Bermanfaat atau tidak bagi rakyat, yang penting kami telah bekerja. Mungkin itulah kalimat yang kira-kira cocok untuk menggambarkan baga...
+Butuh+Wali+Nanggroe.jpg)
Peraturan daerah (perda) atau di Aceh disebut dengan qanun yang membuat anggota DPRA sangat sibuk pelesiran sana-sini ditahun 2012 adalah qanun tentang pembentukan lembaga wali nanggroe. Banyak alasan yang disampaikan oleh anggota DPRA sehingga mereka harus memprioritaskan penyelesaian qanun wali nanggroe secepat mungkin. Salah satu alasan mereka adalah qanun wali nanggroe merupakan “amanat” dari MoU Helsinki dan demi martabat “rakyat Aceh”.
Rakyat Aceh sebenarnya sama sekali tak butuh kehadiran wali nanggroe. Untuk apa menciptakan sistem feodalisme yang berakibat pada terbelenggunya hak-hak masyarakat. Cukup saja dengan sistem demokrasi Republik Indonesia seperti saat ini. Yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh adalah lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastukrur yang telah banyak rusak akibat musibah konflik dan tsunami. Anggota DPRA tak perlu membawa-bawa nama rakyat Aceh, jika yang mereka buat malah lembaga yang akan mengekang hak-hak masyarakat di kemudian hari. Coba saja lihat isi qanun wali nanggroe. Banyak kandungannya berisi tentang hak-hak absolut wali nanggroe yang akan dimilki oleh seseorang yang menjadi wali nanggroe. Salah satunya adalah wali nanggroe dapat memberhentikan seorang Gubernur terpilih dan membubarkan parlemen daerah Aceh, juga aset-aset milik Aceh baik yang berada di dalam negeri dan luar negeri akan dikuasai oleh wali nanggroe. Kalau kenyataannya suatu saat memang demikian, maka rakyat Aceh hanya bisa “gigit jari” sembari mengangkat tangan ke atas dengan posisi “meminta” agar bisa berharap mendapat sebagian kekayaan dari seorang wali nanggroe. Padahal semua aset yang menjadi milik wali nanggroe, pemilik aslinya adalah rakyat Aceh bukan wali nanggroe.
Pengetahuan rakyat Aceh tentang wali nanggroe ini memang tak mendalam, khususnya yang berada diperkampungan. Ini dikarenakan “pejuang” pembentukan wali nanggroe sering menebar janji bahwa jika wali nanggroe berhasil dikukuhkan eksistensinya, maka era “keemasan” Aceh seperti zaman Sultan Iskandar Muda akan kembali hadir di bumi Aceh. Tentunya rakyat Aceh akan menolak wali nanggroe, bila “topeng-topeng” yang menutupi wajah “pejuang” wali nanggroe ini dibuka. Maka akan terlihat jelas apa tujuan mereka sehingga bersikukuh membentuk lembaga wali nanggroe. Pembentukan wali nanggroe hanyalah upaya kelompok tertentu di Aceh untuk mempertahankan keberadaannya dalam ruang lingkup kekuasaan. Wewenang absolut yang dimiliki oleh seorang wali nanggroe memungkinkan mereka menyingkirkan orang-orang yang tak disukai demi “kenyamanan abadi” yang mereka miliki seperti saat ini. Apalagi dengan membawa-bawa nama rakyat Aceh, seorang wali nanggroe juga harus berasal dari “kalangannya”. Jangan pernah berharap ada kepedulian khusus kepada rakyat Aceh. Padahal tanpa rakyat, mereka tak ada apa-apanya.
Tak tahu bagaimana nasib rakyat Aceh selanjutnya bila qanun wali nanggroe telah diselesaikan. Yang jelas, akan banyak uang rakyat Aceh yang terkuras untuk melayani “paduka yang mulia wali nanggroe Aceh”. Tak perlu bekerja dan cukup dengan memberikan “titah”, maka wali nanggroe dapat menguasai apa yang hendak ia miliki dari Aceh ataupun dari rakyat Aceh. Semoga hal seperti itu tak pernah terjadi di Aceh.