HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Rakyat Aceh (Tak) Butuh Wali Nanggroe

Bermanfaat atau tidak bagi rakyat, yang penting kami telah bekerja. Mungkin itulah kalimat yang kira-kira cocok untuk menggambarkan baga...

Bermanfaat atau tidak bagi rakyat, yang penting kami telah bekerja. Mungkin itulah kalimat yang kira-kira cocok untuk menggambarkan bagaimana kinerja anggota parlemen provinsi Aceh yang sebagian besar kursinya dikuasai oleh partai Aceh (PA). Abdullah Saleh dan Ramli Sulaiman, dua orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terlihat begitu sibuk melakukan perjalanan ke beberapa wilayah Indonesia hingga ke luar negeri untuk “menampung aspirasi” warga Aceh di perantauan dan juga sekaligus mempelajari sistem kerajaan yang berlaku di Malaysia. 

Peraturan daerah (perda) atau di Aceh disebut dengan qanun yang membuat anggota DPRA sangat sibuk pelesiran sana-sini ditahun 2012 adalah qanun tentang pembentukan lembaga wali nanggroe. Banyak alasan yang disampaikan oleh anggota DPRA sehingga mereka harus memprioritaskan penyelesaian qanun wali nanggroe secepat mungkin. Salah satu alasan mereka adalah qanun wali nanggroe merupakan “amanat” dari MoU Helsinki dan demi martabat “rakyat Aceh”.

13494082811980130943 Tak jelas apa yang bermanfaat bagi rakyat Aceh setelah qanun ini selesai. Sekiranya dengan qanun ini pelayanan birokrasi di Aceh akan semakin membaik atau dengan adanya qanun wali nanggroe para investor akan lebih mudah mengurus izin dan menanamkan modalnya di Aceh sehingga membuka banyak lapangan pekerjaan baru bagi warga Aceh, tak ada salahnya bila anggota DPRA memprioritaskan penyelesaian qanun tentang lembaga wali nanggroe. Tapi kenyataan justru sebaliknya. Uang rakyat dihabiskan untuk membangun “istana” wali nanggroe senilai Rp 25 miliar dan menggaji wali nanggroe beserta pembantu-pembantunya tanpa hasil balik yang akan didapat dari lembaga wali nanggroe tersebut. Entah apa yang dikerjakan oleh wali nanggroe jika telah terbentuk sehingga “wakil-wakil rakyat Aceh” lebih mengutamakannya dibandingkan rakyat Aceh sendiri yang 16 persen menganggur serta 60 persen hidup dalam kemiskinan.

Rakyat Aceh sebenarnya sama sekali tak butuh kehadiran wali nanggroe. Untuk apa menciptakan sistem feodalisme yang berakibat pada terbelenggunya hak-hak masyarakat. Cukup saja dengan sistem demokrasi Republik Indonesia seperti saat ini. Yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh adalah lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastukrur yang telah banyak rusak akibat musibah konflik dan tsunami. Anggota DPRA tak perlu membawa-bawa nama rakyat Aceh, jika yang mereka buat malah lembaga yang akan mengekang hak-hak masyarakat di kemudian hari. Coba saja lihat isi qanun wali nanggroe. Banyak kandungannya berisi tentang hak-hak absolut wali nanggroe yang akan dimilki oleh seseorang yang menjadi wali nanggroe. Salah satunya adalah wali nanggroe dapat memberhentikan seorang Gubernur terpilih dan membubarkan parlemen daerah Aceh, juga aset-aset milik Aceh baik yang berada di dalam negeri dan luar negeri akan dikuasai oleh wali nanggroe. Kalau kenyataannya suatu saat memang demikian, maka rakyat Aceh hanya bisa “gigit jari” sembari mengangkat tangan ke atas dengan posisi “meminta” agar bisa berharap mendapat sebagian kekayaan dari seorang wali nanggroe. Padahal semua aset yang menjadi milik wali nanggroe, pemilik aslinya adalah rakyat Aceh bukan wali nanggroe.

Pengetahuan rakyat Aceh tentang wali nanggroe ini memang tak mendalam, khususnya yang berada diperkampungan. Ini dikarenakan “pejuang” pembentukan wali nanggroe sering menebar janji bahwa jika wali nanggroe berhasil dikukuhkan eksistensinya, maka era “keemasan” Aceh seperti zaman Sultan Iskandar Muda akan kembali hadir di bumi Aceh. Tentunya rakyat Aceh akan menolak wali nanggroe, bila “topeng-topeng” yang menutupi wajah “pejuang” wali nanggroe ini dibuka. Maka akan terlihat jelas apa tujuan mereka sehingga bersikukuh membentuk lembaga wali nanggroe. Pembentukan wali nanggroe hanyalah upaya kelompok tertentu di Aceh untuk mempertahankan keberadaannya dalam ruang lingkup kekuasaan. Wewenang absolut yang dimiliki oleh seorang wali nanggroe memungkinkan mereka menyingkirkan orang-orang yang tak disukai demi “kenyamanan abadi” yang mereka miliki seperti saat ini. Apalagi dengan membawa-bawa nama rakyat Aceh, seorang wali nanggroe juga harus berasal dari “kalangannya”. Jangan pernah berharap ada kepedulian khusus kepada rakyat Aceh. Padahal tanpa rakyat, mereka tak ada apa-apanya.

Tak tahu bagaimana nasib rakyat Aceh selanjutnya bila qanun wali nanggroe telah diselesaikan. Yang jelas, akan banyak uang rakyat Aceh yang terkuras untuk melayani “paduka yang mulia wali nanggroe Aceh”. Tak perlu bekerja dan cukup dengan memberikan “titah”, maka wali nanggroe dapat menguasai apa yang hendak ia miliki dari Aceh ataupun dari rakyat Aceh. Semoga hal seperti itu tak pernah terjadi di Aceh.

OPINI: Ruslan JR | Sumber Kompasiana