HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Timnas Indonesia: Rasa, Keadilan dan Etika

Oleh: SURYANSYAH Ketua Siwo PWI Pusat Lentera24 com | DEPOK - Sepak bola bukan soal menang-kalah. Tidak melulu bicara angka atau statistik...


Oleh: SURYANSYAH Ketua Siwo PWI Pusat

Lentera24 com | DEPOK - Sepak bola bukan soal menang-kalah. Tidak melulu bicara angka atau statistika. Ada drama selama 90 menit di medan laga.


Lebih dari itu. Sepak bola juga tentang rasa, keadilan dan etika. Semua itu terkemas di dalam jiwa ksatria. Tercermin pada setiap individu pemain maupun pecintanya. 


Saya merekam itu saat timnas Indonesia kalah 2-3 dari tuan rumah Arab Saudi. Di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Kamis 9 Oktober 2025 dini hari WIB.


Jay Idzes dan kawan-kawan telah mengeluarkan seluruh tenaga. Keringat mereka terkuras di bawah suhu 29 derajat Celcius. 


Skuat Garuda nyaris membuat 'Gempa Bumi' kedua seperti di Jakarta. Ketika dua gol Marselino Ferdinan membius Arab Saudi 2-0.


Kini, unggul lebih dulu, Tim Merah Putih akhirnya tak kuasa dibombardir the Green Falcon dalam 90+9 menit yang melelahkan.


Tapi, Jay Idzes cs mengajarkan kita kegigihan dan gairah. Di tengah tekanan tinggi. Di antara luapan emosi. Pemain ber-DNA separoh Indonesia justru mengajarkan kita bagaimana menjaga marwah sepak bola. 


Terlepas dari skema 4-3-3 yang diterapkan coach Patrick Kluivert yang membuat saya-- mungkin juga penikmat sepak bola Indonesia- menggerutu dalam hembusan angin dini hari yang nakal.


Hari ini-- sesuai laga- media sosial X dibanjiri dengan pertanyaan yang menggangu waktu tidur saya.


Kenapa Rizky Ridho dan Justin Hubner tidak dimainkan? Padahal keduanya sudah sehati dengan Jay Idzes di sendi belakang. 


Kenapa Marc Klok, Yacob Sayuri dan Beckham Putra jadi starter? Mengapa Ole Romeny terlambat dimainkan? Kluvert telat menurunkan Thom Haye sang profesor. Dan sebait 'nyanyian jiwa' lainnya. 


Warganet pun iseng dengan mengunggah video Marselino lagi nonton timnas sembari berbaring di tempat tidur. Sebuah sindiran halus lantaran Marselino tak masuk skuat Kluivert pada ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026. #marceng sempat popular di X. 


Itulah selera dalam sepak bola. Kluivert tentu punya alasan tersendiri. Ia yang tahu kondisi terkini tim. Meneer juga pegang 'kalkulator' untung atau buntung sebuah tim. 


Bahwa terjadi spekulasi strategi mungkin tak bisa dihindari. Bahwa akhirnya ia jadi sasaran amarah warganet, itu risiko yang harus dihadapi. 


Lain cerita jika skenarionya berjalan mulus. Tentu semua akan wangi. Dari sudut warung kopi pun tak habis dikupas dari pagi hingga malam hari. 


Sekarang mari kita bicara keadilan dan etika. Ketika keduanya bersatu, kita mencapai kondisi yang ideal dalam pengambilan keputusan dan tata kelola suatu sistem, baik itu dalam olahraga, hukum, bisnis, maupun kehidupan sehari-hari. 


Kekhawatiran akan keadilan sang wasit tidak terbukti. Wasit Ahmad Al-Ali asal Kuwait berdiri dengan gagah di tengah lapangan. 


Ia tidak mudah terprovokasi oleh aktor Green Falcon yang kurang beretika. Tersenggol sedikit terlempar seperti disambar angin puting beliung. 


Ditekel kaki terguling-guling sambil pegang kepala. Rasanya gemas menyaksikan telenovela Timur Tengah. Tapi, Ahmad Al-Ali tak tertarik dengan adegan murahan itu. 


Ahmad Al-Ali membuktikan keadilan perlu ditegakan. Ketika Hassan Al-Tambakti handball- ia tak melihat kejadiannya. 


Ahmad Al-Ali tak langsung menunjuk titik putih. Ia perlu bantuan VAR untuk memastikan. Cukup lama ia mencermati dari layar kaca. Dari berbagai sudut agar keputusannya tidak keliru. 


Pun penalti kedua untuk Indonesia maupun Arab Saudi. Ahmad Al-Ali selalu meminta bantuan VAR. Ia juga tak segan merogoh kartu kuning buat yang mencoba memprovokasinya. Bahkan satu kartu merah dikeperet kepada pemain Arab Saudi. 


VAR yang biasanya dikutuk, kini telah memberi pelajaran berharga. Bukan hanya objektivitas. Tapi juga keadilan dan kejujuran. Bahwa sang pengadil berdiri di atas sumpahnya. 


Di mata banyak orang, sepak bola adalah menang atau kalah. Bagi saya sepak bola sejatinya adalah teater emosi, kisah tentang semangat, kesetiaan, dan hati yang tak terhitung jumlahnya. 


Jika yang terpenting hanyalah menang dan kalah, kita hanya akan fokus pada statistik dan taktik. 


Namun, mengapa kita menyaksikan air mata bahagia ketika lagu Tanah Airku menggema di setiap Timnas Indonesia berlaga.


Mengapa kita merasakan getaran ketika seisi stadion berdiri memberikan aplaus untuk tim yang sudah pasti kalah namun tetap berjuang hingga peluit akhir? 


Sekali lagi ini bukan tentang skor. Ini tentang perjalanan jiwa, hati nurani, pengorbanan, dan koneksi emosional yang tak tertandingi.


Sepak bola adalah cerminan hidup. Ada kisah heroik. Ada fans yang rela menempuh ribuan kilometer hanya untuk melihat tim kesayangan berlaga.


Inilah jiwa dari permainan sepak bola. Terima kasih Jay Idzes dkk. Terima kasih Marteen Paes yang jatuh bangun menyelamatkan gawang Indonesia. Tak lupa juga Kevin Diks yang tak kenal lelah dan dua golnya.


Kalah 2-3 bukan aib. Meski Timnas Indonesia kalah, kita patut menghargai perjuangan mereka. Perkara lolos atau tidak ke Piala Dunia 2026 itu sudah 'digariskan'. 


Perjuangan tetap berjalan. Irak sudah menunggu pada Minggu 12 Oktober 2025. Ayo Garuda, bangkitlah...!