Foto/ILUSTRASI Peradaban Islam pada masa kejayaannya dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari pe...
![]() |
Foto/ILUSTRASI |
Peradaban Islam pada masa kejayaannya dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran para ilmuwan Muslim yang mampu menyatukan ilmu agama dan ilmu umum secara harmonis. Integrasi antara kedua bidang ilmu ini menjadi kunci utama dalam membangun peradaban yang maju, seimbang, dan berkelanjutan. Namun, dalam perkembangan pendidikan Islam modern, terjadi pemisahan yang cukup tajam antara ilmu agama dan ilmu umum yang justru menghambat kemajuan umat Islam.
Pada masa klasik, tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Farabi tidak hanya ahli dalam bidang agama, tetapi juga menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan duniawi seperti kedokteran, matematika, dan filsafat. Mereka memandang ilmu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, di mana nilai-nilai Islam menjadi landasan moral dan spiritual dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Konsep ini memungkinkan lahirnya inovasi dan penemuan yang kemudian menjadi fondasi bagi kemajuan Eropa di era Renaissance.
Para ilmuwan Muslim tersebut tidak memisahkan ilmu agama dan ilmu umum secara ketat. Sebaliknya, mereka mengintegrasikan keduanya dalam aktivitas ilmiah dan pemikiran mereka. Misalnya, Ibnu Sina mengembangkan ilmu kedokteran dengan landasan filsafat dan nilai-nilai Islam, sehingga ilmu yang dihasilkan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga bermakna secara etis dan spiritual. Pendekatan seperti ini menjadikan ilmu pengetahuan Islam pada masa itu sangat kaya dan berimbang.
Namun, seiring dengan masuknya pengaruh kolonialisme dan sekularisme Barat, pendidikan Islam mengalami perubahan besar. Ilmu agama dan ilmu umum mulai dipisahkan secara sistematis. Pendidikan agama lebih menekankan pada hafalan teks dan ritual, sementara ilmu umum berkembang di lembaga-lembaga sekuler yang terpisah. Kondisi ini menyebabkan munculnya generasi yang religius tapi kurang menguasai ilmu pengetahuan modern, atau sebaliknya, generasi yang menguasai sains tapi kehilangan nilai-nilai spiritual.
Pemisahan ini juga berdampak pada kualitas pendidikan dan pengembangan ilmu di negara-negara Islam. Banyak institusi pendidikan yang hanya fokus pada salah satu bidang ilmu tanpa mengaitkan dengan bidang lain. Akibatnya, ilmu agama dan ilmu umum berjalan sendiri-sendiri, sehingga potensi sinergi yang bisa mempercepat kemajuan peradaban menjadi terhambat.
Dalam konteks ini, beberapa ilmuwan dan pemikir Muslim kontemporer memberikan kontribusi penting dalam menghidupkan kembali konsep integrasi ilmu. Ismail Raji al-Faruqi misalnya, mengusulkan Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu proses mengembalikan nilai-nilai Islam dalam ilmu modern agar ilmu tidak hanya bersifat materialistis, tetapi juga bermakna secara spiritual.
Menurutnya, ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai tauhid dan keadilan. Yusuf Qardhawi menekankan perlunya kurikulum yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum secara seimbang, sehingga pendidikan tidak hanya membentuk intelektual yang cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Ia berpendapat bahwa pendidikan Islam harus mampu menjawab tantangan zaman dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern tanpa mengabaikan nilai-nilai agama.
Sedangkan Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa pendidikan Islam harus mampu mengembangkan manusia secara utuh-baik dari aspek spiritual, intelektual, maupun moral. Pendidikan yang ideal menurut al-Attas adalah pendidikan yang memurnikan jiwa dan membentuk karakter, bukan sekadar transfer pengetahuan teknis.
Konsep interkoneksi ilmu muncul sebagai solusi atas dikotomi ilmu yang selama ini terjadi. Pendekatan ini menempatkan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu sistem yang saling terkait dan saling melengkapi. Filsafat Islam berperan sebagai jembatan yang menghubungkan nilai-nilai wahyu dengan rasionalitas ilmu pengetahuan.
Misalnya, ketika membahas hukum-hukum agama, tidak cukup hanya dari aspek teks, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial, psikologis, dan ilmiah. Begitu pula ketika mempelajari fenomena alam, ayat-ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sumber inspirasi dan pedoman dalam memahami ilmu alam secara lebih mendalam. Dengan pendekatan ini, ilmu agama dan ilmu umum tidak lagi berdiri sendiri, tetapi saling memperkaya.
Beberapa universitas Islam di Indonesia telah mulai menerapkan model integrasi ilmu ini dalam kurikulum mereka. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggunakan pendekatan jaring laba-laba yang menghubungkan berbagai disiplin ilmu dalam satu kesatuan yang utuh. UIN Malang menerapkan model pohon ilmu yang mengakar pada nilai tauhid dan bercabang ke berbagai ilmu pengetahuan.
UIN Sunan Ampel Surabaya menggunakan simbol menara kembar yang melambangkan kesatuan ilmu agama dan ilmu umum. Pendekatan ini bertujuan mencetak lulusan yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki keimanan dan akhlak yang kuat. Dengan demikian, mereka siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal ilmu dan nilai yang seimbang.
Dedikotomisasi atau penghapusan pemisahan ilmu agama dan ilmu umum menjadi agenda penting dalam reformasi pendidikan Islam. Kurikulum yang integratif harus mampu menggabungkan nilai-nilai tauhid dengan ilmu sains dan sosial, sehingga menghasilkan pendidikan yang holistik. Selain itu, pendidikan karakter dan adab harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran agar ilmu yang diperoleh dapat digunakan untuk kemaslahatan umat dan dunia. Guru dan dosen perlu dilatih agar memiliki wawasan luas tentang filsafat Islam, sejarah peradaban, dan ilmu pengetahuan modern.
Keberhasilan integrasi ilmu juga membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah dan institusi pendidikan tinggi. Program pelatihan guru dan dosen, pengembangan buku teks yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, serta penguatan riset interdisipliner menjadi langkah strategis yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Integrasi ilmu bukan berarti mencampuradukkan, melainkan menyelaraskan. Agama memberikan arah dan makna, sementara sains menyediakan bukti dan kerangka kerja. Dalam konsep tauhid, semua pengetahuan berasal dari Allah. Maka, menyatukan agama dan sains adalah wujud penghambaan yang paripurna.
Peran para ilmuwan Muslim dalam menyatukan ilmu agama dan ilmu umum merupakan kunci kebangkitan peradaban Islam. Integrasi ilmu tidak hanya memperkuat aspek intelektual, tetapi juga spiritual dan moral, sehingga mampu menghasilkan generasi yang cerdas, berakhlak, dan mampu menghadapi tantangan zaman. Dengan menghidupkan kembali semangat integrasi ilmu yang telah diwariskan oleh para ulama dan ilmuwan terdahulu, peradaban Islam dapat kembali berjaya dan memberikan kontribusi besar bagi kemanusiaan. Pendidikan Islam masa depan harus mampu melahirkan insan yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki karakter dan spiritualitas yang kuat, sehingga mampu membangun dunia yang lebih baik.[]
Penulis :
Rani Pratiwi, mahasiswi Prodi Tadris Matematika UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, email : rp1926581@gmail.com