Suara-Tamiang.com | Setiap kota dimana saja tentu tidak statis, tapi dinamis dan terus mengikuti perkembangan dan tuntutan jaman. Dengan ...

Di kota Kuala Simpang khususnya dan kabupaten Aceh Tamiang pada umumnya sebenarnya pada waktu lalu banyak terdapat bangunan tua yang memiliki nilai sejarah tinggi yang perlu dilestarikan. Namun akibat kemajuan jaman tersebut, sebahagian besar dari peninggalan sejarah itu telah punah tergilas oleh modernisasi itu. Kendati demikian masih ada juga sebahagian yang bertahan dan masih tersisa. Bangunan-bangunan itu meski kurang terawat, namun hingga ini bukti sejarah itu masih berdiri kokoh ditengah kemajuan jaman yang menerpanya.
Diantara bangunan yang mengandung nilai sejarah tinggi tersebut, yang masih bertahan dan tidak lapuk dimakan masa adalah Istana Benua Raja yang terletak di desa Benua Raja Kecamatan Rantau, Istana Karang yang terletak di desa Tanjung Karang kecamatan Karang Baru, Istana Bendahara di desa Sungai Iyu , Istana Kerajaan Seruway dan Kelenteng Cina di desa Pekan Seruway, kecamatan Seruway serta Kantor Wedana serta Makam Pahlawan Motor Tank di kota Kuala Simpang.
Apabila semua bangunan-bangunan yang bersejarah tersebut betul –betul terjaga dan terawat serta dikelola dengan baik tentunya bangunan yang mempunyai nilai seni tinggi ini bisa dijadikan objek wisata budaya yang mampu menarik minat wisatawan baik lokal, domistik maupun manca negara untuk mengunjunginya sehingga bisa meningkatkan PAD bagi daerah tersebut yang pada gilirannya akan dapat menambah pendapatan masyarakat setempat.
Kota Kuala Simpang sebagai pusat perdagangan di kabupaten Aceh Tamiang dan sekaligus sebagai kota transit di provinsi Aceh yang berada di Pintu Gerbang Aceh, seharusnya terus berbenah diri untuk mengimbangi kemajuan jaman yang serba modern tersebut. Sehingga dapat mendukung kemajuan disektor ekonomi demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Namun hal ini kelihatannya tidak seperti yang diharapkan, Pemkab Aceh Tamiang tidak mampu membenahi kota kecil ini menjadi lebih bagus dari sebelumnya.
Apalagi setelah Aceh Tamiang menjadi kabupaten, dengan pertambahan penduduk dan seiring meningkatnya aktifitas perekonomian dimana ratusan tumbuh yang menggelar dagangan hingga kebadan jalan sehingga kota Kuala Simpang menjadi semakin sempit. Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka Pemkab Aceh Tamiang harus melakukan terobosan dengan melakukan pelebaran kota dengan memasukkan beberapa desa tetangga ke dalam wilayah kota.
Dengan semakin tingginya aktifitas perekonomian dan bertambahnya pedagang tersebut, sementara luas lahan tidak bertambah, maka Pemerintah akan mengalami kesulitan dalam melakukan penataan kota sehingga terkesan sangat semraut dan jorok. Padahal kota Kuala Simpang dari sejak dulu kota Kuala Simpang cukup dikenal, bahkan orang-orang lebih mengenal kota Kuala Simpang dibandingkan Aceh Tamiang. Saking semraut dan centang prenangnya kota Kuala Simpang sempat dijuluki sebagai koboy dan kota tak bertuan.
Betapa tidak, mulai dari pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan disembarangan tempat, ditambah dengan kondisi perparkiran baik sepeda motor, becak mesin dan kenderaan roda empat yang centang prenang dan menumpuknya sampah dimana-mana membuat kota Kuala Simpang pantas mendapat predikat kota koboy dan kota tidak bertuan tersebut.Oleh sebab itu, kota Kuala Simpang sebagai icon Aceh Tamiang perlu terus dibenahi dan ditata sedemikian rupa sehingga kota paling timur provinsi Aceh ini dapat dijadikan sebagai contoh dan cerminan bagi kota-kota lain di Aceh. Namun apa yang terjadi, dari dulu hingga kini perkembangan pembangunan kota Kuala Simpang bisa dikatakan masih berjalan ditempat. Pembangunan drainase dalam kota tidak maksimal sehingga apabila hujan banyak ruas jalan yang tergenang air.
Diakui sejak dahulu hingga sekarang kota Kuala Simpang relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan, ruas- ruas jalan dalam kota masih biasa-biasa saja, kecuali bertambahnya bangunan toko disisi jalan dalam kota dari bangunan kuno yang dibangun pada masa kolonial Belanda menjadi bangunan yang menjulang tinggi yang sebahagian besar berfungsi sebagai penangkar sarang burung walet ilegal yang tidak memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).(bersambung) | Rakyat Aceh