Lentera 24.com | BANDA ACEH -- Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh Muhammad Reza Maulana, SH.CPL, Mahkamah Konstitusi melalui put...
Lentera24.com | BANDA ACEH -- Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh Muhammad Reza Maulana, SH.CPL, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 61/PUU-XV/2017, mengabulkan permohonan uji materil rakyat Aceh untuk sebahagian, namun apabila dirangkum secara keseluruhan dari beberapa putusan akan dapat terlihat bahwa MK serius mempertimbangkan seluruh aspek yuridis, sosiologis, historis dan demokratis. Jumat (12/1).
Lanjutnya, Seperti Putusan MK No. 61 Kautsar dan Tiyong, MK memutuskan" mengabulkan pasal 557 bertentangan dengan UUD, dan tidak mengabulkan Pasal 571 huruf d".
Pada putusan Tgk Muharuddin perkara Nomor 66, yang mewakili DPRA MK" mengabulkan Pasal 571 huruf d bertentangan dengan UUD dan tidak mengabulkan Pasal 557"
Walau putusan rekan-rekan KIP dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana putusan no.75 namun bentuk tidak diterimanya putusan oleh karena telah ada putusan No.61 dan 66 sehingga objek sengketa telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka objek yang juga ikut digugat oleh rekan-rekan KIP telah dikabulkan sebelumnya, sehingga MK menganggap tidak diterimanya permohonan pemohon karena "telah hilangnya objek" oleh karena pemberlakuan putusan 61 dan 66 berlaku sejak diucapkan diruang persidangan, imbuhnya.
Amar putusan yang menyatakan mengabulkan uji materil Pasal 557 dan pasal 571 UU 7/2017, dipandang putusan yang cukup fair yang diterbitkan MK, karena secara umum dapat dilihat bahwa sebenarnya yang bermasalah itu Pasal 557 dan 571 sebagai bentuk kekhususan dan keistimewaan Aceh yang dicabut secara keseluruhan, khususnya mengenai Pemilu itu ada di Pasal 571 huruf (d) yang serta merta membatalkan pasal-pasal dalam UUPA tanpa konsultasi.
Pertimbangan hukum MK cukup menarik, lugas dan tegas, sebagai contoh apa yang menjadi pertimbangan MK pada halaman 72 Putusan, MK menyatakan "maka beberapa aspek yang melekat dengan konteks kesejarahan itu harus tetap dihormati dan diberi tempat" pertimbangan ini kemudian membuat kuat UUPA yang lahir dari perdamaian Aceh kala itu.
Terlebih lagi MK juga menerbitkan argumentasi yang kiranya tidak mungkin dapat terlupakan oleh Sejarah Indonesia sebagaimana tersebut di dalam halaman 73 yaitu "Bagaimanapun tidak boleh dilupakan bahwa KIP Aceh dan Panwaslih Aceh merupakan lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan amanat UUPA yang merupakan turunan dari kesepakatan Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, kesepakatan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk undang-undang tersebut, in casu UUPA, harus dihormati, lebih-lebih oleh pembentuk undang-undang"
Pertimbangan yang demikian kiranya dapat menjadi pelajaran sejarah bagi Pembentuk UU di pusat sana, Aceh yang khusus dan istimewa tak boleh hanya coretan tinta semata, namun eksistensi dan pelaksanaan hukumnya haruslah nyata.
Kami juga mengapresiasi rekan-rekan yang berjuang di Jakarta sana terutama kepada DPRA, Kautsar dan Tiong, Anggota KIP Aceh dan teman-teman KIP Kabupaten/Kota yang menjadi pemohon dalam perkara ini.
Intinya, persoalan ini bukan hanya persoalan jumlah dan kuota serta mekanisme KIP saja, namun persolan menghargai sejarah dan melaksanakan hukum dan norma sesuai dengan kaidahnya.
Konsultasi itu penting, karena dapat meminimalisir kesewenang-wenangan pusat dan pihak-pihak yang tidak suka dengan Aceh dan UUPA.
Perbedaan hukum di Aceh adalah bentuk kebhinekaan yang menambah daftar kekayaan "berbeda-beda namun satu jua".
Semoga perkara ini menjadi pelajaran bagi Pusat agar kedepan tidak lagi bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan hukum yang telah dibuat, disepakati, dan disahkan untuk Aceh. kami akan terus mengawal proses Demokrasi ini, dan kiranya tidak akan terulang kembali dan Aceh akan tetap khusus dan Istimewa.tutupnya. [] L24-007
Lanjutnya, Seperti Putusan MK No. 61 Kautsar dan Tiyong, MK memutuskan" mengabulkan pasal 557 bertentangan dengan UUD, dan tidak mengabulkan Pasal 571 huruf d".
Pada putusan Tgk Muharuddin perkara Nomor 66, yang mewakili DPRA MK" mengabulkan Pasal 571 huruf d bertentangan dengan UUD dan tidak mengabulkan Pasal 557"
Walau putusan rekan-rekan KIP dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana putusan no.75 namun bentuk tidak diterimanya putusan oleh karena telah ada putusan No.61 dan 66 sehingga objek sengketa telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka objek yang juga ikut digugat oleh rekan-rekan KIP telah dikabulkan sebelumnya, sehingga MK menganggap tidak diterimanya permohonan pemohon karena "telah hilangnya objek" oleh karena pemberlakuan putusan 61 dan 66 berlaku sejak diucapkan diruang persidangan, imbuhnya.
Amar putusan yang menyatakan mengabulkan uji materil Pasal 557 dan pasal 571 UU 7/2017, dipandang putusan yang cukup fair yang diterbitkan MK, karena secara umum dapat dilihat bahwa sebenarnya yang bermasalah itu Pasal 557 dan 571 sebagai bentuk kekhususan dan keistimewaan Aceh yang dicabut secara keseluruhan, khususnya mengenai Pemilu itu ada di Pasal 571 huruf (d) yang serta merta membatalkan pasal-pasal dalam UUPA tanpa konsultasi.
Pertimbangan hukum MK cukup menarik, lugas dan tegas, sebagai contoh apa yang menjadi pertimbangan MK pada halaman 72 Putusan, MK menyatakan "maka beberapa aspek yang melekat dengan konteks kesejarahan itu harus tetap dihormati dan diberi tempat" pertimbangan ini kemudian membuat kuat UUPA yang lahir dari perdamaian Aceh kala itu.
Terlebih lagi MK juga menerbitkan argumentasi yang kiranya tidak mungkin dapat terlupakan oleh Sejarah Indonesia sebagaimana tersebut di dalam halaman 73 yaitu "Bagaimanapun tidak boleh dilupakan bahwa KIP Aceh dan Panwaslih Aceh merupakan lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan amanat UUPA yang merupakan turunan dari kesepakatan Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, kesepakatan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk undang-undang tersebut, in casu UUPA, harus dihormati, lebih-lebih oleh pembentuk undang-undang"
Pertimbangan yang demikian kiranya dapat menjadi pelajaran sejarah bagi Pembentuk UU di pusat sana, Aceh yang khusus dan istimewa tak boleh hanya coretan tinta semata, namun eksistensi dan pelaksanaan hukumnya haruslah nyata.
Kami juga mengapresiasi rekan-rekan yang berjuang di Jakarta sana terutama kepada DPRA, Kautsar dan Tiong, Anggota KIP Aceh dan teman-teman KIP Kabupaten/Kota yang menjadi pemohon dalam perkara ini.
Intinya, persoalan ini bukan hanya persoalan jumlah dan kuota serta mekanisme KIP saja, namun persolan menghargai sejarah dan melaksanakan hukum dan norma sesuai dengan kaidahnya.
Konsultasi itu penting, karena dapat meminimalisir kesewenang-wenangan pusat dan pihak-pihak yang tidak suka dengan Aceh dan UUPA.
Perbedaan hukum di Aceh adalah bentuk kebhinekaan yang menambah daftar kekayaan "berbeda-beda namun satu jua".
Semoga perkara ini menjadi pelajaran bagi Pusat agar kedepan tidak lagi bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan hukum yang telah dibuat, disepakati, dan disahkan untuk Aceh. kami akan terus mengawal proses Demokrasi ini, dan kiranya tidak akan terulang kembali dan Aceh akan tetap khusus dan Istimewa.tutupnya. [] L24-007