Sekarang ini banyak kita lihat bahwa orangtua ditinggal oleh anaknya untuk pergi bekerja jauh dari kampung halaman, serta juga ada yang sete...
Sekarang ini banyak kita lihat bahwa orangtua ditinggal oleh anaknya untuk pergi bekerja jauh dari kampung halaman, serta juga ada yang setelah menikah pergi dari rumah dan tidak mau lagi mengurus orangtuanya. Hal itu menyebabkan orang tua menjadi sepi di rumah karena semua anak-anaknya pergi meninggalkannya. Itulah sebabnya terjadi sarang kosong. Tahukah kamu apa sarang kosong itu?
The empty nest diartikan sebagai sarang yang kosong, merupakan masalah khusus umumnya dialami perempuan pada usia pertengahan. The empty nest syndrome adalah suatu kondisi dimana perempuan menjadi depresi setelah anak terakhirnya menikah dan meninggalkan rumah. Ibarat sarang yang kini sudah kosong ditinggalkan anak-anak (Suardiman, 2016).
Sarang kosong ini bisa diartikan juga sebagai perasaan sepi, sedih, merasa sendiri di masa tua karena di tinggal oleh anak-anaknya. Dan juga bisa karena di tinggal oleh pasangannya. Dimana di masa tua yang seharusnya berkumpul dengan keluarga malah harus sendiri. Di masa tua hendaknya para anak-anak harus selalu ada untuk orang tuanya agar orang tua tidak merasa sepi.
Sarang kosong ini pada umumnya terjadi pada perempuan. Perempuan yang bagaimana? Perempuan yang tidak bekerja atau perempuan yang tinggal di rumah sebagai ibu dan istri. Biasanya ini terjadi ketika anak terakhirnya menikah dan meninggalkan rumah. Peristiwa sarang kosong ini membuat seorang ibu merasa sedih, sepi dan bahkan depresi karena di tinggal oleh anak-anaknya. Seorang ibu mengalami sepi juga di karenakan hilangnya tugas dan peran sebagai seorang ibu yang mengasuh anaknya.
Hilangnya tugas dan peran sebagai ibu menjadikan seorang ibu merasa sepi, sedih, dan kosong. Dalam waktu yang bersamaan seorang ibu juga mengalami penurunan fisik, termasuk di dalamnya menopause. Kondisi ini sering membawanya pada perasaan bahwa hidupnya tidak bermakna lagi. Ia merasa kehilangan makna. Hal ini sebenarnya wajar saja. Namun yang perlu di waspadai dan mendapat perhatian adalah jika “empty nest syndrome” ini kemudian berkembang menjadi perilaku dan prasangka negatif (Suardiman, 2016).
Hal ini terkait dengan menurunnya rasa percaya diri perempuan dengan hilang atau berkurangnya peran tradisional, utamanya sebagai ibu dan pengasuh anak. Namun demikian, sindrom ini masih diperdebatkan. Betulkah perempuan yang mengalaminya? Apakah ini hal yang muncul dalam stereotip berdasar jenis kelamin (sexist stereotypes)? Penelitian menyatakan bahwa sarang kosong (the empty nest) merupakan gangguan psikologis bagi sebagian perempuan. Perempuan yang mana? Biasanya bagi perempuan yang tinggal di rumah sebagai istri dan ibu (Suardiman, 2016).
Muncul pertanyaan di benak kita. Apakah sarang kosong hanya di alami perempuan saja? Tentu tidak. Laki-laki juga bisa mengalami sarang kosong apabila sudah pensiun dalam bekerja. Dan juga bisa terjadi karena di tinggal oleh pasangannya. Ayah yang setiap hari sibuk bekerja, di masa pensiun akan merasa sepi karena sudah tidak bekerja lagi. Di tambah lagi di tinggal oleh anak-anaknya yang sudah membentuk keluarga sendiri.
