Syahzevianda/Ist Oleh : SYAHZEVIANDA Segar diingatan kita tentang sebuah kejadian sembilan tahun silam, ALLAH S.W.T. memberikan...
![]() |
Syahzevianda/Ist |
Oleh : SYAHZEVIANDA
Segar
diingatan kita tentang sebuah kejadian sembilan tahun silam, ALLAH S.W.T.
memberikan sebuah teguran di Tanah Rencong melalui bencana dahsyat yang
meluluhlantakkan sebagian wilayah di Aceh. Sebuah terjangan gelombang besar
menusuk Ibukota Provinsi Aceh khususnya, yang merenggut ribuan nyawa
saudara-saudara kita di Aceh ketika itu, tak sedikit dari mereka harus
kehilangan sanak keluarga, kerabat, bahkan harta benda sekalipun.
Tepatnya
pada tanggal 26 Desember 2006 ketika itu, Provinsi paling Barat Indonesia ini
sedang diuji kesabaran dan ketabahannya. Aceh yang menyita perhatian penghuni
bumi pertiwi bahkan dunia Internasional sekalipun dengan kejadian tersebut.
Sungguh menyedihkan memang, tak
terdengar lagi hiruk pikuk kehidupan sebuah Kota, yang ada hanya suara tangisan
dan sama sekali lumpuh dari aktifitas seperti sebelumnya, tapi kehendak-Nya
tidak ada satu pun yang dapat memprediksi untuk dielakkan apalagi sampai menepis
akan musibah tersebut. Isak tangis tak lagi terbendung kala itu, tak kuasa
menahan kesedihan atas kehilangan orang-orang tercintai, kalau harta benda
jangan ditanya.
Belum
lagi dengan luka konflik pertumpahan darah di Aceh yang belum terselesaikan
ketika itu, sungguh kesengsaraan sedang berada di pundak rakyat Aceh. Tentu
semua itu merupakan hikmah yang harus dipetik dibalik bencana Tsunami yang
terjadi, tak lama berselang ternyata masih terus datang sepercik rahmat
kebahagiaan dibalik tangisan dan kepiluan yang masih menyelimuti Aceh, dengan
ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang berarti telah
tercapainya perdamaian untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Pemerintah RI
dengan GAM yang Alhamdulillah sampai saat ini masih menyelimuti tubuh Aceh.
Betapa
tidak, dibalik musibah yang menghampiri, datang pula sebuah perdamaian yang
sangat diidam-idamkan oleh Rakyat yang sudah jenuh hidup dalam ketidaktenangan
akibat dari sebuah konflik. Satu luka telah sembuh, Minimal tidak terbeban dua
hal pedih sekaligus dengan ujian musibah Gelombang Tsunami tersebut. Ternyata
masih dibukakan keluangan pintu hati dan rasa iba yang muncul dari pihak-pihak
tertentu untuk menyelesaikan konflik di
Aceh yang telah telah bertahun-tahun lamanya darah di Aceh terus bertumpahan.
Rasa
syukur dipanjatkan pada ALLAH S.W.T. yang telah mendengar derita umat-Nya di
Aceh. Hari demi hari pun terus berlalu mengikuti arah jarum jam, pemulihan demi
pemulihan pun terus bergulir untuk menata harapan kembali menjadikan kota yang
porak-poranda diterjang gelombang besar itu. Seperti tidak mungkin rasanya,
dalam kurun waktu yang belum mencapai satu dekade, jantung kota Aceh ini dapat
mengembalikan wajah barunya seperti sedia kala, jika dilihat dari tingkat
kerusakannya yang hampir cenderung rusak total, baik sarana dan prasarana,
fasiltas-fasilitas sosial dan lainnya, tetapi ini murni terjadi.
