Agnia Sholehati Mahasiswi Semester III Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Siber Syekh Nurjati Ci...
Lentera24.com - Beberapa pekan lalu , publik Indonesia kembali dihadapkan pada ironi yang khas sebuah video singkat yang menampilkan anggota DPR berjoget di ruang sidang mendadak menjadi bahan perbincangan nasional. Peristiwa yang pada mulanya tampak sepele sekadar gestur spontan di sela waktu berubah menjadi simbol kontroversial yang menyulut kemarahan, ejekan, bahkan seruan delegitimasi terhadap lembaga legislatif.
Media daring ramai-ramai menayangkan potongan video dengan judul provokatif: “DPR Kehilangan Marwah” atau “Joget di Tengah Derita Rakyat.” Sementara itu, linimasa media sosial dipenuhi komentar keras, meme, yang dengan cepat menjadi trending di media sosial, di sinilah yang kita sebut teror media. Teror yang dimaksud bukan ledakan boma tau kekerasan fisik melainkan tekanan simbolik dan psikologis yang diciptakan oleh narasi media, seperti kata kata yang “mempermalukan” atau “pengkhianat rakyat”
Bukan hanya itu media sosial juga memperkuat teror seperti komentar netizen yang marah, meme yang menyindir hingga membuat suasana semakin ekstrem untuk membubarkan DPR dengan cepat, media digital juga berubah menjadi ladang provokasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang membuat suasana tidak memungkinkan untuk diskusi rasional.
Menurut pendapat saya yang terjadi di media akhir-akhir ini memperlihatkan bagaimana politik Indonesia semakin bergeser dari ruang serius menjadi panggung hiburan. Aksi aksi dari anggota dpr ini sendiri lah yang menjadi tampilan di media sosial dengan gaya santai, bahkan joget-joget di depan publik, menunjukkan bagaimana citra politik kini tidak lagi sekadar soal tanggung jawab dan moralitas, tetapi juga soal pencitraan dan popularitas. Gambaran seperti ini lah yang menggambarkan bahwa sebagian elite politik lebih sibuk membangun kesan menarik di mata publik ketimbang memperjuangkan isu-isu rakyat. Padahal, perilaku semacam ini justru menurunkan wibawa lembaga negara dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya di parlemen.
Di sisi lain, pembahasan ini menyoroti bahaya ekstremisme digital dan teror media yang kini menjadi senjata baru dalam provokasi politik. Melalui media sosial, banyak narasi ekstrem dan provokatif yang sengaja disebarkan untuk menciptakan kegaduhan dan membelah opini publik. Teror media ini bekerja secara halus bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan manipulasi informasi, pencitraan palsu, dan propaganda emosional yang mudah mempengaruhi masyarakat. Akibatnya, publik sering kali tidak lagi menilai politik berdasarkan data dan kinerja, tetapi berdasarkan siapa yang paling ramai diperbincangkan atau paling viral di dunia maya.
Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Ketika politik lebih banyak tampil dalam bentuk hiburan dan provokasi digital, maka nilai-nilai substansial seperti etika, tanggung jawab, dan integritas akan terabaikan. Media dan platform digital seolah menjadi arena baru untuk berebut perhatian, bukan lagi tempat menyampaikan aspirasi yang kuat dari masyarakat untuk DPR dalam bentuk harapan, kritikan dan masukan. Bahkan, para pelaku politik yang memanfaatkan media secara berlebihan tanpa memperhatikan etika komunikasi turut memperkuat budaya politik yang dangkal dan tidak mendidik.
Karena itu, semua pihak harus memiliki tanggung jawab moral. Para politisi harus sadar bahwa setiap tindakan mereka mencerminkan martabat lembaga negara. Media harus kembali pada fungsinya sebagai penyalur informasi yang akurat dan berimbang, bukan alat untuk menebar provokasi atau menumbuhkan ekstremisme digital. Sementara masyarakat perlu menjadi penonton yang cerdas tidak mudah terprovokasi, mampu memilah informasi, dan lebih menilai pemimpin dari kinerja nyata, bukan dari tampilan di layar gawai.
Pada akhirnya, “joget-joget DPR” bukan sekadar persoalan gaya atau hiburan semata, melainkan cermin dari krisis moral dan etika politik di era digital. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka demokrasi Indonesia berisiko berubah menjadi panggung sandiwara, tempat kekuasaan dipertontonkan tanpa makna. Sudah saatnya politik dikembalikan pada tujuan sejatinya memperjuangkan kepentingan rakyat, menjaga keadaban publik, dan menegakkan nilai moral dalam setiap tindakan.(*)
.