Laila Firda, Semester 2, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang Lentera24.com - Korupsi berasal dar...
Laila Firda, Semester 2, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang
Lentera24.com - Korupsi berasal dari Bahasa Latin Corrumpere yang berarti berarti busuk/rusak/menggoyahkan. Korupsi ini telah ada dari sejak zaman peradaban mesir kuno, Babilonia. Perilaku koruptif mencapai puncaknya sekitar tahun 1200 sebelum masehi yang dimana melibatkan para pejabat pemerintahan. Dikutip dari situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, korupsi merupakan fenomena sosial, politik dan ekonomi yang kompleks dan dapat mempengaruhi semua negara. Hampir semua negara berpotensi terdapat tindak korupsi, tidak terkecuali negara kita Indonesia.
Di Indonesia perilaku korupsi juga telah ada dan mengalami pasang surut sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Korupsi berlanjut pada masa Kolonial Belanda, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi.
Melihat dari sejarah korupsi di atas dan massif nya perilaku korupsi yang terus berkembang sampai dikategorikan sebagai Extraordinary Crime. Di era pandemi, korupsi semakin merajalela dengan adanya peluang yang semakin besar. Ditambah dengan banyaknya bantuan yang diberikan oleh pemerintah saat pandemi, menjadikan korupsi berpotensi tumbuh semakin cepat dan ganas.
Hal tersebut juga dapat dibuktikan dengan banyaknya pejabat negara yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat pandemi. Walaupun presiden telah memperingatkan bahwasanya hukuman dari tindak korupsi itu sangatlah berat, namun sampai saat ini tindak korupsi masih terus dilakukan. Terbesit dalam pikiran kita apakah korupsi merupakan budaya turun-temurun sejak dahulu?
Korupsi merupakan perbuatan busuk yang mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa antara lain yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional, meningkatkan angka kemiskinan, merusak mental dan budaya bangsa, serta mempengaruhi kualitas layanan publik. Apabila angka korupsi di suatu negara semakin tinggi, maka dapat dipastikan negara tersebut jauh dari kata sejahtera dan maju. Namun sebaliknya, apabila angka korupsi di suatu negara relatif rendah, maka dapat dipastikan negara tersebut menjadi sejahtera dan maju.
Perilaku korupsi bisa saja dianggap perbuatan yang wajar jika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi dan tidak ada kemauan untuk membangun sikap anti korupsi. Maka dari itu, pentingnya melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu langkah awal adalah dengan cara mengubah sudut pandang kita agar mempermudah kita untuk tidak melakukan tindak korupsi.
Korban dari tindak korupsi selalu acak. Setiap orang dapat berpotensi sebagai korban tindak korupsi. Pelaku mungkin ada disini, namun korban ada dimana-mana. Seseorang yang memiliki wewenang dapat lebih berpotensi melakukan tindak korupsi, tetapi hal ini juga tergantung dari niat dan pilihan atas dirinya sendiri. Kerugian yang ditimbulkan dari tindak korupsi dapat sangat mempengaruhi bangsa. Bahkan setelah kejadian tersebut berakhir, efek dari tindak korupsi akan terus tumbuh dikarenakan dapat memperlambat pertumbuhan negara, meningkatkan kemiskinan, dan mengurahi kesejahteraan negara dan isinya. Korupsi juga dapat dilakukan secara berkelompok. Contoh nyata dapat diambil dari kasus korupsi KTP elektronik. Pada saat penyidikan, kasus tersebut berhasil melibatkan sekitar 96 orang yang telah melalui 28 tahapan di 11 negara. Hal ini menunjukkan bahwa sistem korupsi lebih canggih diiringi dengan kemajuan zaman.
Ada gagasan yang beranggapan bahwa korupsi adalah budaya kita. Lantas apakah pantas jika korupsi dinobatkan sebagai budaya bangsa Indonesia? Meskipun korupsi telah dilakukan oleh banyak orang secara berulang kali dan dilakukan di bebarapa sektor dan bidang, tetapi korupsi tidak dapat disebut sebagai budaya bangsa Indonesia. Dengan mengubah sudut pandang kita bahwa korupsi bukanlah budaya bangsa Indonesia, maka persepsi bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak perlu dilestarikan sehingga tidak perlu berkembang lebih jauh lagi dan tidak terulang di bangsa Indonesia ini.
Menurut Mahfud MD, Korupsi Bukanlah Budaya Bangsa Indonesia dengan menyebutkan tiga alasan.
Pertama, budaya itu selalu berkaitan dengan kebaikan budi. Budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia yang tentu membuahkan perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Bahkan dalam tiga azimat revolusi yang dikemukakan oleh Bung Karno, bangsa Indonesia harus berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa. Apakah Bung Karno beranggapan bahwa bangsa Indonesia berkepribadian korupsi? Tentu saja tidak.
Kedua, apabila kita beranggapan dan percaya bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya, maka kita adalah bangsa yang pesimis dan takluk terhadap korupsi. Hal ini sama saja kita beranggapan bahwa korupsi adalah hal yang sangat biasa dan sangat sulit diberantas. Apakah dengan sikap seperti itu kita akan dapat memerangi korupsi? Jawabannya tentu saja tidak.
Ketiga, dalam perjalanan bangsa Indonesia di awal kemerdekaan, korupsi bisa diatasi atau diminimalisasikan melalui kebijakan-kebijakan politik. Pada awal kemerdekaan sampai menjelang tahun 1950, negara kita relatif mampu memerangi korupsi. Pada era tersebut, koruptor besar mudah diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sejatinya korupsi bukanlah budaya bangsa Indonesia, melainkan suatu penyakit yang dapat menggerogoti bangsa. Maka dari itu korupsi di Indonesia harus segera diberantas. Inilah saatnya untuk meningkatkan kesadaran terkait perang melawan korupsi di semua kalangan. Pemerintah harus senantiasa menyempurnakan tata kelola pemerintahan dan menutup ruang bagi aparat pemerintah dan para pejabat yang berkuasa untuk tidak melakukan tindak korupsi. Mari kita bersama-sama berkontribusi dengan cara menyumbang peran untuk memberantas korupsi dengan posisi masing-masing.***