HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Fenomena Sampah Mudik: Dibalik Hubungan Manusia dengan Alam

Jocelyn Aurelia Panjaitan Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya  Lentera24.com...

Jocelyn Aurelia Panjaitan Mahasiswi Semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya 


Lentera24.com - Hari raya lebaran menjadi momen yang telah dinanti banyak dari kita. Hampir sebagian warga Indonesia merayakannya dengan kembali ke kampung halaman untuk bertemu kerabat terdekat. Namun siapa sangka, dibalik kebahagiaan lebaran, lingkungan kita tidak merasakan kebahagiaan yang sama. Tradisi mudik ternyata selalu meningkatkan produksi timbunan sampah tiap tahunnya. Lantas apa yang menjadi penyebab di balik fenomena sampah mudik ini?


Mudik dan Sampah, Apa Hubungannya?

Mudik, kepanjangan dari mulih dilik yang artinya pulang sebentar, merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam menyambut hari raya seperti Idul Fitri. Masyarakat berbondong-bondong kembali ke kota asalnya untuk melepas kenang dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Bagaikan sungai yang mengalir, perjalanan mudik tidak hanya membawa kenangan indah namun juga membawa dampak buruk, salah satunya limbah sampah. 


Menurut survei yang dijalankan Kementerian Perhubungan, potensi pergerakan masyarakat selama Lebaran 2024 (Idul Fitri 1445 H) secara nasional mencapai 193,6 juta orang atau 71,7% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan sekitar 58 juta kilogram sampah tambahan akan timbul dalam rentang dua minggu arus mudik dan balik. Peningkatan mobilitas manusia memicu peningkatan volume sampah. Semakin banyak manusia yang bergerak, semakin banyak juga sampah yang mengiringinya. 


Mengkaji Fenomena Sampah Mudik dari Kacamata Filsafat

Lonjakan jumlah pemudik yang diiringi lonjakan volume sampah menimbulkan kekhawatiran. Masifnya mobilitas warga menjadi dalang dibaliknya, apa yang membuat manusia lekat dengan sampah? Apakah manusia kurang peduli dengan lingkungan? Adakah faktor penting dibalik kelalaian ini? Fenomena sampah mudik menimbulkan berbagai pertanyaan yang dapat dikaji melalui pola pikir filsafat. 


Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari kebenaran dari segala sesuatu. Mengapa filsafat selalu dikaitkan dengan pertanyaan? Satu jawaban adalah karena manusia selalu ingin mengerti dunia di sekitarnya (Bertens, 2018).


Filsafat mengkaji kebenaran secara kritis dan bertahap untuk menemukan sebab akibat dibaliknya. Menganalisa fenomena sampah mudik dari sudut pandang filsafat dapat menjelaskan peristiwa ini secara detail dan membantu kita mengambil penanganan yang logis.


Perspektif Ontologis: Lingkungan dan Interaksi Manusia

Dalam konteks ontologis, fenomena sampah mudik dapat dilihat sebagai refleksi dari hubungan antara manusia dengan lingkungan. Manusia tidak terpisah dari alam, keduanya memiliki keterkaitan dan saling memengaruhi. Setiap tindakan yang dilakukan manusia akan memengaruhi kondisi alam. Fenomena sampah mudik menyingkap realita sikap kita sebagai penghuni alam semesta.


Saat melakukan perjalanan jauh, terdapat berbagai aktivitas yang berpotensi menimbulkan sampah. Diantaranya konsumsi sementara, belanja berlebih dan perilaku konsumtif hingga maraknya penggunaan barang sekali pakai. Perilaku ini adalah cerminan pandangan manusia terhadap sampah saat melakukan perjalanan jauh. Ontologis mempertanyakan makna benda yang kita konsumsi, bawa maupun tinggalkan selama perjalanan. Pandangan yang menganggap enteng sampah mengakibatkan minimnya pengelolaan sampah.