Alhamdulillah,
berkat do'a kita bersama, Aceh perlahan mulai bangkit dari keterpurukan yang
seolah tidak ingin terus dihantui rasa kesedihan dan kepedihan walau sebenarnya
tangis itu masih membekas dihati rakyat Aceh khusunya ketika itu. Perlahan
mulai bangkit, banyak faktor yang mempengaruhi yang berlandaskan keinginan yang
kuat. Kepedulian-kepedulian terus membanjiri pasca kejadian tersebut, terus
berdatangan para pendonor yang mengulurkan tangannya untuk Aceh kala itu, baik
Saudara kita di Aceh, di Tanah Air, bahkan Dunia Internasional sekalipun
berusaha menghapuskan kesedihan-kesedihan. Bantuan-bantuan kemanusiaan terus
menghampiri dari berbagai penjuru, secara manusiawi tidak ada sepasang mata pun
yang tak tersentuh hatinya ketika melihat wajah Aceh kala itu.
Dasar
keibaan itulah yang mendorong untuk menutup lembaran cerita tangis dan menjadi
wajah barunya seperti sekarang ini, sekilas terlihat semacam tidak terjadi
bencana besar pada sembilan tahun silam jika dibanding saat ini.
Tidak
hanya itu, usaha demi usaha juga dilakukan untuk memulihkan kembali semangat,
jiwa dan mental para korban yang selamat dari musibah tersebut untuk tidak
larut terus-menerus dalam kesedihan atas kehilangan orang-orang yang mereka
cintai, harus berlapang dada memang ketika kehilangan apa yang mereka miliki
dalam hitungan jam saja dan langsung sirna seketika. Walau sekarang mereka
sudah dapat tersenyum kembali, namun tetap saja tidak lekang diingatan
saudara-saudara kita yang mengalaminya, dan orang-orang yang mereka cinta juga
tetap tidak bisa bersama mereka lagi.
Pada
momentum peringatan sembilan tahun terjadinya musibah Tsunami tepatnya
ditanggal 26 Desember 2013 ini, menjadi i'tibar bagi kita semua . Kita kaji
kembali hikmah apa yang didapat dari kejadian tersebut setelah sembilan tahun
berlalu, apakah Aceh saat ini melalui teguran musibah tsunami tersebut mampu
berubah menuju kearah yang lebih baik atau malah sebaliknya?
Jawaban
atas penilaian itu ada pada diri kita masing-masing, apakah mengalami kemajuan
atau kemunduran dari segi moralitas, agama, bahkan dari segi kemanusiaan di
Aceh. Akankah dengan teguran seperti itu tidak dijadikan cerminan bagi kita
untuk memahami prilaku apa yang kita perbuat sebelum Allah mendatangkan bencana
Tsunami 2004 tersebut. Harusnya kita menyadari bahwa dengan teguran seperti
itulah yang membuat kita sadar akan apa yang telah kita lakukan.
Konon
katanya, Aceh masih menyandang julukan Bumi
Serambi Mekkah, tapi apakah sampai saat ini kondisi realita dari berbagai
pandangan kehidupan kita sudah yang
sepantasnya menyandang julukan tersebut? Tentu semua kita tak ingin dikatakan
sebagai seorang yang munafik. Lumrah saja, sebagai seorang yang mempunyai akal
dan pikiran yang sehat, sontak akan marah ketika orang lain mengatakan diri
kita sebagai seorang yang munafik. Tapi, dari sisi lain kita hendaknya mencari
tau mengapa orang tersebut berkata demikian.
Bersama,
mari kita menengadahkan tangan kita, hanya do'a yang patut kita hadiahkan untuk
saudara-saudara kita yang telah tiada akibat
musibah Gelombang Tsunami 26 Desember 2004 lalu. Kita jadikan peringatan
sembilan tahun Musibah Tsunami di Aceh sebagai momentum yang tepat untuk
menatap Aceh kedepan menjadi Aceh yang bermartabat ke arah keberkahan dan
ridhai ALLAH S.W.T., dan terus sanggup mempertahankan nilai-nilai keistimewaan
yang dimiliki Aceh sebagaimana telah diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 44
Tanun 1999.