HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Kekalahan di Jeddah Jadi Cermin: Timnas Butuh Arah Jelas Pasca Shin Tae-yong

Lentera24.com | JEDDAH - Kekalahan Timnas Indonesia dari Arab Saudi di Jeddah, Kamis lalu waktu setempat, bukan sekadar hasil negatif dalam...


Lentera24.com | JEDDAH - Kekalahan Timnas Indonesia dari Arab Saudi di Jeddah, Kamis lalu waktu setempat, bukan sekadar hasil negatif dalam lembar statistik. Pertandingan ini menjadi cermin besar tentang arah dan fondasi sepak bola nasional yang tampak kehilangan bentuk setelah berakhirnya masa kepemimpinan Shin Tae-yong.


Dalam laga yang berakhir dengan skor mencolok itu, Timnas tampil tanpa karakter. Koordinasi lini belakang mudah terurai, serangan tersendat di lini tengah, dan nyaris tak ada upaya kolektif yang menunjukkan identitas permainan yang jelas. Ini kontras dengan gaya era Shin Tae-yong yang menekankan kedisiplinan, pressing ketat, dan kecepatan transisi.


Bagi banyak pendukung, kekalahan di Jeddah bukan sekadar soal kalah, melainkan soal kehilangan arah. Di bawah Shin Tae-yong, Timnas memang belum mencapai prestasi puncak, namun publik dapat melihat progres yang terukur — baik dari sisi mental bertanding, kebugaran fisik, maupun konsistensi taktik. Kini, setelah perubahan di kursi kepelatihan, identitas itu tampak kabur.


Tak butuh waktu lama bagi media sosial untuk menjadi ruang evaluasi terbuka. Gelombang kritik dan tuntutan kepada pelatih dan PSSI bermunculan dengan nada yang nyaris seragam: “Tim ini kehilangan arah.” Banyak netizen mengaitkan penurunan performa dengan absennya figur Shin Tae-yong, yang dianggap berhasil menanamkan disiplin dan etos kerja khas Korea Selatan.


Fenomena nostalgia ini bukan semata kerinduan emosional, tetapi juga refleksi publik terhadap kebutuhan akan kepemimpinan yang visioner. Di tengah hasil minor dan permainan tanpa konsep yang jelas, nama Shin Tae-yong menjadi simbol dari masa transisi yang terarah — sebuah periode di mana Timnas mulai belajar untuk bermain sebagai tim modern.


Masalah yang dihadapi Timnas Indonesia pasca Shin Tae-yong tampaknya lebih dalam dari sekadar persoalan taktik di lapangan. Ini adalah soal kesinambungan visi dan struktur pembinaan. Ketika arah pembangunan tim berganti mengikuti figur pelatih, bukan strategi federasi, maka kontinuitas menjadi korban pertama.


Para pengamat menilai, PSSI harus segera merumuskan cetak biru permainan nasional yang dapat menjadi acuan siapa pun yang melatih. Tanpa itu, Timnas akan terus terombang-ambing antara gaya bertahan dan menyerang, antara pragmatisme dan idealisme, tanpa kejelasan arah.


Sepak bola modern menuntut perencanaan berlapis. Negara-negara dengan sistem pembinaan kuat seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bagaimana kontinuitas visi teknis bisa melahirkan stabilitas performa. Indonesia, dengan potensi besar dan dukungan publik masif, seharusnya bisa menuju ke sana — asalkan ada keseriusan dalam membangun fondasi jangka panjang.


Kekalahan yang Bisa Jadi Titik Balik

Kekalahan di Jeddah memang menyakitkan, tetapi juga bisa menjadi momen reflektif. Timnas membutuhkan lebih dari sekadar pergantian pelatih atau rotasi pemain. Yang dibutuhkan adalah arah — visi besar yang menuntun setiap keputusan teknis, dari akademi hingga level senior.


Tanpa kejelasan arah itu, setiap kekalahan hanya akan menjadi rutinitas, dan setiap kemenangan hanyalah ilusi sementara. Publik kini menunggu langkah konkret PSSI dan Patrick Kluivert apakah mereka akan berani melakukan evaluasi menyeluruh dan menegaskan kembali arah pembangunan sepak bola nasional, atau sekadar menunggu hasil berikutnya melawan Irak


Sebab bagi banyak pendukung, yang hilang bukan hanya kemenangan, melainkan keyakinan bahwa Timnas Indonesia pernah punya tujuan yang jelas — di tangan seorang pelatih bernama Shin Tae-yong.(*)

Penulis: Erwin Muhammad SIWO PWI