Foto; Rico Fahrizal/STC Oleh : Rico Fahrizal B ingkai adalah suatu bentuk yang sengaja dibuat untuk memperindah sebuah lukisa...
![]() |
Foto; Rico Fahrizal/STC |
Oleh : Rico Fahrizal
Bingkai adalah suatu bentuk yang sengaja dibuat untuk memperindah sebuah lukisan supaya tampak indah dalam bentuk sempurna. Ditulisan yang mengambil referensi dari berbagai sumber ini, bingkai dapat diambil sebagai sebuah istilah dalam kehidupan yang dapat diartikan sebagai batasan atau juga lingkaran normatif.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara berbingkai dengan sebuah konstitusi (UUD 1945-red). Dari Undang Undang Dasar ini pula menjadi acuan segala arah kebijakan pemimpin, dan atas berdasarkan itu pula seluruh warga negara wajib taat untuk menghormati segala ketentuan yang tersurat dan tersirat.
Menjelang pemilihan umum legeslatif pada 09 April 2014 yang telah ditetapkan. Terlihat sangat jelas seringnya terjadi ketidak patuhan, padahal semua tatanan telah diatur sebagai batasan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan kampanye. Terutama para kompetitor (calon legeslatif-red) yang terkesan menghalalkan segala cara untuk menuju gedung parlemen. Ironisnya, para calon legeslatif cenderung dengan sengaja atau tidak sengaja melanggar batasan batasan yang sudah diatur konstitusi.
Seharusnya para caleg maupun konstituen atau warga yang punya hak pilih, berfikir jernih dalam pemilihan umum (pemilu) agar berkampanye sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Menuju gedung parlemen untuk menjadi wakil rakyat, memang merupakan hak seluruh warga negara yang telah memenuhi persyaratan.
Akan tetapi perlu sama sama diingat, bahwa gedung wakil rakyat yang megah itu bukanlah tempat mencari sumber rezeki atau merubah nasib. Akan tetapi, digedung legeslatif yang megah itu adalah tempat sebuah pengabdian dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara disetiap tingkatan pemerintahan di republik ini.
Seluruh warga negara di republik ini sebenarnya, harus “Pandai Merasa” bukan malah sebaliknya, seolah olah “Merasa Pandai”. Dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang kita cintai ini, disadari atau tidak seorang caleg nantinya akan mengemban sebuah tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat yang diamanatkan masyarakat pemilih dari daerah asal pemilihannya.
Tanggung jawab yang telah dibebankan itu, tetap harus dijalankan dengan segala kemampuan. Dan apabila, beban tugas untuk menyalurkan aspirasi rakyat tidak dapat dijalankan secara benar, jujur dan adil, maka hujatan dan cemoohan telah menunggu. Masyarakat pemilih juga diharuskan berfikir jernih, sebagai warga negara yang baik harus turut serta berpartisipasi secara benar dalam pemilihan umum dan hal ini sudah merupakan kewajiban menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legeslatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang.
Perlu diingat, lima menit meluangkan waktu untuk melaksanakan pemilihan sangat berguna dengan kata lain “Satu suara anda untuk menentukan kelangsungan pemerintahan lima tahun”. Kelangsungan pemerintahan kedepan sangat diperlukan kecerdasan dan ketelitian untuk memilih, pantas atau tidak pantas seseorang itu menjadi wakil rakyat di DPR kabupaten/kota, DPR propinsi, DPR RI serta DPD adalah merupakan hak dan kedaulatan individu seorang pemilih.
Tak terlepas dari hal itu, pemilu legeslatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden adalah kompetisi memperebutkan suara rakyat untuk mendapatkan jabatan politik. Sebagai sebuah kompetisi, pemilu harus diselenggarakan oleh lembaga yang kredibel di mata rakyat maupun peserta. Lembaga penyelenggara pemilu harus independen atas semua kepentingan, agar keputusan yang diambilnya semata-mata demi menjaga kemurnian suara rakyat.
Tidak dapat disangkal lagi, pemilu adalah perhelatan politik yang kompleks untuk mengkonversi suara rakyat menjadi kursi, sehingga penyelenggara pemilu harus terdiri dari orang-orang profesional dengan mendapatkan gaji cukup, memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, serta mentaati kode etik.
Standar internasional pemilu demokratis menuntut adanya jaminan hukum, bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus bisa bekerja independen dan profesional. Independensi penyelenggara pemilu merupakan hal penting, karena penyelenggara pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.