Perspektif Epistemologis: Dibalik Fenomena Sampah Mudik 

Setelah memahami keberadaan fenomena sampah mudik, epistemologi membuka ruang untuk mempertanyakan bagaimana fenomena ini dibangun, dipertahankan atau bahkan dicegah. Bagaimana sampah mudik dilihat sebagai suatu hal nyata? Siapakah yang bertanggung jawab terhadap fenomena ini? Apakah memengaruhi kebijakan publik? 


Dari tahun ke tahun, sampah mudik bukanlah hal asing dan selalu diperkirakan terjadi. Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), selama dua minggu dilaksanakannya lebaran timbul tambahan sampah sekitar 35 juta kilogram di tahun 2022 dan sebanyak 49.520 ton di tahun 2023. Angka yang dikeluarkan SIPSN menyorot perhatian terhadap fenomena ini. 


Tren sampah mudik juga terlihat melalui penimbunan sampah di jalur yang dilalui pemudik khususnya rest area. Penumpukan sampah bekas makanan dan minuman juga menjadi rawan di daerah penyangga seperti terminal bus, stasiun kereta api hingga pelabuhan.


Sebagai pihak berwenang, pemerintah mengambil peran besar dalam menanggapi fenomena ini. Salah satu program yang dijalankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tahun 2018 adalah program “Mudik Minim Sampah”. Hingga kini program “Mudik Minim Sampah” masih terus dijalankan dan dikembangkan setiap tahunnya demi menekan produksi sampah di momen lebaran. KLHK juga mengeluarkan Surat Edaran Menteri KLHK Nomor 5 Tahun 2024 yang memberi tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah untuk mengendalikan sampah secara serius di Idul Fitri.


Epistemologis membantu kita melihat kebenaran baru mengenai sampah mudik, pemerintah sebagai otoriter ternyata mampu menyadari fenomena ini dan menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi. Namun epistemologis juga membawa kita ke pertanyaan penting, bagaimana pengetahuan baru tentang sampah mudik memengaruhi sikap dan antusiasme masyarakat?


Perspektif Aksiologis: Refleksi Nilai Kesadaran Masyarakat  

Kompleksitas dibalik fenomena sampah mudik mengevaluasi bagaimana tindakan yang kita ambil mencerminkan nilai yang kita anut. Fenomena ini bukan sebatas produk kelalaian manusia dalam membuang sampah saat mudik namun menjadi refleksi kebiasaan sehari - hari. Apakah selama ini kita sudah membuang sampah di tempatnya? Sudah peduli kah kalian dengan lingkungan yang ditinggali? Sejauh apa kita mampu peduli terhadap hal-hal sederhana?


Aksiologis mempertanyakan sejauh mana ilmu yang kita dapat memberi manfaat. Program dan kebijakan pemerintah dalam menangani sampah mudik menjadi pengetahuan baru bagi kita. Jika masyarakat memiliki kesadaran, saat ini angka produksi sampah pasti mengalami penurunan dan lingkungan menjadi lebih aman untuk ditempati. Kita telah disediakan akses terhadap berbagai ilmu yang dapat memberi manfaat, jangan sampai kemalasan dan ketidakpedulian menjadi penghambat untuk menyalurkannya. Bangun kesadaran untuk lingkungan hidup yang lebih baik.***

Daftar Pustaka

Bertens, K. (2018). Apa itu Filsafat? Dalam K. Bertens, J. Ohoitimur, & M. Dua (Eds.),   

Pengantar Filsafat (hlm. 29-60). Penerbit Kanisius.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2024, April 6). Program Mudik Minim Sampah Kini Terintegrasi Dengan Mudik Nasional [Siaran Pers]. https://www.menlhk.go.id/news/program-mudik-minim-sampah-kini-terintegrasi-dengan-mudik-nasional/

Mutiarasari, K. A. (2023, April 14). Apa Kepanjangan Mudik? Simak Pengertian dan Asal-usulnya. detikNews. https://news.detik.com/berita/d-6672985/apa-kepanjangan-mudik-simak-pengertian-dan-asal-usulnya

Puspa, A. (2024, April 12). Pemantauan Sampah saat Mudik Lebaran Jadi Tanggung Jawab Pemda. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/nusantara/664751/pemantauan-sampah-saat-

mudik-lebaran-jadi-tanggung-jawab-pemda