Ilustrasi suara-tamiang.com | Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mendesak Gubernur Aceh melarang upaya penggusuran yang akan dila...
Ilustrasi |
suara-tamiang.com | Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
mendesak Gubernur Aceh melarang upaya penggusuran yang akan dilakukan
oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Rapala, yang membeli lahan
HGU dari PT Parasawita di Kampong Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan
Bendahara, Aceh Tamiang.
Informasi ini didapat
setelah perwakilan masyarakat korban melapor Senin (17/12) tentang
perkara sengketa/ konflik tanah antara masyarakat dengan PT Rapala asal
Medan.
Menurut perwakilan masyarakat, pada Jumat, 14 Desember 2012, masyarakat korban telah mengadakan musyawarah desa untuk membahas perintah PT Rapala yang meminta masyarakat dalam waktu empat hari agar mengosongkan rumah sebagai tempat tinggal mereka selama ini karena rumah itu masuk dalam areal hak guna usaha (HGU) Parasawita yang telah dijual kepada Rapala.
Dalam musyawarah itu, masyarakat menolak dengan alasan akan banyak persoalan sosial yang timbul jika mereka harus keluar dari rumah yang didiami selama ini. Seperti persoalan lahan tempat tinggal, lahan pertanian, rumah, pekerjaan, dan lain-lain.
Berdasarkan keterangan masyarakat, Kampong Perkebunan Sungai Iyu adalah desa yang berdiri sendiri di Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, dengan jumlah penduduk 64 kepala keluarga (KK), dengan rincian laki-laki 136 jiwa, perempuan 113 jiwa.
"Bayangkan, dengan jumlah 249 jiwa yang terdapat di kampong ini, ke mana mereka harus menggantungkan hidupnya kalau mereka harus tergusur dari desanya sendiri," ungkap Mustiqal, advokat publik di LBH Banda Aceh, dalam siaran pers yang diterima Analisa, Kamis (20/12).
Upaya penggusuran paksa ini, menurutnya, merupakan tindakan yang melanggar prinsip hukum dan hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang (UU) No 39/1999 tentang HAM dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, tegas dilarang tindak penggusuran paksa kepada masyarakat atas dasar apapun.
LBH Banda Aceh sendiri telah mendampingi perwakilan masyarakat korban, Nasir, dan Heru, untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM ini ke Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Selasa (18/12).
"Kami berharap Komnas HAM Perwakilan Aceh menindaklanjuti laporan ini dengan menurunkan tim investigasi ke lokasi," pinta nasir dan Heru.
Mustiqal juga mendesak Gubernur Aceh untuk mengambil tindakan tegas berdasarkan kewenangannya selaku untuk melindungi warganya dari tindakan pelanggaran HAM ini. | Sumber : analisa
Menurut perwakilan masyarakat, pada Jumat, 14 Desember 2012, masyarakat korban telah mengadakan musyawarah desa untuk membahas perintah PT Rapala yang meminta masyarakat dalam waktu empat hari agar mengosongkan rumah sebagai tempat tinggal mereka selama ini karena rumah itu masuk dalam areal hak guna usaha (HGU) Parasawita yang telah dijual kepada Rapala.
Dalam musyawarah itu, masyarakat menolak dengan alasan akan banyak persoalan sosial yang timbul jika mereka harus keluar dari rumah yang didiami selama ini. Seperti persoalan lahan tempat tinggal, lahan pertanian, rumah, pekerjaan, dan lain-lain.
Berdasarkan keterangan masyarakat, Kampong Perkebunan Sungai Iyu adalah desa yang berdiri sendiri di Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang, dengan jumlah penduduk 64 kepala keluarga (KK), dengan rincian laki-laki 136 jiwa, perempuan 113 jiwa.
"Bayangkan, dengan jumlah 249 jiwa yang terdapat di kampong ini, ke mana mereka harus menggantungkan hidupnya kalau mereka harus tergusur dari desanya sendiri," ungkap Mustiqal, advokat publik di LBH Banda Aceh, dalam siaran pers yang diterima Analisa, Kamis (20/12).
Upaya penggusuran paksa ini, menurutnya, merupakan tindakan yang melanggar prinsip hukum dan hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang (UU) No 39/1999 tentang HAM dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, tegas dilarang tindak penggusuran paksa kepada masyarakat atas dasar apapun.
LBH Banda Aceh sendiri telah mendampingi perwakilan masyarakat korban, Nasir, dan Heru, untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM ini ke Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Selasa (18/12).
"Kami berharap Komnas HAM Perwakilan Aceh menindaklanjuti laporan ini dengan menurunkan tim investigasi ke lokasi," pinta nasir dan Heru.
Mustiqal juga mendesak Gubernur Aceh untuk mengambil tindakan tegas berdasarkan kewenangannya selaku untuk melindungi warganya dari tindakan pelanggaran HAM ini. | Sumber : analisa