Sejarah mencatat, pemilu 2009 akan dikenang sebagai pemilu terburuk pasca Orde Baru. Setelah pemilu selesai, tidak ada yang bisa menolak hasilnya, tetapi legetimasinya selalu dipertanyakan karena banyak pemilih yang tidak bisa memilih. Berangkat dari pengalaman pedih yang memilukan banyak pihak itu, kini KPU atau KIP khusus Aceh berbenah dengan merespon proses verifikasi administrasi dan faktual yang dilakukan terhadap partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014.
Dalam konteks keterbukaan dan konsistensi, publik menuntut KPU/KIP untuk lebih terbuka dan konsisten dalam melaksanakan semua tahapan Pemilu sesuai amanat Undang-Undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Hingga memasuki tahapan masa kampanye terbatas Parpol peserta Pemilu 2014, sebaiknya lebih terbuka kepada publik khususnya dalam memberikan akses informasi terkait apa, bagaimana dan mengapa KPU/KIP mengeluarkan sebuah kebijakan.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU/KIP dituntut harus mendorong desain pengawasan dari Bawaslu dengan menempatkan satu panitia pengawas pemilu (Panwaslu) di setiap satu tempat pemungutan suara (TPS). Sehingga, proses penghitungan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di daerah dapat diawasi secara langsung untuk mencegah praktik transaksi jual beli suara.
Tentunya seluruh perangkat yang menuju arah konstitusional berharap, kesolidan KPU dan Bawaslu juga merupakan variabel penting lainnya agar semua proses pelaksanaan tahapan Pemilu 2014 dapat berjalan dengan baik dan hasilnya pun optimal untuk kepentingan rakyat Indonesia, karena kunci pelaksanaan Pemilu 2014 akan jujur dan adil atau tidak, berada pada penyelenggara pemilu yaitu KPU/KIP.
Sesuai amanat konstitusi, adanya upaya pembentukan prosesi demokrasi sejati. Sebagai sebuah negara berbentuk kesatuan dalam tatanan pemerintahannya, Indonesia menganut suatu paham yang disebut dengan Demokrasi. Di dalam paham demokrasi, rakyat diberikan kebebasan untuk berfikir dan bersuara, akan tetapi bersamaan dengan itu pula dilarang untuk berbuat sewenang-wenang terhadap pemerintah. Namun, apa yang dirasakan oleh rakyat Indonesia hingga kini, timbul sebuah pertanyaan mengenai “bagaimanakah prosesi demokrasi sejati itu?”.
Di dalam prosesi demokrasi, rambu-rambu yang senantiasa harus diperhatikan dan di patuhi adalah eksistensi hukum positif yang menjelmakan dirinya sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena pada esensinya hukum merupakan suatu peraturan yang digunakan untuk mengatur seluruh bidang di dalam kehidupan suatu negara, maka eksistensinya menjadi suatu instrumen vital guna penegakan pilar-pilar demokrasi.
Meskipun hukum positif di Indonesia sudah difasilitasi dengan sifat yang memaksa, akan tetapi pada lapangan praktisnya masih banyak individu yang tidak mematuhi dan mentaatinya. Lantas bagaimanakah dapat mencapai demokrasi konstitusional …???... Namun apabila kesadaran hukum sudah terpenuhi, maka hukum akan selalu dijunjung tinggi dan kedudukannya senantiasa akan berada pada puncak klimaksnya, mengingat hukum merupakan instrumen utama yang mengatur segala bidang di dalam roda operasional sebuah negara.
Harus selalu sama sama diingat, guna mencapai titik konsentrasi sebuah sistem demokrasi yang layak menyandang gelar sejati, seluruh elemen penduduk Indonesia, baik para elite politik maupun penduduk sipil yang selama ini selalu menggembar-gemborkan keinginan akan ketegakan demokrasi sejati agar di sela penggunaan hak-haknya, senantiasa memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya secara bijaksana supaya terkesampingkan segala bentuk perbuatan curiga mencurigai dan tuduh menuduh antar satu sama lainnya yang dapat menghambat proses pencapaian demokrasi positif yang dapat merintangi lajunya kesejahteraan bangsa.
Bangunlah putra putri ibu pertiwi, setelah itu kita berjanji tadi pagi, esok hari atau lusa nanti bahwa “Garuda” bukan burung Perkutut, “Sang Saka” bukan sandang pembalut dan sama sama dengarkan “Pancasila” itu bukanlah rumus kode buntut yang hanya berisi harapan dan hanya berisi khayalan. Akhirnya, mari kita seluruh segenap bangsa Indonesia, angkat kembali harkat dan martabat dari keterpurukan yang membelenggu agar menjadi indah dalam bingkai NKRI. Tunjukkan pada “Dunia” bahwa sesungguhnya kita mampu…! (***)
Penulis adalah Wakil Pemimpin
Redaksi Media Online “suaratamiang.com”
(STC)