapat dibuktikan melalui pengamatan maupun observasi, tetapi berdasarkan agama, keberadaan siksa kubur telah dijamin adanya. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kajian ontologi terkait keberadaan siksa kubur dapat ditemukan melalui kerangka non-ilmiah dengan cabang agama. Hal ini menunjukkan implikasi bahwa sains dan agama dapat berjalan beriringan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena di dunia. Meskipun pada dasarnya kedua hal tersebut merupakan dua entitas yang berbeda, yakni sains sebagai sumber pengetahuan dan agama sebagai sumber nilai.***

Daftar Pustaka:

Anwar, Fuandy. (2016). Isyarat Ontologis Integrasi Ilmu Pengetahuan; Sebuah Kajian Filsafat terhadap Teks Hadits Siksa Kubur. Jurnal Menara Ilmu, 10(1), pp. 35-45.

Hidayatullah, S. (2019). Agama dan sains: sebuah kajian tentang relasi dan metodologi. Jurnal Filsafat, 29(1), pp. 102-133.

Octaviana, D. R., & Ramadhani, R. A. (2021). Hakikat Manusia: Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan (Science), Filsafat, dan Agama. Jurnal Tawadhu, 5(2), pp. 143-159.

Stamenkovic, P. (2023). Facts and Objectivity in Science. Interdisciplinary Science Reviews, 48(2), pp. 277-298.

Tamrin, A. (2019). Relasi Ilmu, Filsafat, dan Agama dalam Dimensi Filsafat Ilmu. SALAM; Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, 6(1), pp. 71-96.