HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Digitalisasi Iman di Tengah Teknologi Yang Semakin Canggih. Lalu Bagaimana Gereja Menghadapi Hal Tersebut?

Marsela Oktaviani Mentari. Kelas: 1B. NIM : 17125009. Semester : 1  Program Studi: Pendidikan Mus...


Marsela Oktaviani Mentari. Kelas: 1B.
NIM : 17125009.
Semester : 1 Program Studi: Pendidikan Musik. Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Lentera24.com - Covid-19 yang melanda Indonesia 5 tahun yang lalu menyebabkan, hidup keagamaan kita berubah drastis. Perayaan ekaristi hari minggu yang dulunya identik dengan salaman, pelukan, dan kopi setelah perayaan ekaristi selesai, kini digantikan oleh layar laptop, speaker yang kadang putus-putus, dan kolom komentar tidak pernah berhenti bergerak. Kita hendaknya perlu bersyukur atas teknologi yang memungkinkan kita tetap mengikuti misa saat pandemi melanda. Namun, di tengah kemudahan streaming ini, ada satu hal penting yang perlahan hilang: keintiman komunitas, yakni rasa kedekatan dan hubungan yang kuat antara sesama umat. 

Gereja telah berhasil bertransformasi menjadi studio siaran, tapi apakah kita masih menjadi sebuah keluarga?

Internet memberikan kita ilusi kedekatan atau kedekatan yang tidak nyata terjadi. Kita melihat wajah para imam, memberikan komentar dengan mengetik amin atau emoji hati, dan merasa sudah terhubung dengan hanya melihat di layar digital. Padahal, hubungan digital sering kali tidak memiliki arah atau tujuan yang pasti dan bersifat dangkal.

Melalui media digital tersebut kita juga bisa menonton khotbah dari mana saja, bahkan sambil memasak atau bekerja. Hal ini memang bagus, tetapi ini malah berdampak pada menghilangnya interaksi nyata diskusi mendalam setelah khotbah, sapaan hangat yang menanyakan kabar, ataupun bercerita setelah perayaan ekaristo yang menimbulkan kehangatan dan kedekatan di antara umat. 

Perayaan ekaristi atau misa yang di lakukan secara online sudah terlalu nyaman. Para umat bisa hadir tanpa perlu bersiap-siap, berdandan, atau bahkan bangun dari tempat tidur. Kenyamanan ini, perlahan-lahan, membuat kita lupa bahwa iman seharusnya menuntut kehadiran fisik secara langsung dan pengorbanan waktu juga untuk orang lain.

Saat kita hanya hadir secara online, kita menjadi umat yang tidak bisa dilihat oleh umat yang lain. Kita tahu siapa imam yang memimpin perayaan ekaristi, tapi kita tidak tahu siapa yang sedang bergumul di balik layar sana. 

Sampai dengan saat ini perayaan ekaristi juga masih di lakukan secara online. Jika digitalisasi adalah tren yang tak terhindarkan, maka kita harus belajar menggunakannya tanpa mengorbankan hal utama dari gereja itu sendiri yakni komunitas sejati.

Teknologi seharusnya menjadi jembatan, bukan tujuan. Gunakan aplikasi perpesanan untuk inisiatif panggilan pribadi (telepon, video call), bukan sekadar mengirimkan broadcast pengumuman. Dalam hal ini gereja seharusnya mampu mendorong umat untuk menggunakan teknologi untuk menjadwalkan pertemuan tatap muka, mengirimkan makanan, atau mendoakan satu sama lain secara langsung. Dalam dokumen gereja katolik yakni Aetatis Novae. Dokumen ini membahas tentang peran media digital dalam dalam kehidupan manusia yang semakin modern ini.dokumen ini juga menjelaskan tujuan dari pengunaan media masa dalam kehidupan gereja, yaitu untuk berbagi pesan-pesan rohani kepada sesama umat serta serta membangun komunitas. Dalam kaitannya dengan hal ini, teknologi harus menjadi alat untuk memudahkan kasih, bukan alat untuk menghindar dari kasih.

Gereja mula-mula berkumpul untuk merayakan ekaristi dan bertemu dengan Tuhan pada saat ekaristi kudus (Konsekrasio) dan makan bersama (Kis 2:42). Setelah perayaab ekariti selesai keja makan atau meja kopi adalah tempat kerohanian yang paling jujur. Ini adalah tempat di mana kita melihat kerentanan orang lain, berbagi tawa, dan merasakan kehadiran fisik. Jika kita ingin menemukan kembali keintiman, kita harus kembali ke “Gereja” tempat di mana kita benar-benar hadir seutuhnya.

Digitalisasi iman memang menawarkan kemudahan, tetapi kita tidak boleh menukar kemudahan dengan kedalaman. Gereja bukan hanya tempat kita menerima informasi rohani (khotbah) atau sebuah tempat yang sekadar di jadikan tempat kita bertemu Tuhan secara langsung, tetapi tempat kita mengalami kehidupan rohani bersama orang lain.

Mari kita pastikan bahwa di tengah hiruk pikuk layar dan notifikasi, gereja tetap menjadi komunitas yang nyata, hangat, dan intim serta menjadi sebuah tempat di mana tidak ada umat yang merasa sendirian. (*)