HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Yayasan Geutanyoë Pertanyakan Irgensi Relokasi Pengungsi Rohingya Keluar Aceh

Lentera 24 .com | ACEH TIMUR --  Kordinator Kemanusiaan Yayasan Geutanyoe, Teuku Nasruddin, merasa ada yang ‘unik’ dengan kebijakan pemindah...

Lentera24.com | ACEH TIMUR -- Kordinator Kemanusiaan Yayasan Geutanyoe, Teuku Nasruddin, merasa ada yang ‘unik’ dengan kebijakan pemindahan pengungsi Rohingya keluar dari Aceh. Sejak dari 2009 sampai sekarang, kebijakan seperti ini terus saja dilakukan sekalipun dari segi fasilitas akomodasi yang telah dibangun oleh NGO Nasional dan Internasional sudah cukup memadai. 

“Saat fasilitas penampungan selesai dibangun, tiba-tiba ditimpali kebijakan yang mengeluarkan pengungsi keluar Aceh, menjadikan seluruh bangunan beserta fasilitas lainnya menjadi sia sia; padahal kita tahu itu dibangun dengan anggaran yang besar dari para donatur,” ujarnya menyayangkan.

Disisi lain, jika ditilik dari latar belakang penyelamatan ‘manusia boat asal Myanmar’ oleh masyarakat nelayan Aceh sejak 2009, termasuk juga budaya, makanan, dan kebiasaan hidup lainnya, umumnya hampir sama dengan masyarakat Aceh; tidak heran jika perlakuan masyarakat setempat terhadap para pengungsi Rohingya ini kemudian sangat manusiawi. 

“Bahkan setiap hari anak-anak Aceh ikut bermain bersama dengan anak-anak pengungsi di kamp, beberapa diantaranya berteman cukup dekat, ini bukti masyarakat Aceh memperlakukan pengungsi seperti saudaranya sendiri. Belum terhitung selama penanganan di Aceh tersebut berbagai organisasi kemanusiaan baik lokal maupun internasional saling bahu-membahu mengelola kamp,” timpalnya menambahkan.
 
Demi alasan mendasar diatas, Nasruddin pun merasa aneh, kenapa kemudian perlu ada kebijakan pemindahan  pengungsi Rohingya dari Aceh selama ini ke daerah lain? Padahal selama ini berbagai pujian telah datang, baik dari pemerintah sendiri maupun komunitas internasional menganggap penanganan pengungsi di Aceh sangat baik dan luar biasa.

Lebih lanjut, Nasruddin menanggapi alasan pemindahan karena di Aceh ‘tidak aman’ sehingga banyak pengungsi yang melarikan diri. “Ini menyakitkan hati masyarakat Aceh pasca-konflik yang masih sensitif dengan penggunaan istilah tersebut,” tegasnya. Ia kemudian menambahkan, siapa yang bisa menjamin begitu para pengungsi dibawa keluar dari Aceh mereka nantinya tidak akan melarikan diri kembali menuju Malaysia? Bukankah itu justru lebih dekat dengan jalur illegal yang sering digunakan para penyelundup manusia?

Agar kebijakan relokasi diatas tidak terkesan terburu-buru, Nasruddin, atas nama Yayasan Geutanyoë dengan ini meminta kepada pemerintah nasional maupun lembaga internasional untuk meninjau kembali kebijakan ini, setidaknya hingga seluruh perencanaan kebijakan penanganan pengungsi luar negeri dalam jangka panjang berhasil dibangun para pihak. 

“Kami khawatir, ini berakibat kurang baik untuk penyelamatan pengungsi kedepannya. Bisa saja masyarakat Aceh meminta pihak pemerintah maupun lembaga internasional untuk langsung membawa pengungsi keluar Aceh, karena khawatir kejadian serupa akan terulang kembali dan berdampak terhadap bantuan yang diberikan menjadi sia-sia akibat ditinggalkan begitu saja,” timpalnya.

Demi menyelesaikan dilema kemanusiaan ini, ia menyebutkan sebaiknya pemerintah Aceh (dan dengan persetujuan pemerintah pusat) mulai menetapkan sebuah lokasi tempat penampungan pengungsi secara berkelanjutan di Aceh, agar kedepan penanganan terhadap pengungsi tersebut dapat dilakukan secara sistematis dan efisien, sejak dari penyelamatan hingga keberangkatan ke negara ketiga (penampung akhir).

“Bukankah Ramadhan ini momen yang tepat untuk menetapkan sebuah reception centre atau pusat penanganan terpadu pengungsi asing di Aceh yang kebetulan secara geografis menjadi titik pertama yang dilihat para ‘manusia boat’ dari sisi barat Indonesia (Asia Selatan, Asia Tengah dan Timur Tengah). Alih-alih memindahkan mereka ke luar Aceh dan menghampakan seluruh capaian dan pengorbanan yang telah diberikan masyarakat, NGO, pemerintah setempat maupun donor,” simpulnya menutup wawancara.[] ***