Foto/ILUSTRASI Lentera24.com - Dalam diskursus filsafat pengetahuan dan budaya modern, hubungan antara sains dan agama kerap digambarkan da...
![]() |
Foto/ILUSTRASI |
Sains dan Agama merupakan dua jalan menuju kebenaran, Sains adalah metode sistematis untuk memahami alam semesta berdasarkan observasi, eksperimen, dan analisis rasional. Ia menjawab pertanyaan tentang “bagaimana” dunia bekerja—misalnya, bagaimana planet bergerak, bagaimana tubuh manusia berfungsi, dan bagaimana energi dihasilkan dan digunakan. Sains bersifat terbuka dan dapat direvisi seiring munculnya bukti-bukti baru.di sisi lain, agama berfungsi menjawab pertanyaan eksistensial yang melampaui ranah empiris, seperti “mengapa” manusia ada, apa tujuan hidup, dan apa yang terjadi setelah kematian. Agama memberi makna, arah, dan nilai moral yang mendasari tindakan manusia. Dalam banyak tradisi agama, termasuk Islam, Kristen, dan Yahudi, terdapat ajaran yang mendorong pencarian pengetahuan sebagai bentuk ibadah.
Kesinambungan Historis antara Sains dan Agama Alih-alih menjadi musuh, sejarah mencatat bahwa agama sering menjadi landasan dan pendorong berkembangnya sains. Peradaban Islam klasik pada abad ke-8 hingga 14 menunjukkan bahwa ulama dan ilmuwan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni menggabungkan pengetahuan agama dan sains dalam satu kesatuan epistemologis. Mereka tidak melihat pertentangan antara teks wahyu dan penalaran ilmiah, melainkan justru menjadikannya saling melengkapi.Demikian pula di dunia Barat, tokoh-tokoh seperti Isaac Newton dan Gregor Mendel merupakan ilmuwan yang juga sangat religius. Newton bahkan menyatakan bahwa penelitiannya tentang gravitasi adalah bentuk usaha memahami hukum Tuhan dalam alam ciptaan-Nya.
Konflik Sains dan Agama mana yang benar realitas atau Ilusi? Banyak konflik yang diklaim antara sains dan agama sesungguhnya bersumber dari kesalahpahaman atau penyempitan perspektif terhadap keduanya. Misalnya, perdebatan tentang teori evolusi sering dianggap sebagai bukti ketegangan antara sains dan agama, padahal banyak pemikir religius yang menerima teori tersebut tanpa melepaskan keyakinan kepada Tuhan sebagai Pencipta.
Masalah muncul ketika sains dijadikan ideologi (scientism) yang mengklaim mampu menjawab seluruh aspek kehidupan, atau ketika agama menolak hasil ilmiah atas dasar interpretasi literal terhadap kitab suci tanpa mempertimbangkan konteks dan makna yang lebih luas. Dalam konteks ini, dialog yang terbuka dan rasional menjadi kunci untuk menciptakan keharmonisan.
Di era revolusi teknologi dan informasi saat ini, kebutuhan akan integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual menjadi semakin penting. Krisis lingkungan, kecanggihan kecerdasan buatan, serta ketimpangan sosial bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga etis dan filosofis. Di sinilah agama dapat memberikan panduan normatif yang tidak dimiliki oleh sains murni. Sebaliknya, agama juga perlu terbuka terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena kehidupan agar tidak terjebak dalam fanatisme atau dogmatisme. Institusi pendidikan modern mulai menyadari pentingnya pendekatan holistik ini. Misalnya, konsep integrasi-interkoneksi dalam pendidikan tinggi Islam di Indonesia bertujuan menggabungkan ilmu keislaman dan ilmu umum dalam satu paradigma utuh. Universitas seperti UIN, IAIN, dan STAIN mengembangkan kurikulum yang menyatukan sains dengan spiritualitas agar melahirkan intelektual yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak.
Harmoni antara sains dan agama bukanlah utopia, melainkan keniscayaan sejarah dan kebutuhan masa depan. Ketika keduanya diposisikan secara proporsional dan saling menghormati, mereka dapat membentuk fondasi peradaban yang berakar pada kebenaran ilmiah dan nilai-nilai spiritual. Sains tanpa agama berisiko menjadi kosong secara moral, sementara agama tanpa sains dapat menjadi stagnan dan irasional. Oleh karena itu, menjembatani langit dan bumi adalah langkah penting menuju kemanusiaan yang paripurna—berakal dan berhati.[]
Penulis :
Farid Isnaini, mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan