HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Konversi Girik ke SHM Mendesak demi Akses Jaminan Tanah melalui Hak Tanggungan

Czultan Brian Mahasiswa Semester : V Fakultas : Hukum Universitas : Bangka Belitung Lentera24.com - Pada tahun 2026, dokumen girik (dan dok...

Czultan Brian Mahasiswa Semester : V
Fakultas : Hukum
Universitas : Bangka Belitung


Lentera24.com - Pada tahun 2026, dokumen girik (dan dokumen lama lain seperti letter C, petuk D) tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan tanah menurut kebijakan Kementerian ATR/BPN. Kebijakan ini berdasar PP Nomor 18 Tahun 2021, yang mengatur bahwa pemilik girik wajib mendaftarkan girik mereka sebelum tanggal 2 Februari 2026 agar tetap mendapatkan pengakuan legal. Menurut Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, begitu suatu kawasan sudah sepenuhnya terpetakan dan disertifikasi, girik akan “otomatis” kehilangan kekuatan hukum sebagai alat bukti hak. 

Mengapa perubahan ini penting dari perspektif Hak Tanggungan? Karena dalam praktik perbankan dan kredit, tanah bersertifikat (SHM/SHGB) sangat dominan sebagai objek jaminan. Tanah masih berbasis girik yang bukan dokumen resmi sertifikat BPN memiliki risiko besar ditolak sebagai agunan karena kepastian hukum dan batas-batas tanah belum jelas. Jika girik tidak lagi berlaku per 2026, maka banyak pemilik tanah, terutama di pedesaan atau warisan keluarga, berisiko kehilangan akses pembiayaan formal, seperti kredit usaha atau KUR, karena tanah mereka tidak bisa dijaminkan lewat Hak Tanggungan.

Dari sisi sosial-ekonomi, konsekuensi ini sangat signifikan. Banyak pemilik girik adalah petani, pekerja migran, atau pemilik lahan kecil yang selama ini mengandalkan tanah sebagai modal tak kasat mata. Tanpa konversi ke SHM, mereka bisa terjebak dalam situasi “aset tidak layak jaminan”, sehingga modal usaha sulit diperoleh. Di samping itu, potensi sengketa tanah semakin tinggi: girik bisa digandakan, batas tanahnya tidak pasti, dan dokumen lama sering dipakai untuk klaim ilegal. Menteri ATR bahkan menyebut bahwa konflik dan “mafia tanah” kerap bermula dari penyalahgunaan girik. 

Ada juga risiko lain: apabila pemilik girik tidak sempat mengkonversi sebelum 2026, dokumen girik mereka tidak lagi menjadi “alas hak” penuh, melainkan hanya petunjuk peta. Ini berarti tanah tersebut mungkin lebih sulit diolah sebagai objek jaminan, dan nilainya bagi kreditur bisa dianggap rendah atau berisiko.

Namun, konversi girik ke SHM bukanlah proses instan dan tanpa tantangan. Pertama, biaya dan birokrasi bisa menjadi hambatan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di pedesaan. Kedua, verifikasi apakah girik tersebut sah, dan penentuan batas tanah (survey) perlu dilakukan dengan teliti agar tidak muncul sengketa pasca-konversi. Ketiga, bank dan lembaga keuangan harus diberi kepastian bahwa SHM hasil konversi akan diterima sebagai jaminan Hak Tanggungan tanpa hambatan administratif.

Oleh karena itu, sejumlah rekomendasi kebijakan menjadi krusial:

Pemerintah perlu memperkuat program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dengan prioritas wilayah yang didominasi tanah girik agar proses konversi lebih cepat dan inklusif.

Subsidi atau insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin mengurus konversi SHM agar biaya tidak menjadi beban besar.

Sosialisasi yang masif dari BPN di desa-desa agar pemilik girik memahami tenggat waktu 2026 dan mekanisme konversi: dari pengumpulan dokumen, verifikasi hingga penerbitan sertifikat.

Pedoman perbankan yang jelas agar sertifikat hasil konversi diakui sebagai agunan dengan standar Hak Tanggungan yang sama seperti SHM biasa.

Pengaturan paska-konversi agar sengketa batas tanah yang muncul dapat diselesaikan secara adil, misalnya dengan mediasi lokal sebelum membawa ke pengadilan.

Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat kebijakan ini sebagai momen krusial: ini bukan sekadar soal legalitas dokumen lama, tetapi akses ke keadilan hukum dan pembiayaan untuk masyarakat luas. Jika dikelola dengan bijak, konversi girik ke SHM bisa menjadi jembatan antara tradisi pertanahan lama dan sistem hukum modern yang memberikan kepastian dan perlindungan. Sebaliknya, jika dilewatkan tanpa perencanaan matang, banyak masyarakat kecil akan kehilangan hak, bonus pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, dan konflik lahan bisa makin meruncing.

Waktu terus berjalan menuju Februari 2026. Bagi pemilik girik, ini bukan hanya soal “mengurus surat”, melainkan soal mempertahankan hak atas tanah secara sah, menjaga aset tetap bernilai, dan membuka peluang jaminan melalui Hak Tanggungan. Pemerintah, BPN, dan lembaga keuangan harus bekerja bersama agar konversi ini berjalan mulus dan adil tanpa meninggalkan kelompok rentan di belakang.(*)