Dalam hal ini, peran anaklah yang berfungsi untuk memahami perasaan orangtuanya. Meski gejala sarang kosong ini cenderung terjadi pada perempuan. Namun, bukan berarti semua perempuan mengalami sarang kosong. Untuk itu, peran anak sangat di tuntut. Sebagai seorang anak seharusnya ada di masa tua orangtuanya, menemani dan merawat orangtuanya. Apabila jauh, hendaklah sering menghubungi baik itu di telpon maupun di lihat di waktu senggang. Karena orangtua tidak butuh materi dalam bentuk menyenangkan hatinya tapi kepedulian dan kasih sayang anaknya lah yang beliau butuhkan. []
Penulis :
Maysyarah
Mahasiswa Semester 3 dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat
Email : maysyarah2503@gmail.com
Foto : Ilustrasi |
Sarang kosong ini bisa diartikan juga sebagai perasaan sepi, sedih, merasa sendiri di masa tua karena di tinggal oleh anak-anaknya. Dan juga bisa karena di tinggal oleh pasangannya. Dimana di masa tua yang seharusnya berkumpul dengan keluarga malah harus sendiri. Di masa tua hendaknya para anak-anak harus selalu ada untuk orang tuanya agar orang tua tidak merasa sepi.
Sarang kosong ini pada umumnya terjadi pada perempuan. Perempuan yang bagaimana? Perempuan yang tidak bekerja atau perempuan yang tinggal di rumah sebagai ibu dan istri. Biasanya ini terjadi ketika anak terakhirnya menikah dan meninggalkan rumah. Peristiwa sarang kosong ini membuat seorang ibu merasa sedih, sepi dan bahkan depresi karena di tinggal oleh anak-anaknya. Seorang ibu mengalami sepi juga di karenakan hilangnya tugas dan peran sebagai seorang ibu yang mengasuh anaknya.
Hilangnya tugas dan peran sebagai ibu menjadikan seorang ibu merasa sepi, sedih, dan kosong. Dalam waktu yang bersamaan seorang ibu juga mengalami penurunan fisik, termasuk di dalamnya menopause. Kondisi ini sering membawanya pada perasaan bahwa hidupnya tidak bermakna lagi. Ia merasa kehilangan makna. Hal ini sebenarnya wajar saja. Namun yang perlu di waspadai dan mendapat perhatian adalah jika “empty nest syndrome” ini kemudian berkembang menjadi perilaku dan prasangka negatif (Suardiman, 2016).
Hal ini terkait dengan menurunnya rasa percaya diri perempuan dengan hilang atau berkurangnya peran tradisional, utamanya sebagai ibu dan pengasuh anak. Namun demikian, sindrom ini masih diperdebatkan. Betulkah perempuan yang mengalaminya? Apakah ini hal yang muncul dalam stereotip berdasar jenis kelamin (sexist stereotypes)? Penelitian menyatakan bahwa sarang kosong (the empty nest) merupakan gangguan psikologis bagi sebagian perempuan. Perempuan yang mana? Biasanya bagi perempuan yang tinggal di rumah sebagai istri dan ibu (Suardiman, 2016).
Muncul pertanyaan di benak kita. Apakah sarang kosong hanya di alami perempuan saja? Tentu tidak. Laki-laki juga bisa mengalami sarang kosong apabila sudah pensiun dalam bekerja. Dan juga bisa terjadi karena di tinggal oleh pasangannya. Ayah yang setiap hari sibuk bekerja, di masa pensiun akan merasa sepi karena sudah tidak bekerja lagi. Di tambah lagi di tinggal oleh anak-anaknya yang sudah membentuk keluarga sendiri.
Dalam hal ini, peran anaklah yang berfungsi untuk memahami perasaan orangtuanya. Meski gejala sarang kosong ini cenderung terjadi pada perempuan. Namun, bukan berarti semua perempuan mengalami sarang kosong. Untuk itu, peran anak sangat di tuntut. Sebagai seorang anak seharusnya ada di masa tua orangtuanya, menemani dan merawat orangtuanya. Apabila jauh, hendaklah sering menghubungi baik itu di telpon maupun di lihat di waktu senggang. Karena orangtua tidak butuh materi dalam bentuk menyenangkan hatinya tapi kepedulian dan kasih sayang anaknya lah yang beliau butuhkan. []
Penulis :
Maysyarah
Mahasiswa Semester 3 dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat
Email : maysyarah2503@gmail.com