Oleh: Maimunah Permata Hati Hasibuan (Mahasiswa Doktor UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi) Lentera24.com - Malam itu, tatkala saya dan suami...
Lentera24.com - Malam itu, tatkala saya dan suami hadir di tengah keramaian tamu dan keluarga undangan dalam acara adik ipar saya, dr. Dewi Novitasari yang tampak sangat berbahagia karena sedang menunggu keluarga dan kekasihnya, Muhammad Syukri Pohan, M.Si yang hendak meminangnya yang bertempat di rumah keluarga calon mempelai wanita di Talang Bakung, Kota Jambi. Acara ini berlangsung di hari sabtu, 14 juni 2025 dimana menjadi momen yang bersejarah bagi keluarga kami khususnya Dewi karena menjadi proses awal dalam hubungan membangun sebuah keluarga untuk menuju hubungan yang lebih serius yakni pernikahan. Adapun satu hal yang membuat saya tergelitik ingin berbagi tulisan ini adalah dari perbedaan asal daerah dari kedua calon mempelai namun tetap menjunjung adat Jambi.
Untuk diketahui, calon mempelai wanita adalah berasal dari daerah Pariaman, Sumatera Barat dan calon mempelai laki-laki berasal dari daerah Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Namun, bagi kedua calon mempelai tetap melakukan prosesi acara pertunangan di kediaman mempelai perempuan dan menjunjung adat Jambi. Hal ini pun tergambar dari salah satu pantun seloko “dimana bumi dipijak maka disitu langit dijunjung” merupakan hal yang tergambar dari acara pertunangan ini. Indonesia merupakan daerah yang penuh dengan keberagaman dari sabang hingga Merauke dan didalamnya terdapat banyak tradisi yang beragam.
Inti dari pertunangan ini adalah mempererat hubungan dua keluarga serta membangun komunikasi dan pemahaman bahkan perkenalan antar dua calon mempelai dengan baik sebelum pernikahan berlangsung.
Seiring dengan modernisasi, sebagian tradisi mengalami perubahan atau bahkan ditinggalkan. Namun, pendidikan yang baik justru dapat membantu generasi muda memahami makna dari tradisi yang ada, bukan sekedar menjalankannya secara simbolik. Maka, keseimbangan antara pendidikan dan pelestarian tradisi seperti pertunangan perlu dirawat sebab akan memperkuat jati diri bangsa, menciptakan generasi yang cerdas secara intelektual dan bijaksana secara budaya.
Dengan bersatunya calon mempelai dari dua daerah yang berbeda namun prosesi tetap menggunakan adat Jambi ini mencerminkan secara tidak langsung bahwa adanya cerminan budaya yang sudah terasimilisasi dan tidak memandang baik untuk satu daerah saja (sikap primordialisme) melainkan cerminan bahwa setiap daerah memiliki keunggulan, karakter dan keunikan masing-masing dan punya nilai positif tersendiri. Hal ini menunjukkan pandangan tidak ada larangan jika ada yang menikah dengan suku yang berbeda karena di dalam islam tidak ada larangan menikah dengan suku yang berbeda terkecuali menikah dengan beda agama.
Di dalam islam mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati suku-suku yang berbeda dan ini tergambar oleh budaya tunangan di adat melayu Jambi yang biasa disebut “antar tando” yang artinya lamaran resmi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sebagai tanda keseriusan untuk meminang.
Adat melayu Jambi sangat kental dengan nuansa islam. Artinya adalah Antar Tando bukan sekadar prosesi seremonial, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial, agama, dan budaya yang diwariskan turun temurun dalam masyarakat Melayu Jambi dan secara tidak langsung, dengan merawat tradisi lamaran ini menunjukkan bahwa ada nilai pendidikan islam dimana generasi muda yang hendak menuju hubungan yang berkomitmen menjadi paham dan ikut merawat tradisi lamaran adat Jambi. Salah satu prinsip adat yang dijunjung tinggi adalah konsep "adat bersendikan syara., bersendikan kitabullah," yang mengendalikan berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal pergaulan muda-mudi.
Menurut ajaran Islam, hubungan antara dua insan yang hendak melangkah ke jenjang pernikahan diatur dengan ketat melalui ritual sakral yang disebut nikah. Jika lamaran diterima dengan sukacita, pihak laki-laki akan memberikan tanda pengikat berupa cincin dan barang hantaran lainnya seperti bahan baju, kue, dll sebagai simbol keseriusan dan niat baik. Kesepakatan lamaran ini kemudian dirayakan dengan penyerahan sirih dan pinang, sebagai tanda persetujuan dan kerjasama antara kedua belah pihak.
Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa prosesi lamaran dari dua suku yang berbeda ini menjadikan tamu undangan, keluarga dan para pembaca artikel ini memahami bahwa perbedaan daerah mengajarkan kita untuk tidak bersikap primordialisme dan menganggap bahwa daerah asal kita saja yang benar. Melainkan, saling belajar sehingga terbentuklah rasa toleransi dari keberagaman.
Selanjutnya, memahami bahwa menghargai tempat kita berada, yaitu ikut merawat dan melestarikan adat Jambi melalui prosesi acara lamaran tempat kita berada walau berasal dari daerah yang berbeda. Sebab nilai-nilai pendidikan di dalam adat melayu Jambi membuat masyarakat khususnya para generasi muda paham bahwa pentingnya menghargai dan bersikap bijaksana karena proses menuju pernikahan untuk berkomitmen dapat memperkuat ikatan persaudaraan sebelum memasuki bahtera pernikahan yang sakral. []L24.Red